Puisi-puisi Budiman S. Hartojo



TIDURLAH ENGKAU, TIDUR
  
Tidurlah engkau, tidur
bagai seseorang bertamasya dalam sihir
Tidurlah engkau, tidur
pulas dalam seribu impian
dari awal sampai akhir

Hari kan lena berlalu tanpa cerita
peristiwa kan berlalu tiada berita
Di sini engkau bakal terlelap jauh dan dalam
aman dalam pelukan anugerah alam

Tidurlah engkau, tidur
puas tanpa sedu sedan jaman yang sakit
Tidurlah engkau, tidur
tiada peduli tangis sejarah
yang tak pernah bangkit

Hari ini genaplah sudah
apa lagi yang dirisaukan?
Hari ini sempurna sudah lingkaran waktu
apa lagi yang ditunggu?

Tidurlah jiwaku, tidur
pulas dalam sihir waktu
Tidurlah sukmaku, tidur
lelap dalam jiwa yang padu

1969


SAJAK 1969


Hujan Desember masih bertahan sejak siang
Renyai. Mengurung waktu
Senja semakin asing
kota pun malas terkantuk-kantuk
Segalanya tergenang

Menderas kenangan
lagu pun sayup. Belaian
yang tersia, sisa usia
Ragu dan bertanya
kapan engkau terbangun
dari lena kantukmu
Nikmat
dan lupa

Di sini berdiri tugu
dan di sini engkau istirah
Di sini kita bertemu
di sini kita berpisah

Menderas kenangan
menderas haru
Menderas hujan
menderas tangis
kenangan pun
tak habis-habis

1969


KUPANDANG LANGIT DARI BERANDA
  
Baru jam 9 pagi, aku masih ingat, engkau berdiri di beranda itu. Gerimis belum sampai menderas menjadi hujan, matahari masih sempat menganyam ribuan jari-jari berwarna, membiaskan bianglala yang biru dan ungu, merah jingga di langit utara. Engkau mulai terhibur dari mimpi buruk yang mengusik tidurmu semalam. Dari sangkar kuning yang tergantung di pokok jambu, burung nuri yang mungil bercuit-cuit menyambut lagu kanak-kanak dari radio tetangga: "Kupandang langit penuh bintang..."

Adakah yang akan kaukatakan menjelang parak siang, sebelum mimpi kembali datang lalu menjelma bayang-bayang? Engkau selalu terdiam pabila aku bertanya adakah hari akan hujan kalau aku jadi berangkat. Dan sekarang kita berpisah dan engkau merasa tak perlu lagi menunggu di beranda itu. Tapi memang ada yang hilang sekarang: cahaya matamu yang mengembun di balik kaca jendela.

Dari beranda rumah itu, malam itu sebelum berangkat aku masih ingat, rasanya ada kulihat engkau terbang, samar kabur di langit. Adakah yang tertinggal di kamar belakang ketika aku buru-buru pamit malam itu dan lupa menutup pintu sementara engkau membetulkan selimutmu? Ketika itu radio sudah menutup siaran dan nuri tak lagi tergantung di halaman. Dan sekarang, aku bergumam sendirian: "Kupandang langit..."

1976


NYANYIAN SEORANG PETANI MUDA
 
Aku sekarang duduk di pematang
memandang jauh hari depan mengambang di awan
Aku sekarang termenung di rumputan
menatap hijau padang, burung dan ilalang

Hari sudah tinggi dalam tikaman terik matahari
hari sudah larut dalam kerja sehari-hari
Anak-anak gembala menyanyikan lagu derita desanya
lembu dan kerbau bekerja dan makan seenaknya

Aku sekarang di sini menanti kiriman makan siang
dari pacarku yang sederhana, pelan berlenggang di pematang
Aku sekarang terlena di sini menanti hujan tercurah
dari langit Tuhan yang katanya maha pemurah

Hari pun kian larut buat bersenda dan berpacaran
hari sudah terlambat buat mengeluhkan nasib tanaman
Terlalu letih aku memikirkan kemakmuran
sedang tanaman di sawah ladang belum kunjung bermatangan

Aku sekarang di sini berpikir tentang perkawinan
Dan bila kawin nanti bulan depan
aku khawatirkan nasib ternakku sayang
sebab pastilah ia bakal dijual buat ongkos peralatan

Hari makin senja, senja makin malam
burung-burung pulang ke sarang
gembala menggiring ternak ke kandang
Beriringan mereka pulang
beriringan keluh warga desa, harga kerja tak seimbang

