Tubuh Perempuan di Seberang Jalan - Puisi-puisi Dian Meiningtias
Tubuh
Dalam tubuhku pijar gemintang menyala terang, menaruh
semangat tanpa mengenal musim di lipatan kurun. Menerawang terang pada
kaca-kaca mungkin tanpa mengenal ketidakmungkinan. Itu dulu, sebelum kesunyian
bertamu membawa redup, pandangan yang jauh.
Dan kini, aku mematung dengan kaca-kaca retak bendungan air
mata, mengalir.
Sirna dalam gelayut sunyi, menjadi dermaga kosong beraroma
bunga tabur di pemakaman.
Menunggu labuh atas layar-layar kapal dengan nahkoda bermata
pagi. Sebuah kehadiran yang mengabarkan kehidupan masih bergerak, jauh, terus,
dan tak berkesudahan...
Trenggalek, 29-09-2020
Perempuan di Seberang Jalan
Sepotong hati telah aku persembahkan pada perempuan di
seberang jalan. Pada sesiapa yang pada mula-mula kehidupan diperkenalkan, pada
ia yang kasihnya menjuntai didik memuliakan atau pada mereka yang merawat
kehidupan melewati musim semi melampau gugur tanpa tapi.
Pada perempuan di seberang jalan, syair bisu hendak aku
lantun. Karena kata-kata tak cukup membahasakan rasa berserak yang menghujan
aroma kagum, nyeri, juga haru padamu.
Dan seperti biasa, kau selalu penuh menjadi manusia mulia
saat pagi menyapa. Jauh dari lusuh tertekuk kebutuhan, berjejer di antara
bunga-bunga yang kau tanam di depan rumah. menunggu kupu-kupu mengintip wajahmu
ke dalam ruang masak.
Pagi kau selalu penuh, menawarkan rapi pada sudut-sudut
rumah berpenghuni ramai, menyeduh kopi penjaga keseimbangan mata sayu pada
kantuk yang bertamu, mengganjal perut-perut keluarga atas lapar yang menyapa
tanpa mengenal jeda. Lapar dan kantuk pada persilangan duka atas keserakahan
orang-orang yang mengambil jatah sejahtera.
Malam ini, kutemukan wajahmu di beranda rumah dengan listrik
redup yang kau bayar dengan menukar kesenangan. Padamu uban tergambar,
menampakkan raut wajah dengan menghela nafas panjang. Kau, sesosok hidup yang
melipat duka batin yang kau gantung pada langit-langit rumahmu saat anak-anak
terlelap, pada sunyi malam yang menghujani air mata hingga kau sulit terpejam
lelap. Kau, menawarkan kehidupan bagi jiwa keluargamu yang mati kesekian kali,
ditinggal lelaki mati yang kau cintai.
Trenggalek, 29-09-2020
Malam
Malam bagiku masihlah analgesik, atas hari-hari penuh dera,
dalam candu cinta yang tak kunjung reda. Malam adalah kesejatian, sanjung
penciptaan, ruang waktu, dan harmoni kehidupan. Malamku mungkin
adalah tempat memungut iba, ruang maaf
bagimu tanpa perlu meninggalkan seluruh rasa
Kau bisa menyebut bahwa malam sebatas siklus atas hari,
sebuah nuansa gelap setelah silau cahaya matahari. Tapi bagiku gelap malam adalah teduh, ia oase
atas segala luruh. Begitulah.
Malam bagiku adalah tempat bersembunyi. Serupa resah yang memilih lahir menjadi
sajak-sajak alegori.
Saat ketidakhadiran mengantarku pada kesendirian, memungutku
dalam puncak cemas atas kehilangan. Malam bagiku adalah ruang yang menenangkan,
ilham yang menuntun, pun dengan ritma dunia yang memastikan janji-janji
semesta.
Tapi aku bukanlah pengagummu, Sayang. Lantas siapakah aku?
Aku masihlah kekasihmu.
Sebuah maha karya indah yang memilih senyap, yang menjelma
imajinasi pada malam-malam gelap.
Watulimo yang gelap, saat arloji menunjukkan pukul 19.24 WIB
Dian
Meiningtias. Penulis Buku Perempuan yang Menikahi Burung
Hantu. Bisa disapa di laman Facebook Dian Meiningtias
0 komentar