Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap - Wawancara Kurnia Effendi

 


Kurnia Effendi seperti tak pernah kehilangan ide dan inspirasi menulis. Pria kelahiran Tegal, 20 Oktober 1960 ini sudah menggeluti sastra dengan menulis cerpen dan puisi untuk publik sejak 1978. Hingga kini, Mas Kef, demikian ia akrab disapa, tetap produktif berkarya. Ia telah menerbitkan 25 buku beraneka genre berupa puisi, cerpen, esai, novel, dan memoar. Novel terbarunya berjudul Pangeran dari Timur (Bentang Pustaka, Februari 2020), ia tulis bersama Iksaka Banu.

Kurnia Effendi menulis fiksi pop dan fiksi sastra. Ia memilih menulis dalam berbagai genre dan membidik segmen pembaca yang beragam. Ada kompromi saat berkarya dengan mempertimbangkan selera pasar, selera pembaca, atau selera redaktur. Kompromi itu justru baginya peluang untuk bereksperimen dan bereksplorasi.

Pembaca sastra akhir-akhir ini tergoda dengan karya di platform digital dan media online. Menurut Mas Kef, pergeseran media penerbitan dari fisik ke digital merupakan keniscayaan, “Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap. Hanya berganti medium, berganti cara menikmati,” tegasnya. Berikut ini hasil lengkap wawancara Pawon dengan Kurnia Effendi lewat surel pada awal Oktober 2020.

 

Sebagai penulis mumpuni, bagaimana pendapat Mas Kef tentang karya yang mengikuti selera pasar, selera pembaca, atau selera redaktur? Mana yang lebih penting?

Hahaha … jangan menyebut penulis mumpuni lah. Saya penulis yang teberkati. Maksud saya mendapatkan kurnia.

Mengikuti ketiga selera itu sama pentingnya. Saya melakukan itu semua sesuai kondisi dan kepentingan. Saat mau menerbitkan buku, ada kompromi dengan pihak penerbit, misalnya soal menghindari SARA, bagaimana sebaiknya tampilan kover (supaya memikat dan laris), nah ini kan selera pasar. Selera pembaca akan saya tempuh kalau memang ada segmen yang saya sasar. Saat menulis untuk remaja yang islami, kumpulan cerpen pun saya bikin aman dari urusan yang mengandung dosa. Selera redaktur tetap saya imbangi dengan idealisme pribadi. Misalnya mengirim cerpen untuk Kompas, Tempo, Femina, dan Horison, saya melakukan pendekatan kreatif yang berbeda. Malah bagi saya, itu merupakan peluang untuk bereksperimen dan bereksplorasi.

 

Seberapa penting idealisme? Apakah penulis harus mempertahankan sikap idealis dalam berkarya?

Bagi seorang seniman, apa pun bidangnya (rupa, musik, film, tari, sastra, teater, dll), idealisme itu roh dalam berkarya. Dulu, saat saya masih aktif menulis di Anita Cemerlang dan Gadis, itu jalan untuk mencari uang. Uangnya untuk “belajar” sastra. Membeli buku dan mengikuti berbagai diskusi, saat masih di Semarang dan lanjut ke Bandung.

Sejak di Semarang saya sudah mulai menulis puisi serius di Suara Merdeka, lalu saat di Bandung ikut “pertemuan kecil” Pak Saini KM, mulai menulis di Pikiran Rakyat, dan seterusnya. Idealisme saya ya di jalur sastra itu, tetapi tidak menafikan pentingnya menulis karya pop. Namanya juga pop, populer, jadi … haha yang bikin saya tenar ya cerpen-cerpen yang disukai para gadis. Fans saya dulu lumayan banyak lho.

 

Mas Kef menulis sastra dalam berbagai genre dan tema dengan membidik segmen pembaca yang beragam. Bagaimana “siasat” Anda saat menulis?

Menyambung pertanyaan sebelumnya, tak ada siasat apa pun selain menulis seiring sejalan. Tentu pergaulan saya berubah. Fans unyu-unyu – ini istilah sekarang ya – kan lewat surat. Sementara itu saya rajin menemui kawan-kawan atau senior yang memang sudah memasuki dunia sastra secara serius. Kalau Pak Budi Darma pernah mengatakan tak ada yang disebut sastra madya, mungkin benar. Saya tidak menulis sastra madya, tetapi saya menulis fiksi pop dan fiksi sastra, bukan di tengah-tengah. Untungnya teman-teman yang di jalur sastra ini tidak “menolak” kehadiran saya di tengah-tengah mereka. Itu kan soal membawa diri, saya yang sedang cari ilmu ya tak berani songong atau sedikit-sedikit pongah.

