Pawon: Obrolan Kecil dan Biografi yang Bersambung, oleh Bandung Mawardi


Obrolan kecil itu terjadi pada akhir tahun 2oo6. Gairah sastra jadi alasan kuat untuk membicarakan persoalan media publikasi sastra. Solo yang terlupa dan luput dalam pembicaraan sastra mesti memainkan peran tersendiri. Optimisme dan arogansi ada dengan ancangan yang biasa dan pamrih besar. Sastra Solo memiliki sekian kemungkinan yang harus dibaca dan diperhatikan dengan kritis. Sejarah sastra Solo menyimpan biografi-biografi penting mengenai pengarang, peristiwa, dan media. Sejarah itu bukan sekadar jadi bayang-bayang yang samar. Sejarah itu diucapkan kembali bukan sebagai masa lalu tapi interpretasi mutakhir yang membutuhkan komitmen dan kerja.

Obrolan kecil itu memusat pada keinginan menerbitkan atau mengusahakan media laternatif sebagai ikhtiar publikasi sastra. Keinginan itu lantas jadi kebutuhan yang harus dipikirkan dan diimplemantasikan. Media alternatif dimaksudkan untuk menjadi ruang inklusif para pengarang yang kurang atau belum menemukan media publikasi. Pamrih itu dalam porsi tertentu adalah reaksi atas sastra koran dan majalah yang bermain dengan politik dominasi. Koran edisi Minggu menjadi perayaan sastra yang menghadirkan teks-teks sastra dari pengarang lokal sampai internasional dengan pilihan dan keputusan redaktur. Menata dan membaca kembali edisi-edisi koran itu bisa memunculkan penilaian-penilaian kritis dan optimisme. Ada pengarang yang kerap menghadirkan tulisan di ruang (lembaran) sastra Minggu. Ada yang jarang. Ada yang tak pernah.ada yang bersala dari komunitas-komunitas tertentu. Ada yang tanpa komunitas. Ada yang berasal dari kota tertentu. Ada yang lain-lain. Majalah sastra atau majalah yang memiliki ruang sastra dalam kasus lain memiliki kemiripan dan perbedaan.

Obrolan kecil itu melahirkan komitmen menerbitkan buletin sastra. Persoalan-persoalan terkait buletin itu bermunculan dengan jawaban-jawaban meyakinkan dan meragukan. Persoalan biasa: uang, redaksional, relasi kerja, distribusi, nama, dan …. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa terjawab menjadi acuan realistis. Pertanyaan-pertanyaan yang belum atau tak terjawab menjadi ragu. Pertemuan lanjutan diadakan dengan mengundang sekian orang (individu atau komunitas). Pertemuan kecil yang sepi tapi ramai karep dan masalah. Obrolan berjalan memutar dan kembali pada pertanyaan besar: mungkinkah. Pertanyaan itu belum ingin dijawab sebelum dipikirkan dengan mendalam. Pertemuan lanjutan lain diadakan dengan gairah yang mulai lembek. Proses komunikasi dan interaksi yang terjadi dalam pertemuan itu justru jadi kejutan tak biasa. Ada optimisme dan utopia. Keputusan yang jadi komitmen kolektif adalah realisasi penerbitan bulletin sastra. Buletin itu dinamakan Pawon. Buletin terbit tiap bulan. Buletin itu diurusi orang-orang yang ampuh dan mumpuni meski mayoritas belum mahfum dengan dunia penerbitan.

Bulletin Pawon edisi pertama berhasil lahir pada bulan Januari 2oo7. Kelahiran tanpa operasi dan penyakit kronis. Para penggagas bulletin itu rada terkejut dan bingung melihat bulletin Pawon itu. Ada yang tertawa keras. Ada yang ragu. Ada yang diam. Ada yang histeris. Ada apa? Pertanyaan-pertanyaan muncul kembali dan butuh jawaban. Distribusi mesti bergerak. Acara mesti diadakan untuk penguatan optimisme dan mimpi-mimpi. Acara diskusi Pawon diadakan di Forum Pinilih dengan mengundang banyak orang. Diskusi itu terjadi meski dihadiri sekian orang. Diskusi kecil. Pandangan simpati, bantuan, usul, evaluasi, dan kritik berhamburan. Kejutan tak biasa adalah diskusi bulletin Pawon itu melahirkan polemik. Polemik yang menggairahkan tapi membingungkan. Akhir bulan ada kejutan fenomenal: edisi pertama bulletin Pawon habis.

Sejak itu Pawon membuat biografi besar. Edisi-edisi berikut lahir dengan sekian revisi, tambahan rubrik, tambahan relasi kerja, tambahan tulisan, tambahan donator, tambahan pelanggan, dan tambahan gairah. Ada yang bicara keras: Pawon bakal jadi pembuktian dan juru bicara penting sastra di Solo! Pawon mulai dibaca dan diapresiasi. Pawon jadi perhatian. Pengarang-pengarang merasa menemukan ruang untuk publikasi tulisan. Pengarang-pengarang yang malu atau susah dipublikasikan di koran atau majalah bisa membuat senyum (tawa) kecil karena tulisan-tulisannya memungkinkan dipublikasikan di Pawon.

