Pengakuan Terlarang; Catatan Curhat Penulis Sastra, oleh Arif Saifudin Yudistira
Review LintaSastra #2 : Pengakuan Terlarang
Obrolan singkat, ringan, dan sedikit banyak ditemani dengan canda tawa membicarakan sastra dan penulis idola. Tak dirasa, peserta pun mulai berbicara satu demi satu mengisahkan para idolanya. Idola begitu penting untuk dihadirkan dalam konteks penulis, karya kepenulisan dan iman menjadi penulis, itu menurut salah satu peserta. Begitupun, ada yang menganggap idola tak begitu penting dan mengganggu.
Kehadiran idola mengundang perdebatan ringan yang asyik dalam curhat penulis idola. Ada penulis esai, penulis puisi, penulis cerpen dan novelis solo buka rahasia mereka tentang bagaimana penulis idola di mata mereka. Simak saja kisah dari Sannie.B. kuncoro yang blak-blakan tentang arti penulis idola bagi dirinya : “Saya suka membaca semua buku, karena saya berangkat dari orang tua yang kurang mampu menghadirkan wacana-wacana di hadapan saya, maka saya memperolah buku dari meminjam dan rental. Dari sanalah saya membaca komik-komik dewasa, ada adegan ciuman, ada adegan yang gitulah…tetapi saya tidak mengambil itunya. Saya menemukan keindahan disana, aspek keindahan itu pula yang mempengaruhi proses kepenulisan saya dalam novel”.
Begitulah sedikit kisah mbak sanie seorang penulis novel garis perempuan dengan blak-blakannya menulis novel dengan bahasanya yang indah ternyata berawal dari kesukaan membaca komik yang indah-indah pula. Lebih lanjut mbak sanie juga mengungkapkan : “ Saya mengalami pergerakan membaca, berbeda dari keadaan dulu dengan sekarang yang cukup banyak uang, tetapi sampai saat ini saya tetap tidak memiliki idola, ternyata idola malah jadi beban bagi seorang penulisnya”. Karena saya ketika sudah mengidolakan penulis tertentu, saya akan menanti-nanti kelanjutan kisah yang ditulisnya seperti waktu itu saya mengidolakan arswendo atmowiloto, makanya saya memutuskan untuk tidak mempunyai penulis idola.
Dari bermacam-macam latar belakang penulis, para peserta dan sekaligus pembicara pada malam itu pun mencurahkan pendapatnya. Budiawan misalnya,ia mengungkapkan pengalaman pribadinya yang tak jauh beda dengan mbak sanie. “ Saya terprofokasi menulis, ketika pertama mendengar bandung mawardi,saya mendengarkan dia khotbah, ia benar-benar khotbah, saya menikmatinya,meski teman-teman yang lain menertawakan dia”. Jujur saya jadi senang sama dia, dia masih menyapa dengan sms-smsnya sekedar kabar kalau tulisannya nongol di Koran, saya jadi mengidolakan dia, dan itu membuat saya justru kacau, karena tulisan saya jadi setengah saja kemudian saya tinggal.
Berbeda dari mbak sanie dan budiawan, muncul pengakuan dari seorang dosen bahasa Indonesia yang blak-blakan mengakui proses dia bersastra. Bu rahmah, beruntung,,,beruntung itu yang bisa saya katakana saat ini. “ Saya merasa dilahirkan dari keluarga yang beruntung, ibu saya guru, saya mendapatkan majalah bobo dari ibu saya. Tapi saya juga sangat sedih, karena ibu memperolah bobo dari majalah loakan. Mulai dari sanalah saya kemudian diajak ibu bertualang untuk mencicipi buku- buku balai pustaka, harapannya saya kemudian menjadi anak yang baik, tidak nakal, dan sebagainya.”Mulai dari novelsalah pilih itulah, saya kemudian disarankan ibu mengikuti berbagai lomba. Dan waktu itu dalam sebulan saya bisa memenangkan 8 lomba sekaligus sebagai juara pertana. Kalau berbicara idola, saya juga mengidolakan soekarno yang begitu lantang memimpin negeri ini, kemudian dari soekarno, ada sastrawan yang ternyata diam-diam saya kagumi, saya cinta Ahmad Tohari”. Dan saya ingin sekali membuat novel, tetapi belum tersampaikan.
Membaca & Menulis
Membaca & Menulis
Aktifitas membaca selalu beriringan dengan aktifitas menulis. Menulis akan terasa kering tanpa diimbangi aktifitas membaca yang tinggi. “Apa yang kita tulis adalah apa yang kita baca” begitu penuturan Mas Yudhi Herwibowo. Proses kepenulisan saya sangat jauh belum seperti sekarang. “ Saya suka yanusa nugroho dan Seno gumira” begitu dia menutup pengakuannya. Bandung mawardi memulai pengakuannya dengan menjelaskan latar belakang sosio kulturalnya yang menjadi bagian dari peristiwa 98. Dan pada waktu itulah, ia menjarah kemudian dibelikan buku-buku. “Saya kesulitan ketika memulai dengan membaca hamka tenggelamnya kapal vanderwijks”. Kemudian saya membaca Catatan pinggri GM. Lama-kelamaan saya menjadi pengagum dia, essai-essai saya pun sepertinya demikian. Mengumpulkan serpihan- serpihan yang kemudian memecahkannya”. Meski pada masa-masa berikutnya bandung mawardi kemudian menuliskan puisi, ia menolak untuk berkonsentrasi disana, karena pembaca sudah merasa sinis, dan dia merasa esai begitu cocok dengan dia, meski public pun kesulitan membaca esai-esainya, “karena saya senang dengan GM dan merasa sekelas GM”.
Acara curhat sastra dengan mengangkat tema penulis idola tanpa sadar membawa kita pada pengakuan yang tanpa sadar membuka diri dengan segenap keimanan, bahwa penulis memiliki keterbukaan hingga pada sisi-sisi yang paling dapur. Keterbukaan dan keberimanan penulis akan ketulusan berbagi itu pula yang menjadikan penulis menjadi seorang penulis yang sesungguhnya. Berkaitan dengan sastra, ternyata perkembangan sastra ada hubungan kausal, hubungan yang cukup intim antara bacaan, latar belakang sosio kulturalnya, juga hadirnya penulis idola yang menghadirkan Tanya, “ternyata sastra bisa membawa kita pada pengakuan terlarang, meski tanpa sadar”.
Pengakuan itulah yang sampai saat ini membawa kita pada sebuah keyakinan, sastra masih hidup dengan berbagai dinamikanya, tetapi cara menjadikan sastra lebih mengena sepertinya perlu difikirkan, sebab penulis, sastrawan, esais, atau apapun itu membutuhkan proses untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Akhir dari tulisan ini adalah, meski kita membeberkan pengakuan terlarang, ternyata sepanjang diskusi sampai akhir. Tanpa sadar pengakuan terlarang pun membawa pulang kesan di masing-masing peserta sekaligus pembicara. Karena kitalah pemilik masa depan berikutnya.
Arif Saifudin Yudistira
Kawah Institut
Tags:
esai
0 komentar