Aku sekarang di sini berbicara dengan alam
yang sabar dan ramah dibelai angin lembah yang rawan
Tak kutahu adakah ia tahu
tetesan keringat dan nasib tersia kerabat desaku

1962





DI  RUANG TUNGGU BANDAR UDARA ANTARBANGSA "SUBANG", KUALALUMPUR SUATU SENJA

 Sebentar aku pun terhenyak
ketika matahari mengusap hangat
kulit wajahku
"Lepaskan jaket Enchik, di sini amat panas," sambutmu
nyaring seperti suara keramahan di rumahku
(Kugenggam dendamku, kupendam rinduku
setelah lama luput dari cahaya bola matamu
yang lembut, seperti matahari mimpi
menjelang tidurnya senja hari)

Orang-orang pun mendadak tersentak
ketika butiran air tiba-tiba terjatuh
dari langit
yang mengawalku
"Inilah payung Tuan, mengapa tak jalan sama-sama?" serumu
sambil berlari kecil di belakangku
Kusurukkan kepalaku
lalu kurangkul pinggangmu
tanpa ragu
(Aku ingin melepas nafas
persis di bawah lubang hidungmu)
Di sini seolah tiada lagi rindu
pada tanah air
Memang ada terasa damai di bawah payung kembangmu
(Mungkinkah aku tinggal di sini
barang sehari?)

Di ruang tunggu
tak siapa menunggu
tak siapa ditunggu
Kita duduk termangu
tak siapa kutunggu
tak siapa kautunggu
Toh terasa akrab juga pandangmu
seperti kita pernah bersahabat sejak dulu
Sebentar-sebentar engkau senyum. Mengapa
aku tak tahu. Barangkali kebiasaan beramah-ramah saja
Atau mungkin karena kautangkap gelisahku
menunggu waktu
ketika tiap sebentar kukibaskan celana
yang basah oleh hujan barusan

Di kursi empuk sudut sana itu
seorang kakek duduk tertidur
nafasnya bebas teratur
(sehat sekali tampaknya)
Cambang dan janggutnya lebat
putih, rapih – memantulkan semangat
Mengingatkan aku pada seorang dosen sejarah
di sebuah universitas swasta yang bangkrut
Bau harum asap tembakau
masih mengepul tipis dari pipa cangklong
di tangan kirinya
Dan di tangan kanannya
terkulai sebuah buku saku:

               Soekarno, A Political Biography



DOA

Aku mengenal-Mu
Aku melihat-Mu
Tuhanku
(Ah, apakah Kau tersenyum
Melihat tingkah-laku yang lucu
Bersimpuh begini?)

Jangan memandangku begitu, Tuhanku
Betapa pun!
Jangan palingkan Wajah-Mu
Betapa pun!
Ya, betapa pun telah Kau saksikan
pola tingkah-laku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
Yang Kau putar-putar
Apa yang Kau maksud
dengan kediam-diaman begitu?
Apakah jelas Kau lihat
dosa-dosaku?
(Ah. Engkau diam saja!)

Betapa pun, ya Allah
Jangan palingkan Wajah-Mu Betapa pun kusandang dosa-dosaku dan
                                                                                                dengan rasa malu
Aku datang menghadap-Mu
Tapi pandang-Mu jangan begitu...

Budiman S. Hartoyo, Sebelum Tidur, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977


 

Sejak kecil Budiman S Hartojo dididik di rumah oleh ayahnya sendiri yang menjadi guru pada Madrasah Tinggi "Mamba'ul Ulum" milik Kraton Kasunanan Surakarta. Sejak 1972 bekerja sebagai redaksi majalah Tempo. Sebelumnya giat di kota kelahirannya, Sala, menyelenggarakan ruang sastra "Sumbangsih" pada mingguan Surakarta dan membantu siaran sastra dan sandiwara RRI studio Surakarta. Antara 1966-1968, menjadi pemimpin redaksi majalah Genta, dan anggota redaksi majalah Patria, keduanya terbit di Sala. Juga pernah menjadi sekretaris PWI cabang Sala. Puisi-puisi awalnya dimuat dalam majalah-majalah mahasiswa di Yogya seperti Pulsus, Criterium, Uchuwwah, Media, dan Gajah Mada. Kemudian merambah ke beberapa majalah budaya seperti Basis, Budaya, Gelora, Waktu, Mimbar Indonesia, Gelanggang, Sastra, Horison, dan Budaya Jaya.
 

- dipetik dari buku Tiga yang dikenang hari ini dan esok!

Tags:

Share:

0 komentar