Pembelajaran dari Sayembara, oleh. Sanie B Kuncoro


Mengikuti sayembara penulisan fiksi, serupa mengikuti sebuah lelang tertutup. Peserta tidak akan mengetahui siapa pesertanya, berapa jumlah pengikutnya, apalagi kekuatan peserta lain sebagai lawan tanding.

Berbeda dengan pertandingan olahraga, di mana masing-masing peserta saling berhadapan sehingga bisa saling mengukur kekuatan lawan, sehingga memungkinkan dilakukannya strategi baru ataukah menambah atau menyimpan kekuatan. Maka cara terbaik mengikuti sayembara tersebut adalah dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga memperoleh hasil maksimal.

Keuntungan dari mengikuti sayembara semacam ini adalah, kita tidak perlu malu bila mengalami kekalahan, karena tidak akan ada yang mengetahuinya. Kecuali apabila kita mengumumkan keikutsertaan kita. Namun kekalahan bukanlah sebuah akhir. Kita bisa belajar dari kekalahan terdahulu untuk menyusun kekuatan guna mencapai kemenangan di masa mendatang. Begitu juga kemenangan. Kemenangan bukanlah hasil final atau sebuah puncak. Kemenangan justru memunculkan hasrat untuk kembali melakukan sebuah pencapaian.

Saya belajar dari sebuah kemenangan.

Lomba penulisan yang pertama kali saya ikuti adalah Lomba Penulisan Laporan dari Daerah, yang diselenggarakan oleh majalah HAI pada tahun 1982. Saya masih murid SMA ketika itu dan menulis tentang para petani yang kehilangan tanahnya karena terbelit hutang. Para petani itu akhirnya menjadi buruh tani dengan menggarap sawah bekas miliknya. Laporan berjudul "Padi tak Sekuning Dulu Lagi" ini menjadi juara pertama. Hadiahnya uang tunai Rp 100.000,- dan mesin tik. Sebuah nilai yang cukup besar pada masa itu.

Saya surprise, sama sekali tidak menyangka, meski tentu saja sangat bahagia dengan kemenangan itu. Lalu kemudian saya sampai pada sebuah pertanyaan, mengapa saya menang? Saya mencari jawabannya dengan membaca seluruh karya pemenang. Lalu saya menemukan sebuah perbandingan. Karya saya ternyata berbeda. Pada umumnya ternyata peserta menterjemahkan makna laporan dari daerah itu adalah sesuatu yang khas dan unik dari suatu tempat tertentu. keunikan itu disajikan secara polos, tanpa tambahan analisa atau ulasan tentang dampak sosial dan ekonomi.

Hal ini kemudian membuat laporan saya menjadi berbeda karena saya mengungkap kisah tentang persoalan petani, yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia sebagai negara agraris. Saya mengupas sebuah masalah yang relevan secara nasional, bahkan tetap aktual hingga saat ini, bahkan setelah lebih dari dua dekade laporan itu dibuat. Analisa dampak sosial yang saya tambahkan menjadikan laporan itu terasa manusiawi.

Pelajaran pertama yang saya peroleh ketika itu adalah, bahwa saya mendapatkan sebuah strategi untuk memenangkan sesuatu. Bahwa kemenangan itu bisa dirancang.

Sesudah itu saya rajin mengikuti berbagai lomba penulisan, khususnya fiksi. Tidak semuanya menghasilkan kemenangan maksimal sesuai harapan, namun itu tidak membuat saya putus asa dan berhenti mengikuti sayembara. Setiap kali saya selalu membaca naskah para pemenang, mempelajarinya dengan cermat dan menjadikannya sebagai standar untuk pembuatan naskah saya guna mengikuti lomba serupa di tahun selanjutnya.

Kekalahan semacam itu tidak membuat saya putus asa, mempertanyakan kemenangan peserta lain ataupun meragukan penilaian juri. Saya percaya setiap lomba memiliki kriteria dan setiap juri memiliki cara penilaian yang berbeda. Hal-hal semacam inilah yang harus dicermati dan ditelisik dengan telaten.

Semua usaha itu membuahkan hasil yang signifikan, meski tidak selalu mencapai target maksimal yang saya harapkan. Namun sejauh ini, apa yang saya peroleh tidaklah terlalu mengecewakan. Karena bukankah kita senantiasa layak berusaha, meski Tuhan jua yang menentukan?

Lepas dari semua itu, janganlah berhenti oleh karena sebuah atau berkali-kali kekalahan. Terus berjuanglah untuk menuju pada sebuah kemenangan yang niscaya teraih pada suatu hari nanti.



Sani B Kuncoro, penulis fiksi. Sering memenangkan lomba penulisan fiksi, saat ini tinggal di Solo.

Tags:

Share:

0 komentar