Agus Sunyoto dan (Trilogi) Pu Gajah Mada - Kisah Buku M.A. Mas’ud
Beberapa hari lalu, status WhatsApp teman membagikan sampul buku ketiga dari trilogi Pu Gajah Mada garapan Agus Sunyoto. Tentu, nama penulis Atlas Wali Songo itu tidak asing bagi kita. Saya telah menunggu buku ketiga terbit sejak November tahun lalu berdasar kabar rencana terbit akhir tahun. Entah, sebab pandemi atau lainnya, sampai menginjak Oktober ini, belum juga terbit. Saya melihat Agus Sunyoto sebagai penulis yang kerap melawan arus umum sejarah atau pernyataan yang menyimpang.
Kita mengingat Atlas Wali Songo (2017, cet vii) sebagai pernyataan keras atas
buku-buku yang membahas Wali Songo adalah cerita fiktif belaka. Kita mengingat
sampul berwarna hijau dengan sub judul “Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo
Sebagai Fakta Sejarah”. Kita simak prakata penulis: “… penulis menilai bahwa
penerbitan Ensiklopedia Islam oleh
penerbit Ikhtiar Baru Van Hoeve dan penerbit buku-buku picisan adalah bagian
dari strategi golongan minoritas untuk meraih kemenangan. Sebab, lewat
buku-buku tersebut, tidak saja keberadaan Wali Songo akan dihapus dari sejarah
penyebaran Islam di Nusantara, melainkan juga lewat penghujatan dan penistaan
terhadap ajaran yang ditinggalkan Wali Songo…”
Di tahun 2017 pula, terbit buku besar dan
berat dengan judul Fatwa dan Resolusi
Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945. Buku
berkisah tentang perjalanan panjang perlawanan golongan kiai dan santri
semenjak Perang Jawa. Sisa pengikut Pangeran Diponegoro menyebar di pelbagai
wilayah dan mendirikan pesantren digenapi pohon sawo sebagai tetenger berdasar pada ayat sawuu sufufakum (merapatkan shaf).
Diceritakan, Pertempuran Surabaya bukanlah peristiwa yang begitu saja terjadi.
Kita simak sambutan penulis: “… telah mengungkapkan suatu fakta sejarah yang
tidak pernah diakui sebelumnya; bahwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945
bukanlah peristiwa sekonyong-konyong terjadi sebagai reaksi spontan arek-arek
Surabaya terhadap kedatangan pasukan Sekutu…”
Konon, salah satu pertimbangan pemilihan
Surabaya sebagai medan tempur adalah faktor sosio-kultur masyarakat Surabaya
yang memuja keberanian dan adanya tradisi tawuran. Kita sulit meremehkan buku
yang bergelimang data. Penulis mengaku mengumpulkan data semenjak 1984 ketika
menjadi wartawan Jawa Pos.
Agus Sunyoto sepertinya tertarik menyibak
kabut-kabut misteri sejarah. Sebelumnya, ia menulis novel tokoh kontroversial
di masa Wali Songo yakni Siti Jenar. Tidak tanggung-tanggung, 7 jilid
dihidangkan pada pembaca dengan judul Suluk
Syekh Abdul Jalil. Kini, tokoh misterius lain ingin diungkap bernama Gajah
Mada. Kisah tentang tokoh bernama Mada yang terbit sebagai novel dengan judul Pu Gajah Mada (Pustaka Pesantren
Nusantara, 2019) adalah kisah-kisah yang rutin terbit bersambung di harian Radar Kediri (Jawa Pos Group) pada tahun
2016-2019. Dijelaskan pula bahwa cerita Gajah Mada yang terbit setiap hari
diminati pembaca seusia SMP dan SMA sederajat.
Kendati
sebuah novel, Pu Gajah Mada digenapi
690 glosarium dan 128 daftar kepustakaan. Kita patut gembira disuguhi novel
sejarah dengan data berlimpah. Sebab, kita telah disuguhi pula buku “racun”
yang mengisahkan Gajah Mada sebagai seorang muslim bernama Gajah Ahmada atau
Gaj Ahmada yang andil memperjuangkan khilafah di tubuh (kasultanan) Majapahit.
