Puisi-puisi Kriapur
KUPU-KUPU
KACA
Sehabis
meninggalkan jejak kemarau lama
lalu
kupu-kupu menjadi kaca
Aku
makin mengerti keluh bumi ini
Malam
menjadi jalan dan mencari pemilik diri
Juga
terasa jiwa, memuat pedih lalu lenyap
Udara
telah menutup semua peristiwa
dan
suara ombak melimbur
Menggelepar
di pinggir pagar yang merah terbakar
Setiap
menyusup dalam bumi kelam
Tangan-tangan
mayat menjulur ke bulan
Kota
yang bangkit karena hujan
Mengubur
luas jaman
KOTA
KOTA KOTA
dari
kerangka tanah
kerangka
darah
ribuan
jasad angin terdampar
di
kota lapar
pengembara
hanya bayang-bayang
ngambang
kerangka
ombak berkejaran di dinding
lalu
matahari terguling
di
bawah kuburan
bulan
meringkik panjang
ringkikan
kerangka kota kota kota
jelaga!
anak-anak
mata darah tak dapat lagi
bermain
dengan langit
perempuan-perempuan
berjalan
lewat
suara yang tak jelas
lalu
hilang
di
sorga hitam
tapi
kemerdekaan tanah
untuk
siapa?
dan
kota bagai sebuah bola
yang
disepaknya sendiri
lalu
orang-orang pun kelelahan
merayapi
luka
dan
tak pulang
Solo, 1981
JALAN
MENUJU ANGIN
Kuremuk
susunan malam
yang kering-lalu kutempuh jalan
menuju angin
apakah kau percaya pada keasingan hutan
tahun-tahun luka
dan hujan membara?
di luar gerak dan berita
bisik dunia hanya pijaran daun
dan ledakan pesta
yang kering-lalu kutempuh jalan
menuju angin
apakah kau percaya pada keasingan hutan
tahun-tahun luka
dan hujan membara?
di luar gerak dan berita
bisik dunia hanya pijaran daun
dan ledakan pesta
di
Hanoi matahari selalu hitam
dalam gelap dan tikungan kecemasan
sinar perempuan membukakan
dendam dan pembunuhan
dalam gelap dan tikungan kecemasan
sinar perempuan membukakan
dendam dan pembunuhan
Solo, 1983
PRAHARA
BURUNG-BURUNG
Setiap
saat laut itulah yang memecah
dan membangkitkan gemuruh resah di atas ranjangku
tersayat bayang-bayang lusuh
dan terkapar mengikut jejak waktu
yang berkobar seperti debu
dan membangkitkan gemuruh resah di atas ranjangku
tersayat bayang-bayang lusuh
dan terkapar mengikut jejak waktu
yang berkobar seperti debu
Mata
musim membelah jam
dan batinku yang rapuh kini mengalir sungai
mengangkut kata-kata dan goncangan
- inikah duka?
di pinggir mimpiku selalu terbaring
sunyi yang dingin
bunga di taman
mengabut kenangan warna di depan
dan lihatlah, kekasih
ruhku menggigil memanggilmu
dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan
atau dengarlah!
dari jauh suara burung-burung pindahan
menyerbu kota-kota
dan batinku yang rapuh kini mengalir sungai
mengangkut kata-kata dan goncangan
- inikah duka?
di pinggir mimpiku selalu terbaring
sunyi yang dingin
bunga di taman
mengabut kenangan warna di depan
dan lihatlah, kekasih
ruhku menggigil memanggilmu
dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan
atau dengarlah!
dari jauh suara burung-burung pindahan
menyerbu kota-kota
Kekasih
bidadari sayang
di tanah yang lain
kau basuh merpati patah sayap
dengan darah hampir beku
di tanah yang lain
kau basuh merpati patah sayap
dengan darah hampir beku
Solo, 1983
AKU
INGIN MENJADI BATU
DI
DASAR KALI
Aku
ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas
dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara
biar orang-orang bersibuk diri
Dalam
desau rumput dan pohonan
Jangan
aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti
padang-padang tengadah
Atau
gunung-gunung menjulang
Tapi
aku ingin menjadi sekadar bagian
dari
kediaman
Aku
sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang
kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di
sangkar-sangkar putih waktu
O,
aku ingin jadi batu di dasar kali
1982
KUPAHAT
MAYATKU DI AIR
kupahat
mayatku di air
namaku
mengalir
pada
batu dasar kali kuberi wajahku
pucat
dan beku
di
mana-mana ada tanah
ada
darah
mataku
berjalan di tengah-tengah
mencari
mayatku sendiri
yang
mengalir
namaku
sampai di pantai
ombak
membawa namaku
laut
menyimpan namaku
semua
ada di air
Solo, 1981
CUACA
DI SORGA
Cuaca
di sorga saat ini buruk, katanya
kucatat
bisik kemarau
daun
berkelakar dengan hari gugurnya
jatuh
dari mata bulan yang rapuh
aku
turun mendengarkan sungai
mungkin
kau tak ada
tapi
bisa kulihat kau yang tak pernah
melihatnya
bisa
kukatakan kau yang tak sanggup
mengatakan
cuaca
di sorga seperti hatimu
saat
ini
seribu
mata yang sedih
melalaikan
merintih
Solo,1981
KRIAPUR atau Kristianto Agus Purnomo, lahir di Solo, 6
Agustus 1959. Penyair yang sempat digadang sebagai salah satu penyair paling berbakat
ini meninggal dalam usia relatif muda, 28 tahun. Ia tewas dalam sebuah
kecelakaan lalu lintas di daerah Batang, 17 Februari 1987. Tulisannya kerap
dimuat di berbagai media. Majalah Horison pernah mengangkat sosok dan
puisi-puisinya sebagai sisipan di bulan Desember 2004, beberapa tahun setelah
kepergiannya. Kriapur belum meninggalkan buku puisinya secara utuh, untuk
mengenangnya, puisi-puisi berikut diangkat dari gabungan manuskrip yang diterbitkan oleh Dewan
Kesenian Jakarta saat mengenang Kriapur, juga dari majalah Horison.
- dipetik dari buku Tiga yang dikenang hari ini dan esok!
Tags:
Puisi
0 komentar