Puisi-puisi Poer Adhie Prawoto



DINDING BUKIT KAPUR

Dinding bukit kapur yang kering
Telah memantulkan suaraku
Makin keras
Makin menderu

Suaraku merayap lewat dinding
Dan celahnya, suaraku melantunkan
Kata bersahaja dan makna janji setia
Suaraku membias dari kelembutan hati
Bayangan hidup yang lama tak disuai

Dinding bukit kapur yang kering
Pintu celahnya telah tertutup rapat
Makin rapat! Tapi
Telah memantulkan suaraku
Dan kembali memantulkan suaraku
Meski di dalamnya tinggal hati yang membeku

Di sini aku kehilangan rindu
Di sini makin baur bisikan itu
Bagai genderang malaikat mencanang perang
Dinding bukit kapur jadi gersang
Suaraku merayap lewat dinding bukit yang kering
Di dalamnya jiwaku lelap terbaring!

Blora, 1976



SAJAK ALIT BUAT ANAKKU



Kelak kalau kau telah lahir, thole
Sudah tak bisa lagi kau lihat
Kembang wora-wari bang sebagai pagar pekarangan
Karena demi keindahan dan kebersamaan
Pagar hidup harus dirombak
Diganti pagar beton yang perkasa
Kalau perlu sekabupaten dibikin seragam
Dengan warna-warna yang serupa
Pilihan yang sedang berkuasa

Lantas lapangan bola di pinggir desa
Tak lagi dikelilingi pagar bethek pring ori
Yang dibangun penduduk secara gotong royong
Tanaman randu dan lamtoro
Semua telah berubah
Dengan pagar tembok raksasa
Berjeruji besi persis di gapuranya
Yang dibuat investor tak dikenal penduduk desa
Kalau kau masuk nonton pertandingan bola, thole
Tidak bisa nylonong begitu saja
Karena harus bayar meski dengan harga rakyat
Dan di pintu masuk telah dijaga rapat-rapat
Petugas berseragam bergaya malaikat
Bagi yang nekat nylonong  pasti ditangkap
Alasannya demi ketertiban dan keamanan

Kelak kalau kau telah lahir, thole
Di sawah tak lagi kau kenal garu dan waluku
Apalagi anai-anai dan bawon pari
Garu waluku telah berubah jadi traktor
Lantunan dandanggula jadi deru mesin
Yang kekuatan kerjanya bukan main
Di kampung-kampung tak terdengar lagi kothekan lesung
Karena kothekan lesung terlalu banyak makan tenaga
Keringat drodosan hasil tak seberapa
Berbeda kalau gabah dibawa ke rice-mile
Sekejap berubah sudah jadi beras
Orang cuma mencet tombol
Hasilnya berlimpah tanpa tenaga okol
Demikian kalau mangsa panen
Simbokmu tak perlu lagi ngundang tangga- teparo
Ngepung ambengan di pojok pematang
Sambil ngucap japa-mantra pertanian
Sebagai limpahan terima kasih kepada dewi sri
Yang telah memberikan banyak rejeki
Karena japa-mantra telah direkam dalam kaset recorder
Bancakan bisa dibagikan lewat kotak-kotak kardus
Langsung ke rumah-rumah tetangga
Katanya ini lebih praktis
Dan tak membutuhkan thethek bengek ini dan itu

Kelak kalau kau telah lahir, thole
Tegalan dan pekarangan kita yang turun temurun
Kita waris dari nenek moyang leluhur
Barangkali bisa saja berubah jadi toko serba ada
Atau terminal bis, bahkan bendungan raksasa
Karena kali di belakang rumah
Memang tak pernah kering airnya
Dan ini bisa dimanfaatkan untuk irigasi
Atau pembangkit listrik yang bermanfaat bagi sesama
Sekaligus obyek wisata yang menyerap devisa
Sedangkan engkau, thole
Tak kuasa lagi menggugat meski pegang sertipikat
Kerna masa itu tak berlaku lagi pepali leluhur yang kita warisi

Sadumuk bathuk sanyari bumi
Dilakoni taker pati
Yang ada adalah pepali era globalisasi
Kebutuhan rakyat banyak mesti dimonopoli

Memang semuanya harus dihadapi dengan lega- lila
Tanpa keinginan untuk mbalela
Eyang-eyangmu dulu thole, tak pernah ngajari kita jadi angkara
Karena angkara adalah watak rakseksa
Dan sabar narima adalah watak ksatria
Nandhang prihatin akan meraih segala apa yang dicita
Ya…ya..
Peradaban zaman kelak akan berubah, thole
Perubahan nilai terjadi di segala arah
Kebenaran dan keadilan cuma jadi slogan di tembok penjara
Isinya lebih banyak dusta ketimbang makna yang sebenarnya
Siapa tahu kelak kita makin tergusur
Dan tersungkur di bumi asing yang tidak kita kenal
Sebelumnya..

