#Bincangsastra Solopos FM 20 Maret 2016: Sosok Umar Kayam, oleh Yunanto Sutyastomo
Tiba – tiba saja Yudhi Herwibowo menganti jadwal siaran Bincang Sastra, dan aku kebagian untuk menjadi narasumber tentang Umar Kayam, Pak Kanjeng dari Yogya. Umar Kayam sebenarnya priyayi Ngawi, dia lahir di kota itu yang dalam novelnya Para Priyayi disebut dengan Wanagalih, sebuah kota yang dekat dengan hutan yang luas.
Kota Ngawi atau Wanagalih menjadi asal
usul keluarga Sastrodarsono, seorang anak petani yang ingin menjadi priyayi
dengan belajar di sekolah guru, dan akhirnya Sastrodarsono memang seorang
priyayi ulung, bukan semata – mata karena posisinya sebagai guru, tapi sikap –
sikap dia dalam menghadapi persoalan keluarga, dengan ketenangan yang luar
biasa mampu diselesaikan ( jadi ingat Soeharto yang juga begitu tenang). Dari
keluarga kecil di Wanagalih anak cucu Sastrodarsono menjadi sebuah keluarga
besar, dan beberapa keturunan mereka jadi orang penting di Indonesia.
Sosiologi , itulah yang ditampilkan
dalam dua novel Umar Kayam berjudul Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Mereka
yang berada di strata sosial menengah bawah berusaha naik kelas menjadi kelas
atas, dan salah satu caranya dengan menjadi guru. Ketika jaman berubah, situasi
politik membuat situasi sosial juga berubah. Ada beberapa tokoh dalam novel ini
yang kemudian memperlihatkan perubahan tersebut, generasi kedua yang diwakili
oleh Nugroho, anak sulung Sastrodarsono yang ikut bergerilya , dan kemudian
menduduki posisi penting di pemerintahan pasca kemerdekaan. Kelas sosial tidak
lagi ditandai dengan adanya guru, tapi berupa jabatan di pemerintahan yang
korup.
Sementara keponakan Nugroho yang bernama
Harimurti menjadi aktivis Lekra, sebuah lembaga seni yang anti kemapanan, dan
cenderung kiri. Harimurti membrontak pada kondisi yang ada, dan harus menerima
resiko ketika peristiwa 65 terjadi, dirinya kemudian tidak berdaya dengan
perubahan kekuasaan, menanggung segala resiko. Dua tokoh yang sangat dekat ini
berada di situasi jaman yang menjadikan mereka saling menjaga jarak, walau pun
Nugroho yang menjadi priyayi kelompok sosial ekonomi atas akhirnya menolong
sang keponakan yang menjadi korban politik.
Satu tokoh lagi bernama Lantip, cucu
keponakan Sastrodarsono. Lantip ibarat Lembu Peteng, anak yang hasil hubungan
gelap, anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Tapi oleh Umar Kayam tokoh ini
menjadi sosok yang mampu bersikap bijak, tokoh yang diperlukan oleh setiap
anggota keluarga. Tokoh ini seperti kerap hadir dalam ketoprak Mataraman,
seperti Ki Juru Martani yang menjadi penasihat Panembahan Senopati. Masa
lalunya yang tidak jelas, dan kelam ditembus dengan kemampuan dirinya untuk
beradaptasi dengan situasi yang menjadikan dirinya dewasa, jelas sekali Umar
Kayam melalui tokoh ini menunjukkan ke – Jawa – an dirinya baik sebagai penulis
mau pun sebagai seorang budayawan.
Lewat dua novel ini kita mengetahui cara
orang Jawa berkomunikasi, menyelesaikan berbagai persoalan, tapi juga tahu
sikap orang Jawa yang kadang ingin jumawa diantara saudara – saudara mereka.
Lantip yang protagonis seperti gambaran Jawa yang bijak, dan santun. Harimurti
yang memberontak menunjukkan Jawa yang bisa membrontak, dan Sastrodarsono yang
merupakan pokok akar pohon keluarga menjadi sosok orang tua yang berusaha
mendidik anak cucunya dengan nilai – nilai yang diyakininya.
Dalam kehidupan pribadinya di
Bulaksumur, Yogya Umar Kayam sebenarnya hidup dalam atmosfir budaya Jawa yang
cukup kuat waktu itu, Umar Kayam menikmati betul posisinya di Yogya, baik
sebagai dosen, mentor kesenian, dan tokoh budaya. Dirinya menjadi pelopor
adanya Festival Kesenian Yogya, Kayam pula yang berada di belakang dua penyair
terkenal Yogya saat itu ; Linus Suryadi, dan Emha Ainun. Beberapa orang juga
mengenalnya sebagai Bung Karno dalam film G/30S, dan Jakarta 66. Yang mungkin
jarang diketahui orang, bapaknya Umar Kayam salah seorang guru, dan salah satu
muridnya adalah Sartono Kartodirdjo, guru besar Sejarah UGM.
Untuk kariernya di pemerintahan, Umar
Kayam pernah menjadi Dirjen RTF tahun 1966 – 1969, kemudian Ketua Dewan Kesenian Jakarta tahun
1968 – 1971, dan Umar Kayam pernah juga menjadi ketua LPKJ. Banyak orang jarang
mengetahui kiprah politik Umar Kayam yang memiliki kedekatan dengan Sri Sultan
HB IX, dan Adam Malik, tapi Umar Kayam sepertinya lebih memilih untuk tidak terlalu
jauh terlibat di dunia politik.
foto diambil dari: https://m.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432697/alasan-umar-kayam-mau-jadi-soekarno
Tags:
esai
0 komentar