Solo dan Rumah Sastra, oleh: Heri Maja Kelana

Akhirnya sampai juga di Solo, setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dari Bandung (pake kereta ekonomi lagi). 12 jam di kereta, rasanya seperti dalam oven. Terus terang saya baru pertama kali ke Solo. Awalnya saya mengenal Solo hanya sebatas pada lagu Gesang “Bengawan Solo”. Solo cukup ramah, namun udaranya sangat panas. Mungkin karena saya terbiasa di udara dingin.
Joko Sumantri seorang presiden Rumah Sastra menjemput kami (Denai, Wizard, Dian Hartati, Dian Hardiana, dan Fadhila) di stasiun Jebres. Rambut yang sedikit ikal, kaca mata, dan sepeda mengingatkan saya pada seorang teman di Majalengka tempat kelahiran saya. Namun Joko agak sedikit melar badannya. “Berapa jauh dari sini ke Rumah Sastra?”. “Bentar kok, nyebrang rel nyampe di rumah sastra” Joko menjawab dengan logat jawanya yang khas. 25 menit berjalan, akhirnya sampai di Rumah Sastra. Tanpa basa basi saya langsung masuk dan menyimpan tas. Sedikit iseng saya bertanya “ada nasi pecel gak ya di sini?”. Dari kereta saya membayangkan nasi pecel. Pecel salah satu makanan favorit saya.
Solo memang ramah dan murah makanannya. Nasi pecel, kerupuk, bala-bala, dan susu coklat cuma empat ribu lima ratus. Di Bandung mana ada makan dengan harga segitu.
Rumah Sastra, rumah yang sederhana, akan tetapi orang-orangnya luar biasa. Spirit untuk berkarya muncul di rumah itu. Chairil dan Pram menjadi simbol, bahwa sastra tidak akan pernah mati. Saya merasakan susana Pentagon (sekretariat ASAS) juga di sini. Kekeluargaannya sangat kentara. Joko Sumantri, memang sang presiden yang sangat gigih membumikan sastra di Solo.
Saya banyak sekali masukan dari rumah sastra, terutama dari orang-orangynya. Sastra yang tumbuh di sini berbeda dengan sastra di Bandung. Di sini saya seperti menemukan dunia baru. Dunia tanpa beban, dunia yang bebas menembus dinding-dinding metafora. Merobek cakrawala dan mengangkat imajinasi purba. Jadi ingin berpuisi nieh. Entah kenapa, di Rumah Sastra hawanya selalu ingin berpuisi. Bagi saya Rumah Sastra adalah Rumah Sajak.
Pawon salah satu jurnal sastra yang lahir dari Rumah Sastra. Jurnal yang agak sedikit nyeleneh, akan tetapi jujur dan berbobot serta menjadi media alternatif bagi anak-anak muda. Dengan semangat independent Pawon terus bergulir. Semangat-semangat ini yang dibutuhkan Indonesia sebenarnya. Pawon tidak dapat bantuan dana dari kapitalis apalagi imperialis. Tidak seperti majalah yang mandapat bantuan dana dari Ford Fondation yang tidak jelas itu. Atau KUK antek imperialis. Konsistensi Pawon, sebagai jurnal sastra yang bermasyarakat wajib kita acungi jempol.
Rumah Sastra akan saya jadikan rumah ke 4, setelah rumah saya tentunya. Saya akan kembali walau sekedar singgah atau rehat, bisa jadi menetap (setelah mas Joko mengijinkan tentunya).
Satu malam di Solo akan saya rindukan, apalagi apalagi nasi pecel, bir, dan ciunya serta hujan puisi di Rumah Sastra pada malam itu. 



*penyair tinggal di Bandung

Tags:

Share:

0 komentar