Mimpi-mimpi (baik atau buruk) terus jadi kenyataan. Ada yang menyenangkan. Ada yang merepotkan. Ada tragedi. Ada komedi. Redaksi Pawon terus melakukan ikhtiar dan kerja intensif dan inklusif untuk pertumbuhan dan keramaian sastra. Bulletin Pawon lantas bertemu dengan sedulur dari Yogyakarta, Semarang, Karanganyar, Kulonprogo, Bandung, Jakarta, dan kota-kota lain. Silahturahmi dan kerja bareng menjadi gairah besar Pawon yang ingin melunaskan mimpi dan janji. Jaringan media alternatif, komunitas, dan individu yang terbentuk dalam lingkaran inklusif Pawon memberi kontribusi besar untuk proses kreatif dan kelahiran wacana-wacana sastra lokal-regional-nasional.

Biografi Pawon terus ditulis dengan kerja sastra yang populis dan optimis. Diskusi-diskusi bulanan diadakan di pelbagai lokasi: kampus, kampung, markas komunitas, ruang kesenian (TBJT), dan ruang yang lain. Pengarang-pengarang baru muncul. Pengarang-pengarang lama atau yang terkenal pun dengan gairah besar mengirim (memberi) tulisan untuk bulletin Pawon. Pawon mulai dimiliki dan dibicarakan banyak orang, komunitas, dan kota.

Program-program sastra diadakan sebagai ikhtiar menguatkan dan membesarkan Pawon. Konsultasi sastra diadakan dalam pertemuan resmi dan tak resmi. Pawon membuka kelas Kursus Menulis Fiksi yang diikuti pengarang muda dan tua. Kelas itu jadi interaksi sastra yang kreatif dan konstruktif. Program-program lain dilaksanakan dengan pencapaian-pencapaian berbeda. Sayembara sastra diadakan dengan sambutan (antusiasme) yang besar. Diskusi besar diadakan dengan pamrih besar. Workshop Penulisan Kreatif diadakan dengan ramai dan menggairahkan. Kunjungan silahturahmi ke komunitas atau kota lain diadakan dengan niat positif dan paseduluran.

Pawon lantas jadi keluarga besar. Redaktur bertambah. Orang-orang yang terlibat dalam pengerjaan Pawon bertambah. Orang-orang yang memberi kontribusi bertambah. Orang-orang yang rajin dolan dan krasan di rumah redaksi Pawon bertambah. Kunjungan tamu (sedulur) dari pengarang atau komunitas lain bertambah. Pawon jadi sibuk tapi senang. Gairah itu jadi bukti. Sastra Solo jadi ramai. Inferioritas sastra yang jadi bayangan buruk perlahan hilang.

Solo layak jadi perhatian. Pengarang-pengarang yang menghidupi bulletin Pawon pun jadi perhatian besar: Joko Sumantri (cerpenis dan penulis artikel yang produktif) adalah Tuan Besar yang memiliki komitmen dan tanggung jawab besar. Hans Gagas (cerpenis dan penulis cerita anak) adalah tukang provokasi dan tukang wawancara handal. Wijang Wharek (orang yang pernah jadi penyair) adalah pemberi aba-aba dan pemberi motivasi. Kabut (penyair dan kritikus sastra) adalah abdi yang sendhika dawuh. Ridho al Qodri (penyair dan esais) adalah pemikir dan tukang acara sastra. Yudhi Herwibowo (novelis) adalah tukang desain yang rajin dan mletik. Yudhi Th (cerpenis dan penyair) adalah tukang gambar yang nyenengke. Yunanto (penulis artikel dan penyair) adalah pemberi kritik dan tukang menulis kolom. Anton (penulis cerita anak) adalah pemberi ide dan kontributor yang kalem. Dwicipta (cerpenis) adalah tukang konsultasi sastra yang sabar dan tidak sombong. Daud (manusia obsesionis) adalah pemberi gairah dan tukang ide yang mengejutkan. Haris Firdaus (penyair) adalah kontributor dan tukang publikasi yang rajin dan pendiam. ……….. (masih banyak orang yang mesti diceritakan).

Buletin Pawon melampaui setahun. Biografi Pawon belum selesai dituliskan dan disusun. Buletin Pawon sadar bahwa hidup dan mati itu berada dalam jarak pendek (1 cm kematian dan 1 cm kehidupan). Pawon mau hidup dan tidak takut mati. Biografi Pawon bersambung tanpa tahu selesainya. Begitu.

Tags:

Share:

0 komentar