#Bincangsastra Solopos FM 22 Mei 2016: Tentang Budi Utomo, oleh Yunanto Sutyastomo
Ketika
Hari Kebangkitan Nasional tiba dapat dipastikan banyak pembicaraan tentang Budi
Utomo, atau perdebatan tentang organisasi mana yang sebenarnya lebih pantas
dianggap sebagai penabur benih kebangsaan kita, bagi sebagian ada yang
berpikiran bukan Budi Utomo, melainkan Serikat Islam. Dapat dipastikan
perbincangan lebih mengarah pada perspektif sejarah Kebangkitan Nasional itu
sendiri. Itu pula yang jadi perbincangan kami saat siaran Bincang Sastra di
Solopos FM hari Minggu, 22 Mei 2016 lalu.
Sebenarnya
saya ingin sekali perbincangan di Solopos FM lebih berbicara tentang masa depan
negeri ini, Kebangkitan Nasional seharusnya bisa melampui sejarah kelahirannya,
bahkan lebih dari itu, Kebangkitan Nasional adalah perspektif masa depan
bangsa. Apakah hal itu akan terjadi ? kita tidak tahu, disaat Indonesia lebih
ribut dengan persoalan yang seharusnya sudah selesai. Reformasi sudah
berlangsung 18 tahun lamanya, tapi persoalan yang mendasar di negeri ini tidak
pernah selesai satu per satu, yang terjadi justru bertambah masalah.
Penegakan
hukum, penegakan HAM, intoleransi, pendidikan yang tidak adil, dan ekonomi yang
tidak membaik merupakan contoh persoalan yang masih terjadi di Indonesia.
Mampukah kita bangkit dari semua persoalan itu semua ? sungguh pekerjaan yang
berat buat bangsa yang terbelah, sikap percaya satu dengan yang lain hampir
tidak ada, mana mungkin kita bangkit, dan berjalan tegak menatap masa depan. Kita
dalam bayang – bayang negara gagal (walau pun belum), seakan berat betul untuk
melangkah.
Kita
jadi ingat pemilihan presiden sudah selesai di tahun 2014 lalu, tapi sisa-sisa perbedaan pendapat, bahkan menjadi benih perpecahan masih kita rasakan
hingga saat ini. Apa yang sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini ? Kita
harus belajar lagi menjadi sebuah bangsa yang bermartabat, bangsa yang
menghargai perbedaan yang terjadi, bangsa yang belajar untuk menerima, dan
belajar bahwa masa depan bersama tidak bisa diselesaikan dengan pertengkaran yang
terjadi terus menerus. Bangsa ini juga harus menghargai diri sendirinya dengan
menghormati proses demokrasi yang dijalani.
Hal
ini memang sulit, sungguh sulit, karena kita tidak pernah belajar tentang diri
sendiri selama bertahun-tahun lamanya. Beberapa pekan yang lalu kita
dikejutkan dengan perampasan buku, dan simbol-simbol yang diduga berkaitan
dengan komunisme, ironinya hal ini terjadi setelah adanya Simposium tentang
peristiwa 1965 – 1966 di Jakarta. Kekhawatiran akan kebangkitan komunisme di Indonesia
menjadikan kebebasan kita untuk mengemukakan pendapat, dan berpikir seperti
dikekang, sekali lagi kita terjebak akan ketakutan kita sendiri akan masa lalu
yang belum jelas terungkap. Ketika masa lalu itu akan dibuka kembali untuk
mengetahui sebuah kebenaran, tiba-tiba rasa takut itu tiba.
Mungkinkah
kita punya bayangan akan masa depan negeri ini? Banyak orang pesimis akan hal
itu, tapi kita harus tetap melangkah, masa depan ditentukan langkah hari ini.
Sebagai bangsa kita memang harus belajar banyak, bahkan tentang diri kita
sendiri. Siaran sore itu akhirnya tidak semata bicara tentang sastra.
Tags:
esai
0 komentar