Pulang, cerpen oleh. Riri



Pulang ke desa minggu ini harus kujalani dengan naik bus. Ayah yang biasanya jemput ada urusan penting tak bisa di tinggalkan. Aku harus rela menggunakan fasilitas transportasi kota yang paling utama itu. Menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam di dalam bus beraroma khas penumpang. Peluh dan keringat dari tubuh mereka, aroma parfum dan minyak wangi yang mereka pakai, juga bau barang-barang bawaan. Di tambah penumpang yang berdesak-desakan, tak memberi sedikit celah untuk udara berganti.

Seperti biasa ketika aku pulang, aku hanya akan mendapati hal tak berkesan dalam perjalanan. Aku duduk dekat jendela, kepala bersadar di jok kursi, mata memandang keluar jendela. Di luar tampak kesibukan masing-masing orang kota. Kali ini aku pulang naik bus, namun kadang dengan sepeda motor bersama ayah, atau naik mobil bareng keluarga budhe. Dan semua biasa saja, tak ada yang berkesan, tak ada yang kuanggap menyenangkan.

Tiap perjalanan pulang aku lebih suka memperhatikan jalan dan orang-orang di luar. Di dalam mobil aku tak begitu menggubris apa yang di bicarakan keluarga budhe, di bus sampai tak dengarkan kondektur yang minta ongkos perjalanan, di sepeda motor tak pedulikan ayah yang bertanya kabar. Meskipun aku sering melakukan perjalanan seperti ini. Seperti orang desa yang pertama kali ke kota. Sebenarnya rumahku memang berada di sebuah desa di kaki gunung lawu. Keinginan ayah menyekolahkan aku di sekolah yang bagus meski jauh, membuat aku harus tinggal bersama keluarga budhe di kota dan bisa pulang ke rumah tiap akhir pekan.
Siang ini langit tak seperti biasanya, sinar terang matahari terhalang awan hitam yang menebal. Tampaknya akan turun hujan. Beruntung aku ada dalam bus meskipun sesak. Karena nanti aku tak akan kehujanan.

Minggu kemarin aku pulang di jemput ayah melewati jalan yang sama dipayungi terik matahari. Kendaraan terus berlalu lalang, tak peduli pada panas matahari, asap kendaraan, juga debu-debu kendaraan dan kota yang membuat mata merah. Adalah hal-hal menyebalkan yang selalu kudapatkan jika bersepeda. Salah satu penyebab lapisan azon makin bolong dan menaikkan suhu panas bumi. Akibatnya es di kedua kutub bumi meleleh, menambah lautan makin luas dan luas daratan berkurang.

“Ngapunten mbak, ongkos!”, suara kondektur bus meminta ongkos, menyadarkan dari alam khayalku. Aku mengambil empat lembar seribuan dari dalam dompet.

“Matesih”, kuserahkan pada kondektur itu dengan senyum bersalah dan malu.

Aku kembali melihat keluar. Akhir-akhir ini hujan mulai sering turun, padahal sekarang bulan Juli. Menurut perkiraan dan pembagian musim, bukan waktu musim hujan untuk Indonesia. Harusnya masih kemarau. Entahlah, sekarang musim dan cuaca tak lagi bisa di perkirakan. Musim hujan jadi kemarau, dan begitu juga sebaliknya kemarau jadi hujan.

Menurut pakar agama, itu karena orang Indonesia banyak dosa lalu Tuhan marah menurunkan bencana. Adanya banjir yang melanda salah satu negara bagian Eropa, pendapat orang barat, merupakan tanda-tanda akan berlangsungnya perubahan musim. Aku sendiri tak tahu. Yang aku tahu alam mulai berubah, perubahan tanpa permintaan, tanpa kesadaran manusia dan tanpa tanggapan.

Di luar awan hitam makin tebal, seperti peringatan pada manusia bahwa hujan akan turun deras dan lama. Beberapa pedagang di pinggir jalan mulai memasukkan barang dagangan. Orang-orang mempercepat langkah untuk lekas sampai tujuan tanpa kehujanan. Dan aku beruntung berada di bus, sebab andaikan bersepeda motor dan menggunakan mantel aku belum tentu terhindar dari percikan air dan tak akan bisa perhatikan jalan dengan nyaman.

