Di Pinggir Kolam Menikmati Pram, oleh Joko Sumantri

“Sekali dalam seumur hidup manusia harus menentukan sikap kalau tidak
dia tidak akan menjadi apa-apa....”

Kalimat tersebut dikemukakan oleh Fanny Cotimah, menyitir dari novel “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer (PAT). Fanny, seorang ibu rumah tangga asli Bandung dan kini tinggal di Solo menemukan kata-kata tersebut dan ikut mendorongnya melakukan sekian keputusan, termasuk hijrah ke tempatnya sekarang.
Bagi Fanny yang lumayan banyak melalap karya-karya Pram, pencerahan semacam merupakan penguat bagi pengambilan keputusan yang tidak mudah. Meskipun fiksi, tetralogi Pulau Buru pembaca dapat mendalami kisah-kisahnya, seakan-akan bercermin pada kolam bening masa lalu. Pram amat piawai menghadirkan kelampauan dalam berbagai renik konflik, kesulitan hidup, sekaligus ketegaran menghadapinya.
Apabila kita sekali saja membaca tetralogi, dan lalu membandingkan persoalan hidup kita sendiri, rasanya tidak ada apa-apanya.
Sovie, pelajar SMA 2 Solo, membaca Cerita dari Blora yang berkisah kepulangan seorang anak saat ayahnya sakit keras dan hendak terjemput ajal. Detik-detik penggambaran yang dilakukan Pram seakan membuat kisah sederhana ini menjadi sulit dilupakan.
Sementara Riri yang juga masih kelas 1 SMA MTA Semanggi Solo, Pram menawarkan berbagai hal yang tidak tertemui dalam buku pelajaran sejarah. Yang tentu saja jauh lebih menarik. Riri sudah khatam membaca “Panggil Aku Kartini Saja”.
Yudi Agusta Akhir memberi pengalaman menarik. Dia mengaku telah membaca buku “Arus Balik” yang tebal sekali itu hingga dua kali. Yudi membaca novel tersebut secara spartan sepanjang hari. Sekali berhenti dan mencoba istirahat, pikirannya seperti terhantui alur cerita dan nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Jagoan-jagoan esai PAWON, Kabut dan Haris Firdaus, memberi perimbangan atas bincangan yang cenderung memitoskan Pram ini. Kabut mengaku tertarik dnegan esai-esai Pram di tahun 1960-an, dimana Pram bertempur dengan tokoh-tokoh sastra yang lain. Sementara Haris banyak mereferensi pada buku Eka Kurniawan, “Realisme Sosialis” yang mempertanyakan penokohan Pram dan pengangkatan karya-karyanya setinggi langit. Bagi Haris sesuai praduga Eka, Pram dilingkungi oleh berbagai pengalaman hidup yang mencengangkan sekaligus mengharukan. 

* * *

Barangkali demikianlah gambaran singkat perbincangan kami mengambil tema “Aku dan Pram”. Obrolan bertempat di pinggir kolam Balekambang yang eksotik, tempat dimana dahulu hanya keluarga bangsawan yang bisa mengaksesnya. Kami beromobongan duduk melesah pada tikar dan karpet. Menikmati hawa sejuk, air yang memancar, juga angin.
Perbincangan memang tidak bertendensi untuk mengupas karya-karya Pram seilmiah mungkin. Sekedar cerita-cerita persentuhan tiap-tiap pribadi dengan karya-karya Pram. Jadilah sebuah diskusi yang mengalir, mungkin tak sistematis karena banyak intermezzo (terlalu banyak malah!). Tapi gak papa juga toh?

Share:

0 komentar