Kita percaya integritas seorang Agus Sunyoto, ketua PB Lesbumi NU. Dengan jujur
dikisahkan bahwa belum jelas “agama” yang dianut Gajah Mada karena saat
berbicara Hindu, Buddha, maupun Kapitayan, tokoh Mada seolah menguasai laiknya
pemeluk keyakinan tersebut.
Dengan memahami karakter buku-buku Agus
Sunyoto, kita mungkin tidak terlalu kaget dengan paparan kisah-kisahnya yang
menjadi sudut pandang baru. Pembaca tidak akan menemukan kisah heroik seorang
Gajah Mada menyampaikan Sumpah Palapa:
“Lamun
huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Di ujung buku kesatu ini, pembaca bakal
menemukan sumpah yang lain sama sekali:
“Hong
nihanta Sanghyang Widhi hunimgan sembah ning hrdaya sira Sang Tunggal malar i
helem anemwa Sunyata.. Hamba bersumpah demi kemuliaan Sanghyang Widhi, Hyang
Mahatunggal, sinembah atisraya pada Hyang Taya, bahwa hamba adalah Putera
Sejati Majapahit. Ibunda dan ayahanda hamba adalah Majapahit. Kakek hamba
adalah Singhasari. Hamba adalah abdi Majapahit. Hidup dan mati hamba akan hamba
pesembahkan kepada Majapahit!...”
Sumpah itu dijelaskan dengan nama “Sapatha
Sumpah Hamongmong Rimong”. Berbeda sama sekali dengan “Sumpah Hamukti Palapa”.
Tidak ada “nafsu” penaklukan kerajaan lain. Adanya “pengabdian”.
Selain kisah nyeleneh itu, pembaca juga disuguhi sosok Gajah Mada sebagai ahli
hukum dan ditugasi menyempurnakan KUHP Majapahit “Kutaramanawa Dharmasashtra”.
Mada dikisahkan diberi kebebasan akses ke Grha Pustaka (perpustakaan kerajaan
di komplek kepatihan) oleh Patih Daha Arya Tilam karena kekagumannya terhadap
sosok Mada yang cerdas. Mada diajari pelbagai disiplin ilmu seperti sastra,
filsafat, tata pemerintahan, keprajuritan, byuha, dan hukum. Dari semuanya,
yang paling diminati Mada adalah hukum karena dianggap sebagai kunci
kesejahteraan dunia.
Di
tahun yang sama, buku kedua turut terbit lebih mungil. Buku pertama berdimensi
18x24 cm dan buku kedua 14x20 cm. Lebih nyaman dipangku tangan. Di buku kedua,
ada selingan kisah tokoh bernama Rangga Rajasa yang ternyata diceritakan
sebagai nama asli dari Ken Arok. Sedangkan nama Ken Arok, konon, adalah nama
fiktif buatan kolonial seperti beberapa nama fiktif anggota Wali Songo. Sosok
Rangga Rajasa tidak diceritakan sebagai begundal, preman, atau pun begal hutan.
Ia lebih diceritakan sebagai satria piningit yang mendalami ajaran Bhairawa di
sebuah hutan. Dalam masa Majapahit, buku kedua berkisah tentang makar yang
dilakukan Ra Kuti.
Pada
status WhatsApp teman yang memamerkan sampul buku ketiga, saya berkomentar
pertanyaan: “Jadi diakhiri buku ketiga, Mas?” Jawaban masih mengambang. Belum
ada kepastian. Bagi saya, kisah Gajah Mada terlalu singkat jika hanya dijadikan
tiga jilid saja.
Judul Mahapatih Mangkubhumi Majapahit Pu Gajah Mada |
Sub Judul Kisah Epik Tentang Perang dan Kepahlawanan Pada Zaman Foedal di
Nusantara Abad ke-13 & 14 (Buku Pertama) |Jumlah Halaman | 324
halaman | Penulis Agus Sunyoto |Penerbit Pustaka Pesantren Nusantara
|Tahun Terbit 2019 []
M.A.
Mas’ud, Penghayat bahasa dan sedang belajar mengobrol
serta menuliskan Sidoarjo bersama komunitas Sidosinau.
0 komentar