 

Novel Pangeran dari Timur yang Anda tulis berkolaborasi dengan Mas Iksaka Banu membutuhkan proses hingga 20 tahun. Upaya terbesar apa sehingga novel tersebut terbit?

Terutama karena malu sama teman-teman dan calon penerbit. Sejak 2005 sudah dilamar Bentang Pustaka. Kami pikir akan selesai 2008, ternyata meleset. Referensi yang semakin lengkap, narasumber yang memang ahli Raden Saleh, yakni Werner Kraus, dan pada tahun 2017 saya mendapatkan kesempatan mengikuti program residensi dari Kemendibud ke Belanda … masa iya tidak selesai? Sungguh terlalu. Sejak itu kami ngebut, maksudnya intensif menulis. Untuk menjalin dua plot besar itu juga membutuhkan waktu lama. Jadi, saat manuskrip selesai sekitar Oktober 2019, masih ada proses editing yang lama karena memang ratusan halaman. Kalau dibuat dengan ukuran buku normal plus font huruf normal 12, pasti akan lebih dari 800 halaman.

 

Novel sejarah sempat populer beberapa tahun lalu, apakah tulisan bertema sejarah masih memiliki pembaca setia?

Saya kira masih. Penulisnya juga masih banyak yang berminat pada sejarah. Misalnya yang menang di sayembara novel DKJ tahun lalu ada Sang Keris, lalu terbit novel tentang Diponegoro, dan beberapa sejarah lagi dari ranah Nusantara yang berbeda. Saya kira bukan hanya soal sejarahnya, tetapi ada sesuatu yang lain, misalnya nuansa politik, kearifan lokal, dan yang paling klasik adalah kisah cinta dalam balutan sejarah.

 

Mengapa Mas Kef memutuskan menulis novel kolaborasi dengan Iksaka Banu? Adakah hambatannya?

Soal awalnya bagaimana, ini sudah berulang-ulang kami sampaikan dalam berbagai kesempatan diskusi daring plus ketika 2 kali peluncuran (7 dan 14 Maret 2020) sebelum stay at home karena pandemic. Awalnya mau ikut lomba skenario. Dekat-dekat waktu itu ada bursa buku di Utan Kayu, di sana kami mendapati buku tentang Raden Saleh yang cukup riil dan lengkap. Iksaka Banu lalu mengajak saya menggarap skenario tentang RS, tapi waktunya tak terkejar. Akhirnya diteruskan tanpa target. Kami lalu membuat persiapan macam-macam. Outline dengan dua plot berlatar waktu berbeda, tujuannya buat berdebat tentang Raden Saleh. Menciptakan tokoh-tokoh fiksi, membuat linimasa agar tidak terjadi anakronisme.

Kami berdua yang merupakan alumni satu almamater, Seni Rupa ITB, waktu itu beranggapan: belum ada biografi lengkap tentang Raden Saleh. Setelah menemukan fakta sejarah yang menarik, kami bermaksud memanusiakan Raden Saleh.

Hambatannya banyak juga, terutama soal waktu, karena saya saat itu masih bekerja sebagai karyawan Suzuki. Jadi, menulisnya memang putus-sambung, tidak istiqomah haha.

 

Bagaimana masa depan sastra cetak seiring menjamurnya platform digital seperti Strorial dan Kwikku? Di sisi lain beberapa koran menghilangkan rubrik sastra, bahkan ada yang berhenti terbit.

Saya pribadi tidak ingin menolak teknologi, karena percuma, pasti akan tergilas juga. Koleksi ratusan kaset lagu sekarang mau disetel di mana? Itu contohnya. Jadi jalan seiring saja, sambil mempelajari peranti digital melalui anak-anak agar tidak gaptek. Semua ada zamannya. Cari duit juga akan mengikuti zaman. Dan percayalah, dengan perubahan peranti, sastra tidak lenyap. Hanya berganti medium, berganti cara menikmati. Bahkan kini anak-anak muda tidak hanya ketemu karya Chairil Anwar dan Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi langsung Gabriel Garcia Marquez, Haruki Murakami, Orhan Pamuk .... Tidak ada yang salah, kan? Mereka berkarya melalui media platform itu, malah dampaknya segera mendunia, karena yang membaca bukan hanya di Indonesia, melainkan di Los Angeles atau Korea Selatan.

Kalau koran menghilangkan rubrik sastra, saya anggap itu jalan paling realistis. Kini sedang susah cari uang kok malah membayar karya yang “hanya” dibaca oleh teman-teman si penulis. Bisa dimaklumi, tak dapat dipaksakan.

 

Mas Kef bisa menceritakan tentang majalah Majas? Bagaimana Majas terbentuk dan keterlibatan Mas Kef?