Beberapa wilayah kering yang kehujanan akan merasa senang dengan air yang berlimpah dari langit. Tanaman di ladang, sawah, dan kebun akan tersirami tanpa bersusah payah mencarikan air. Namun hujan yang mengguyur deras terus menerus di sertai angin kencang, bisa juga merugikan. Merusak padi siap panen, melongsorkan tanah miring diatas pemukiman penduduk, juga banjir besar. Kesemuanya menjatuhkan korban harta maupun jiwa. Bila musim hujan inginnya panas agar jemuran cepat kering. Jika yang berlangsung musim kemarau, inginnya cepat hujan supaya tak kepanasan dan gerah. Namun apapun yang berlangsung manusia hanya bisa berkomentar.

Pertanda hujan akhirnya terbukti, hujan langsung mengguyur deras. Jalan seketika basah. Disambut orang-orang dengan berlarian mencari tempat berteduh, pengendara sepeda motor berhenti untuk memakai mantel. Hujan berangin kencang siang ini disertai juga petir yang berkilatan dan suara halilintar beradu. Di depan sebuah toko yang sudah tutup, berdiri dua orang laki-laki dan perempuan. Terpisah tak terlalu jauh. Tiba-tiba suara halilintar menyambar keras. Aku jadi membayangkan, andai si cewek kaget mendengar halilintar lalu reflek memeluk si cowok. Mungkin si cewek akan memerah malu dan cowok tersenyum senang, atau malah cewek marah-marah meyalahkan cowok memanfaatkan kesempatan. Aku tersenyum geli membayangkannya.

Lampu merah menyala, bus berhenti. Di luar sana, ada beberapa bocah membawa botol minuman berisi deterjen bubuk. Lalu tanpa disuruh, di semprotkan ke kaca depan mobil yang berhenti. Pembersih kaca mobil otomatis bergerak membersihkan. Sementara bocah tadi mendekati kaca samping pengendara, menengadahkan tangan. Mengharapkan receh jatuh ke tangan atau lambaian tangan tanda tak ada. Mereka semua hanya bocah usia SD. Berpakaian lusuh dan basah kuyup menawarkan jasa, menembus hujan untuk beberapa receh uang. Bukankah mereka tanggungan pemerintah?. Mendapat jaminan keselamatan, kesehatan dan hidup dari pemerintah. Tapi, mengapa mereka ada di jalan saat hujan deras?, bukan di rumah berlindung pada selimut?. Hanya sekedar janji manis pada aturan tertulis dari mulut besar pemerintah, bukan suatu usaha untuk membuktikannya.

Dari balik kaca bus kota, aku melihat semuanya, hal yang mungkin sudah menjadi rutinitas. Semua berhasil menarik perhatianku. Mereka yang berbicara lantang meski aku tak dengar, duduk diam melamun, asyik dengan hp, atau kepolosan anak kecil yang sedang bermain. Mereka yang mengendarai sepeda motor, mobil, atau hanya bertumpu pada kedua kaki untuk menapaki jalan beraspal. Kesibukan yang kutemukan di manapun. Kepentingan masing-masing dengan barang-barang di tangan atau pikiran di tempatnya.

Pikiranku melayang pada bangsaku, tanah airku yang sedang berkembang untuk menjadi negara maju. Menempuh berbagai cara supaya di kenal sebagai negara hebat. Mengonsumsi berbagai barang-barang import, bukan menciptakan hal dan barang baru, untuk menambah devisa negara. Di tiap lamuananku tentang Indonesia, muncul semangat besar untuk mengubahnya, bermimpi bisa memajukan Indonesia. Menjadi negara adidaya dengan produksinya. Alam yang lestari, majunya pendidikan dan industri, serta social budaya yang terbina baik. Membangun pabrik barang elektronik sendiri yang lebih maju dari bangsa lain dan mempunyai cabang di mana-mana. Tapi aku akan memajukan pendidikan terlebih dahulu, karena nasib bangsa selanjutnya ada di tangan kepolosan anak-anak sekarang. Bermimpi.
Hanya mimpi mustahil dan harapan kosong. Semangatku selalu saja hilang tiap aku perhatikan jalan. Kejadian demi kejadian tanpa tanggapan. Beku tiada ekspresi, hati kesal sambil mengumpat berkomentar. Ada pikiran berontak pada semua kebijakan, ketidaksetujuan dari persetujuan, dan penuntutan atas penindasan. Semua harapan untuk perubahan berujung kecewa mendalam. Karena semua akan terus tersimpan dalam lemari khayal, imajinasi tak kesampaian. Tambahan pada dokumen peristiwa dan rasa jengkel untuk keramaian kota, polusi dari asap kendaraan, mencemari bumi dan udara, yang terus saja ada. Kota dengan kesibukan tanpa henti siang dan malam. Tanpa udara segar pagi yang memberi semangat untuk menyambut hari.

