Pawon edisi Puisi, review Novianne Asmara

Judul : Buletin Sastra Pawon# Edisi Puisi
Editor : Bandung Mawardi
Desain cover dan Layout : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Buletin Sastra Pawon
Cetakan : Edisi 32 – 2011

Ini adalah kedua kalinya saya mendapatkan Buletin Sastra Pawon dari Mas Yudhi Herwibowo. Selalu saja saya merasa kagum dan salut dengan teman-teman di Komunitas Pawon itu atas konstribusi mereka terhadap dunia sastra.

Kali ini Buletin yang saya terima khusus berisi puisi, karena memang ini adalah special edisi puisi. Berbeda dengan Buletin yang pernah saya dapatkan sebelumnya, di mana isi buletinnya bergam, tidak hanya puisi tetapi juga ada cerita pendek serta esai.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam Buletin Sastra Pawon edisi Puisi ini ditulis oleh orang-orang dengan latar yang berbeda-beda dan dari disiplin ilmu yang berbeda pula. Dari yang memang murni sebagai penyair, editor, novelis, siswa, mahasiswa, santri bahkan sampai pada seorang perempuan pemalas yang sering bangun kesiangan dan mempunyai hobi cuci piring.

Sungguh keragaman yang sangat kontras perbedaannya, tetapi dapat disatukan oleh karya seni yang sama; Puisi.

Hal ini membuktikan, bahwa siapa pun pasti mempunyai jiwa seni. Terlepas mereka menanggapi dan mengaplikasikan kesenangan seni mereka itu dengan cara yang serius atau sekedar hobi saja.

Terbukti dengan puisi-puisi yang lalu-lalang di buletin ini dan tentunya dengan ragam aliran puisi yang berwarna.

Tema yang diusung pun sangat bervariasi. Tidak melulu tema cinta seperti kebanyakan puisi-puisi yang saya buat J, ada tema tentang Ibu, Nenek, alam dan juga keputusasaan.

Tengok saja pusi dari Bandung Mawardi yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia sastra dan perbukuan Indonesia. Beliau adalah editor, esais, penyair dan Penulis.

Puisinya kali ini bertema 4 Bab Cuaca.

4 Bab Cuaca

(1)
Cuaca rusak membuat orang-orang lari
Mencari doa dan dongeng-dongeng
Kuburan tua tanpa nama
Cuaca menjelma hantu hitam
Membunuh dan mengucapkan kata
Siksa dan berita buruk

(2)
Orang lupa mengantarkan
Bait-bait sejarah untuk cuaca
Ada kisah kuno
Mengingatkan tokoh dan peristiwa
Nasib-nasib kotor
Cuaca membuka aib
Membuat balas dendam
Mencipta sejarah kematian

(3)
Cuaca memainkan lakon tragis
Dengan bahasa keras dan keramat
Takut dan keluhan bukan pertanyaan
Ada tangisan dalam cuaca
Ada bantahan mengenang
Cuaca tak berhenti hari ini

(4)
Ramalan tidak ada arti
Cuaca dating untuk perang
Pembunuhan nasib dan lupa
Doa dan marah berhamburan
Cuaca membuat kotor
Malas mengandung maut

Setelah membaca puisi itu, saya yakin tiap-tiap orang yang membacanya akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda.

Saya menangkap adanya kemarahan dalam puisi ini. Adapun kenapa 4 bab yang dibuat? Mungin Bandung Mawardi ingin menyampaikannya dalam 4 Zaman yang berbeda atau dalam 4 peristiwa yang berbeda.

Itu hanya spekulasi saya yang awam dan tidak begitu fasih dalam membaca puisi dengan bahasa sastra yang dalam dan mengandung makna di setiap kata per katanya.

Satu lagi puisi yang menjadi favorit saya di buletin ini. Bukan karena bahasa yang digunakan tetapi lebih pada bentuk penyajiannya.

Umumnya sebuah puisi itu pendek, hanya terdiri atas beberapa bait saja dan jarang sampai mencapai dua halaman.

Tetapi puisi yang ditulis oleh Han Gagas ini sangat unik dan membuat pengetahuan saya bertambah akan ragam puisi yang ada.

Dulu membaca puisi yang beraliran kontemporer saja sudah membuat saya mengerutkan kening. Pening dan bingung, itulah yang saya rasakan ketika selesai membaca puisi-pusi kontemporer. Dan saat membaca puisi Terbakar Sudah Rumah Kita karya Han Gagas seorang penulis yang tulisannya sudah dimuat pelbagai media massa nasional dan daerah dan juga telah menghasilkan sebuah novel dengan judul Tembang Tolak Bala (LKiS, 2011) ini, menambah kebingungan saya.

Saya tidak tahu jenis aliran apa puisi yang Han Gagas ini tulis. Tapi jujur saya sangat menyukainya. Karena membaca puisi beliau bak membaca sebuah cerita pendek. Dialog yang terjadi di sini seakan-akan adalah hanya sebuah monolog dari satu orang yang sedang bertanya pada dirinya sendiri dengan menjadi sisi baik dan sisi jahat.

Kata-kata yang terangkum dalam dialog dan narasinya pun cenderung berani, tajam dan menusuk.

Bacalah penggalan puisi dengan judul Terbakar Sudah Rumah Kita

Ranjang berderit, bantal jebol, kapas guling terburai. Seprei bersimbah peluh dari noda lipstik gadis-gadis muda.
“Hanyalah karena lebar tubuhku, tebal lenganku…!”
Jangan kau Tanya puting, merahnya ranum, remajanya hasrat. “aku tak peduli foto itu diisap beliung angin. Persetan!”
Pigura jatuh, kaca pecah berhamburan menancapi mukaku, “O, Tuhan, kenapa kau datangkan keriput pada kulitku, kenapa kau datangkan gelora jiwa padanya!”
Darah merembesi pipi tembemku, mengalir ke dagu dan leher gelambirku. Menetes bersama air mataku. Tetes-menetes tak henti menjadi limbah yang menganak sungai mengusung keranda bayi kit ke utara.
“Bukan, Selatan.”
“Utara!”
“Selatan, ah, Timur!”
“Barat!”
“Tenggara”
….
“kau memang binatang!”
“Lalu, apa kau manusia?!”
“Kau hanya comberan!”
Alkitab dekil, Quran berdebu. Sepasang belati menancapi keduanya. Buku-buku berserakan, tangis perempuan dan bayi pecah, hape bordering berjenis suara sirine, badai memelantingkan semua keindahan taman dan kebun, tawa gelegar lelaki membahana tak ada lagi yang tersisa buat kita.
Alangkah senangnya, jika suatu saat nanti saya dapat ikut berkonstribusi menyumbang beberapa puisi koleksi saya pada buletin Sastra pawon ini.


sumber: http://www.facebook.com/notes/noviane-asmara/buletin-sastra-pawon-edisi-puisi/10150177431685754

Share:

0 komentar