Majas diinisiasi oleh Valent Mustamin. Lalu kakaknya, Ana Mustamin, mengajak kami sesama alumni Anita Cemerlang (saya, Kurniawan Junaedhie, dan Agnes Majestika), merumuskan majalah sastra yang berbeda. Muncul unsur gaya hidup untuk mendorong sastra menjadi lebih inklusif. Final keputusan kami adalah majalah fisik dengan 100 halaman bewarna, bahan artpaper. Majalah yang dirancang berbasis pelanggan ini terbit triwulanan, berisi cerpen, puisi, esai, wawancara tokoh sastra dan nonsastra yang menggemari literasi. Ada pustaka, bahasa, lanskap, kiprah. Setiap terbit mengusung isu tertentu dengan liputan khusus. Ini bukan majalah berita sehingga bisa dibaca kapan saja. Untuk menghindari selera yang ajek, kami menunjuk kurator berbeda setiap edisi. Selain menjadi objektif, menolak perkubuan, juga tidak bisa ditebak selera kurasinya oleh pengirim naskah. Melalui Majas ini kami ingin menghargai sastrawan dengan honor yang baik, dengan tampilan majalah yang keren, dengan ilustrasi pelukis terkenal yang juga setiap nomor berganti.

Karena kami kerjakan sendiri, kami berbagi tugas. Ana memimpin bisnis dan marketing, Agnes Majestika bagian keuangan, saya bertanggung jawab terhadap konten, dan Mas KJ yang mengurus cetak dan penerbitannya. Kami juga ikut menulis untuk wawancara, isu, dan liputan tertentu.

 

Bagaimana Mas Kef mengatur waktu menulis di tengah kesibukan bekerja di perusahaan otomotif dengan jabatan yang cukup mentereng? Mengapa memutuskan tetap menulis?

Sejak tahun 2015 saya pensiun, ya seharusnya sih tidak lagi sesibuk saat bekerja formal. Dulu saya menyiasati dengan cara disiplin pribadi. Menulis tiap pagi setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Saya punya kesempatan satu jam sebelum kantor dimulai. Pulang kantor setelah mandi, makan, dan ngobrol, masih punya satu jam sebelum mengaso.

Jabatan saya tidak mentereng. Kebetulan saja saya di bagian pengembangan outlet nasional, sehingga memiliki banyak kesempatan keliling Indonesia. Mulai dari survei sampai peresmian showroom mobil Suzuki, saya mengikuti prosesnya. Dari Aceh sampai Papua, saya banyak mendapatkan inspirasi. Meskipun tidak secara khusus melakukan riset, tetapi setidaknya dapat menggambarkan situasi dan karakter tiap daerah karena pernah secara indrawi merasakan.

Rupanya menulis itu kegiatan yang tak dapat saya hentikan. Bagi saya sudah jadi kebutuhan harian. Mungkin itu yang membuat saya cukup rileks karena memperolah katarsis dan pelepasan yang tanpa disadari menjadi “obat” dalam menghadapi hidup yang sesungguhnya berat ini. Syukur kini pengalaman menulis itu dapat dibagikan pada komunitas-komunitas, tentu secara daring sejak Maret 2020.

 

Mas Kef beberapa kali berkunjung ke Solo dan berkawan dengan penulis Solo. Bagaimana Anda melihat geliat perkembangan sastra di Solo?

Sebetulnya sudah lama juga tidak ke Solo. Terakhir tahun 2016, terkait dengan kegiatan batik. Tahun 2019 ke Klaten, tetapi tidak mampir ke Solo. Awal tahun 2020 ke Yogya karena ada acara di Tembi, juga tidak mampir ke Solo.

 

Koleksi Pawon Milik Mas Kurnia Effendi

 

Hal yang menggembirakan saat ini adalah karena berlangsung regenerasi. Para senior tidak melepaskan begitu saja kawan-kawan muda yang sedang tumbuh. Saya kira iklim seperti itu akan sehat sepanjang tidak terjadi perselisihan antarkubu. Di Solo ada Bandung Mawardi yang tak berhenti merawat literasi. Ada Yuditeha dan Wahyu Indro Sasongko yang memberi ruang kecil untuk tampilnya karya-karya para penyair dan cerpenis di media online. Kegiatan Indah Darmastuti melalui sastra suara di radio kian me-Nusantara. Tentu salut sama Sastra Pawon yang walau sempat kendor kini mampu bangkit dan bertahan menggumuli sastra. Seno Gumira bilang, sastra ini dunia yang sunyi tetapi masih ada orang-orang yang ingin menjadi penghuninya. Ini kan unik.

Saya masih menyimpan buletin sastra Pawon dua tahun yang lalu lho. [Miftahul Abrori]

 

 

Share:

0 komentar