Sejujurnya aku lebih senang tinggal di desa. Kealamian bisa kutemukan di tiap sudutnya. Hijau daun, kerumunan pohon menjulang tinggi, warna-warni bunga mekar, sungai jernih yang mengalir deras, juga keramahan penduduknya. Alasan yang tetap tak bisa membuat aku tinggal di desa, ayah terlalu keras kepala. Namun, berhasil memberiku semangat pulang. Juga hasrat besar untuk menjaga kelestariannya. Tetap alami dengan hawa dingin tiap pagi, dengan keceriaan anak gunung tiap bulan purnama, kecipak air sungai, pemandangan elok pedesaan. Kerinduan menyeruak bersama hembusan nafas berat.

Kebanggaan yang akan selalu kubawa kemanapun. Desa tempatku tumbuh besar, tempat aku mendapatkan pelajaran tentang arti perjuangan, kebersamaan, kesedihan, dan keceriaan. Segala macam hal desa adalah kebanggan tersendiri dalam diriku dan tak akan pernah hilang. Meski tiada kepastian tempatku berpijak, akan selalu ada bayangan tentangnya. Keyakinan untuk kembali.

Aku menarik nafas, mencoba menghirup kealamian dari sepanjang perjalanan. Bus merangkak pada jalan menanjak naik. Jalan raya utama menuju terminal Karang pandan. Suasana pegunungan mulai terasa, dingin menembus kaca bus. Hujan diluar masih tercurah lumayan deras. Lelah yang kuderita selama perjalanan tersembuhkan oleh sambutan kealamian. Bus berhenti di terminal Karang pandan, untuk menarik perhatian orang dengan jasa tumpangan. Tak lama bus kembali berjalan menuruni jalan yang sama, kemudian berbelok keselatan menuju tempat perhentian terakhir. Pohon-pohon di sekitar jalan masih basah air hujan.
Perbedaan kota dan desa di sepanjang jalan sangat terasa. Keramaian Solo yang mungkin terjadi siang malam dengan jalan desa yang berkelok dan jarang kendaraan. Solo sudah begitu ramai apalagi kota besar lainnya. Andai kota-kota besar Indonesia masih alami dengan kesegaran, apa yang akan terjadi?. Mungkin Indonesia akan jadi negara paling alami di dunia, mungkin juga dunia akan berkata ‘Indonesia primitif’. Mimpi!. Tapi kalau semua mau, bisa saja. Indonesia alami tapi pendidikan masyarakatnya terjamin, kaya hasil ekspor alam, serta maju dalam bidang apapun dan tetap seimbang.

Bus bekelak-kelok mengikuti jalan pegunungan. Penumpang ikut bergerak ke kanan dan kekiri. Aku terjepit tubuh langsing seseorang yang duduk disampingku sejak dari Solo tadi. Aku menoleh dan tersenyum padanya.

“Sorry mbak, soale jalane ya kayak gitu, Aku sering berharap lho kalau ono perbesaran jalan supaya lebih gedhe dan nggak berkelok koyo itu, aku paling sebel lewat sini”. Aku hanya bisa tersenyum pada perempuan itu. Tampaknya perempuan kota.

“Kalau nggak terpaksa, aku nggak mau lewat sini, naik bus ini. Seharusnya pemerintah potongi aja pohonnya, di jual untuk buat jalan pintas dan perbarui bus agar lebih gampang atau buat apalah yang maju biar gampang.”

Aku tetap tersenyum menanggapi ucapannya, meski hatiku berontak. Baru saja aku berpikir melestarikan alam, ternyata orang di sampingku berpikir beda jauh. Bus berhenti di terminal Matesih, perempuan tadi turun setelah nerocos entah apa dari tadi padaku. Aku masih memikirkan kata-kata awalnya, aku melamun sejak naik bus hingga tak tahu bahwa ada orang berpikiran lain denganku. Hujan sudah tak terlalu deras, ada kubangan-kubangan air di depan, juga tetesan sisa air hujan. Aku melangkah pulang kedesa, untuk melepas kerinduan bercengkrama dengan alam. Tentang semua khayalanku, mungkin tidak ya?.(khoko_ir@yahoo.com).

Matesih, 06 Juli ’07 / 22.59
Untuk semua mimpi menjelma kenyataan

Share:

0 komentar