Rerasan Pengarang dan Kumcer Celeng Satu Celeng Semua, oleh Indah Darmastuti
“Akan sangat berbeda membaca cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang dimuat di media masa (cerpen Minggu) dengan membaca cerpen-cerpen itu ketika dijadikan satu menjadi sebuah buku.” Demikian pembukaan yang disampaikan Bandung Mawardi selaku pemandu acara bincang kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua di Balai Soedjatmoko Solo, 8 September 2013.
Balai
Soedjatmoko yang gedungnya menjadi satu dengan Toko Buku Gramedia Jl. Slamet
Riyadi itu kebetulan juga sedang mengadakan pameran ilustrasi Cepen Kompas 2012, yang mana dua cerpen
Triyanto Triwikromo juga menjadi bagian dari pameran itu. Salah satu judulnya “Lengtu
Lengmua” yang dijadikan judul kumcer ini tetapi dipanjangkan menjadi Celeng
Satu Celeng Semua.
Dihadiri
sekitar 25 orang, obrolan malam itu mengalir santai namun seru. Beberapa tafsir
muncul, beberapa kecurigaan diutarakan, beberapa “vonis” dijatuhkan, beberapa
pernyataan kagum berloncatan saat peserta bincangan itu memberikan tanggapan
atas pembacaannya.
Berbeda
dengan kebanyakan acara penyambutan buku baru atau kerap dipublikasikan dengan
nama “Peluncuran Buku”, perayaan Kumcer “Celeng Satu Celeng Semua” berisi
respons pembaca sehingga reriungan malam itu bukan obrolan buta atau sekadar pamer
karya. Karena kebanyakan yang hadir sudah membaca buku yang tersangkutan.
Wajib
baca sebelum membincangkannya ini sudah ditradisikan oleh Komunitas Sastra Pawon
(yang bekerjasama dengan Balai Soedjatmoko untuk mengadakan acara tersebut)
bahwa setiap ada “peluncuran buku”, atau bincang-bincang buku. Pawon akan
menghubungi beberapa kawan untuk selekasnya membaca (syukur dengan membeli,
bukan pinjam) kemudian membuat catatan kecil hasil pembacaannya yang akan
menjadi modal sebuah obrolan. Hal ini dinilai efektif agar dialektika bisa
berjalan.
Dalam
obrolan itu, beberapa pembaca menganggap cerpen-cerpen Triyanto bernuansa
realisme magis. Kelam penuh metafor. Triyanto memiliki kemampuan berbahasa yang
membuat keseluruhan bangunan cerpen-cerpennya menjadi indah. Bagi Gunawan
Triadmojo yang menjadi pembaca fanatik karya-karya Triyanto, ia mendapati
setiap kalimat sangat berarti. Dalam sebuah karya sastra, Gunawan menganggap
bahwa kenikmatan bahasa adalah sebuah pencapaian yang tak kalah penting dengan
isi cerita. Sehingga setiap selesai membaca, cerita itu akan tertinggal dan katrem di benak kita.
Hampir
sama pembacaan dari Yudhi Herwibowo, Puitri Hatiningsih, Indah dan Ngadiyo,
cerpen-cerpen Triyanto kental lokalitas. Juga “lokalitas internasional”. Dalam
cerpen-cerpennya pembaca diajak mengunjungi tempat-tempat tersembunyi juga
tempat-tempat di benua lain. Hutan, kota besar yang hingar, lorong-lorong dan
makam. Triyanto menggunakan bahan yang ada, yang cukup sering muncul dalam cerpen-cerpen pilihan kurun waktu 2003-2012. Seperti
Sayap, Malaikat, Iblis, Perempuan Kencur dan kencana. Puitri mendapati paradoks dunia celeng dan kiai yang
saling menyusup. Yudhi mengungkap ketika membaca kumcer ini, ia seperti memasuki lorong yang gelap dan tak tahu apa yang terjadi di
depan. Tanpa gerbang. Tiba-tiba saja sudah ada di tempat yang gelap itu.
Fauzy menangkap bermacam konstruksi kematian. Tokoh
perempuan kebanyakan digambarkan berada di tubir kematian. Ia menjuduli
pembacaannya: Perempuan di Ujung Maut. Menangkap Kematian dalam pikiran para
tokoh perempuan. Kematian religius yang membawa berkah, kematian sebagai
ancaman eksistensi hidup. Kematian yang mengancam romantisme asmara, kematian
yang menimpa gadis kecil tak berdosa. Fauzy merasa dalam cerpen-cerpen Triyanto
tiap karakter tokoh perempuan dibangun dengan ketersudutan pada mati. Maka
cerpen-cerpen itu menghasilkan pengakarteran tokoh perempuan yang kuat. Itu
yang membuat tokoh perempuan Triyanto
berbeda dengan tokoh-tokoh peremuan penulis cerpen perempuan seperti
Linda Christanty, Laila S. Chudori, Djenar Mahesa Ayu, Sanie B. Kuncoro.
Pembacaan
Han Gagas terhadap cerpen “Burung Api Siti” yang
dibacanya secara khusus, dipenuhi nuansa Religiusitas Jawa.
Sebutan-sebutan tokoh dalam Islam mewarnai di dalamnya. Ia menyoroti sisi makrifat
teks dan mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan dalam cerpen tersebut.
Puas
pembaca mengungkap tangkapan pembacaaannya, akhirnya Triyanto mendongeng
tentang tokoh-tokohnya yang kebanyakan terinspirasi dari dunia pewayangan atau
kesan yang Beliau dapatkan dalam perjalanan, khususnya kala tersesat. Dalam
wayang ada berbagai model mati (cara mati) yang sangat menakjubkan.
Setiap-tokoh-tokoh diciptakan lengkap dengan sisi gelap dan terang, baik dan
buruk.
Triyanto
berbagi ilmu, bagaimana setiap penggarapan cerita, selalu melakukan riset
dengan cara apa pun. Dan Beliau membagi resep: sebagai penulis, berendah
hatilah! Berlakulah, tempatkan diri untuk mengaku tidak mengerti apa-apa,
sehingga perlu mencari apa-apa.
Dengan
segala keterbatasannya, nyatanya malam itu telah menjadi malam penghargaan.
Para peserta obrolan memberi penghargaan besar kepada Triyanto Triwikromo atas
karyanya, Triyanto Triwikromo memberi penghargaan yang tak kalah besar kepada
kawan-kawan atas pembacaan cerpen-cerpennya dengan segala temuan-temuan yang
tak disangka atau terpikir olehnya. Di sinilah sebuah acara mencapai fungsinya.
[]
Indah
Darmastuti. Penulis. Anggota redaksi Bulletin Sastra Pawon
Tags:
Reportoar
0 komentar