Surakarta Juni 1994


DENDANG BLORA

Dendang blora sayang didendang
Masih berdendang bunyi senapan
Dendang Blora duhai ‘nak lanang
Kering sawah jangan biarkan

Mati hujan jati ngarang
Kali lusi berliku-liku
Kapan lagi pulang, ‘nak sayang
Nyangkul bukit berbatu-batu

Tiada hujan angin kembara
Tegal persil apa hasilnya
Petani dekil dirundung derita
Kilang minyak kering merana

Ini menara masihkah jaga
Nunggu hadirnya sodara tua
Noyo Gimbal dan Kyai Samin
Wajah dunia lagi prihatin

Dendang Blora dendang disayang
Ledek tayub minta dipinang
Dari Kaliwangan sampai Sendangsari
Makna hidup harus dicari

Ini asap hutan terbakar
padas curi jatipun mati
gadis dusun menjelang mekar
enggan dicubit disengiti

kali mati dendang pak menteri
polisi lewat jangan dicaci
pencuri kayu yang punya nyali
tri li li li li li tri li sembunyi

dendang Blora dendang disayang
dendang kota sayang ditendang
di Tirtonadi pacar menanti
sejak dulu hingga nanti

Blora, Maret 1994

 


KETIKA TERDENGAR SUARA-SUARA DARI JAUH

Malam larut tapi kau jangan takut
Meski dalam pergulatan kali ini kau harus rela
Rebah dan menyerah
Nantikan! Aku kan segera tiba
Nantikan! Kau kan kurenggut
Dalam kesaksian alam yang setia
Sungaimu telah anyir bau darah
Bukitmu telah merah terbakar
Oleh dendam yang menjilat-jilat

Bersiaplah di hadapanku untuk bersembah
Seperti aku juga malam ini
Sedekapkanlah tangan sebelum memulai peperangan
Memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan

Malam larut tapi kau jangan takut
‘kan setiap pengembara jauh mesti lalui laut-laut sepi
Jika perahu tenggelam
Tangan maut memagut
Suara suling bukan suatu apa! Enyahlah segala
Tanda bahaya, enyahlah manusia berhati manis
Yang tiada lagi mau menyapa
Kerna tempat ibadah tlah musna di depan mata
Dan Tuhan tak mau menatapnya

Aku dan kau tidak berpisah! Masih bersama
Tiduran di atas ranjang samudra
Dibelai tangan-tangan perkasa
Pintu sorga ada di sana

Aku dan kau berpelukan
Aku dan kau merapat disusu rembulan
Digamit langit
Menadah seayat wangsit

Angin hitam laut legam bersorak gembira
Menatap kearah kita
Rumput laut lama berpagut
Menyumpah dunia yang dilanda kalut-kemelut

Bukitmu tlah merah terbakar
Aku dan kau tinggal terkapar
Dibelai suara sepi, dibelai angin mati
Dari jauh sorgapun menanti!

Blora Oktober 1975
Berita Yudha Nov 1975



ADA SALAM DARI JAUH
 
Ada salam dari jauh
Ketika kapal bongkar sauh
Dibawanya dendang cinta
Desau angin utara

Lambaian tangan penghianat
Bagai lagu jenuh
Mati di batas hitam labuh
Antara sebuah dendam kesumat

Ada salam dari jauh
Ada salam lagi berlabuh
Di pantai sepi
Nak perawan potret diri

Sejak kapan berkelana
Melanglang dunia maya
Orangpun akan bertanya
Tentang mata yang terluka

Ada salam pembebasan
Kembang biru segala zaman
Di bawah cadar hitam
Duka-Mu tergenggam

Solo Juli 1981





POER ADHIE PRAWOTO atau Poerwantoro Adhie Prawoto lahir di Blora 7 Maret 1950.  Mengambil pendidikan di SPG Negeri Blora (1968), SPGLP Kudus jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1989), kemudian di FKSS-IKIP Negeri Bojonegoro jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengajar di Cepu, Kudus dan Blora. Pada tahun 1980 bersama keluarganya pindah ke Solo dan mengajar di Gondangrejo, Karanganyar.Tulisannya banyak tersebar di Suara Merdeka, Jawapos, Kedaulatan Rakyat, Sinar Harapan dan juga Kompas. Banyak antologi geguritan yang telah dihimpunnya. Pernah menjadi redaktur koran Parikesit (Solo) juga buletin sastra jawa, Baluwerti dan Wahana Sastra Jawa yang diterbitkan PKJT dan TBJT.
Walau terkenal sebagai penggurit, Poer Adhie Prawoto juga aktif sebagai seniman dan budayawan, bahkan pada satu acara pernah ikut main kethoprak yang melibatkan seniman, budayawan dan wartawan Surakarta di RRI Solo.
Bukunya yang telah terbit Kritik Esai Kesusasteraan Jawa Dan Modern(1989) Wawasan Sastra Jawa Modern(1991), Antologi Cerita Pendek Jawa Modern dan Masyarakat Samin, Tinjauan Sosio-Kultural.
Semasa hidupnya berusaha menjadi dokumentator Sastra Jawa Modern. Tahun 2001, ketika sedang semangat-semangatnya mempersiapkan karyanya yang baru, Poer Adie Pr awoto dipanggil Allah SWT dalam usia 51 tahun. Meninggalkan seorang istri, dan dua putranya, Waskita Danardana dan Laksita Yudhistira.
 
 
 - dipetik dari buku Tiga yang dikenang hari ini dan esok!


 

Tags:

Share:

0 komentar