Mengeja Thukul: Notulen Malam Mengenang Wiji Thukul, oleh Puitri Hati Ningsih



Bertempat di Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah, acara Mengeja Thukul digelar Buletin Sastra Pawon bekerja sama dengan Taman Budaya Jawa Tengah pada hari Selasa, 28 Mei 2013. Acara dibuka oleh Han Gagas selaku koordinator acara, dilanjutkan dengan tampilnya Kinanthi Anggraini sebagai moderator acara dengan mengawalinya membaca bait-bait puisi Thukul yang ada dalam sisipan Majalah Tempo, Para Jendral Marah-Marah. Puisi berjudul Hujan Malam Ini Turun, pas sekali dengan suasana malam itu yang sebelumnya turun hujan dengan derasnya.

Acara kemudian bergulir. Dedek Witranto membaca puisi Thukul, Nyanyian Tanah Ibu. Dilanjutkan oleh Bandung Mawardi  yang berbicara sejenak tentang Thukul. Kabut tak ingin mendirikan Thukul Fans Club dan sejenisnya. Ia bertemu Thukul dalam kata. Ketika ia menang dalam sayembara menulis esai DKJ tahun 2008, esainya membahas tentang rumah dan Wiji Thukul. Melalui kata ia bisa merasakan mengalami kehidupan Thukul yang padat akan kegiatan seni rakyat dan seorang buruh. Pengalaman Kabut menjual buku bekas juga membawanya “bertemu” Thukul. Adalah tokoh kebudayaan Solo, Halim HD yang menemukan buku milik Widji Thukul yang dijualnya. Buku lawas itu karangan Subagyo Sasrowadoyo, bertanda tangan Wiji Thukul dengan tulisan tangan pendek di mana  buku itu di beli Thukul. Puisi Thukul tidak selau tentang politik, tapi juga perkotaan, tentang realitas, juga tentang ibu. Thukul menulis untuk menjalani sebagai manusia. Menurunkan estetis jadi realis, menjadikan sastra mendapat undangan untuk kepantasan menjadi manusia.

Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Ngadiyo. Ia terkesan dengan puisi Thukul: Peluk Sekuat Cintamu, dan juga geguritannya berjudul Bloko. Bagi pengasuh rubrik ‘Buku yang Harus Dibaca!’ di buletin sastra Pawon ini, puisi Thukul bisa jadi katarsis bagi penulisnya sendiri dan juga bagi pembaca. Puisinya biografis, tidak bertele-tele tapi pesannya tersampaikan.

Bagi Nasirun Purwokartun, Thukul adalah nabi kepuisiannya. Meski mereka berbeda agama tapi itu tak masalah dalam hubungan kebaikan emosi pada mereka. Pengarang novel Penangsang ini, bahkan berucap, Kalau ia tak membaca karya Thukul yang buruh itu, mungkin ia masih jadi tukang parkir hingga sekarang. Nasirun mengaku puisinya gelap sebelum membaca Thukul. Tapi Thukul kemudian menginspirasinya, sehingga puisinya kemudian lebih realis. Ia bahkan pernah menulis dalam satu puisinya: Habis Thukul terbitlah Thukul.

Uun Nurcahyani yang jauh-jauh datang dari Pare, Kediri, bersama rombongan, mengatakan bahwa tak ada ingatan tentang Thukul pada anak muda sekarang. Ada yang mengatakan puisi Thukul tak indah, selaras, seirama. Tapi buat Uun, karena hidup sendiri adalah puisi, dan kita semua adalah penyair. Di masa datang kita akan bicarakan puisi kita.

Yudhi Herwibowo kemudian menambahkan cerita tentang Thukul. Buku puisi Thukul, Aku Ingin Menjadi Peluru, dikabarkan ada  yang menjual ingga seratus ribu rupiah. Yudhi juga membacakan tulisan Dorothea Rosa Herlianti, tentang alasan-alasan mengapa Indonesiatera berani menerbitkan tersebut. Waktu itu buku didominisasi oleh pengarang mapan, maka Indonesiatera menerbitkan buku puisi yang melawan itu. Puisi-puisi Wiji Thukul yang kemudian dipilih.” Yudhi juga membacakan apresiasi dari sastrawan yang dulu juga melakukan gerakan menentang Suharto, Linda Christanti.
Acara kemudian dilanjutkan dengan tampilnya Fajar Merah, putra Wiji Thukul, bersama dua orang temannya. Dengan gitar akuistiknya mereka menyanyikan lagu Bunga Dan Tembok karya ayahnya. Sebelumnya ia juga membawakan satu lagu ciptaannya sendiri, Intuisi.

Indah Darmastuti membacakan kiriman dari seorang teman dari Balai Bahasa Yogya dan juga Kurnia Effendi. Ia juga membaca geguritan karya Wiji Thukul berjudul Sipenmaru, Reco Gladag, dan Bloko. Ia sempat mengundang Fajar Merah maju untuk sedikit berbincang. Tapi Fajar Merah lebih banyak tersenyum dari pada berbicara. Tampaknya ia ingin tak terbebani menjalani hidup sebagai anak Thukul.

Puitri Hati Ningsih pernah bertemu Thukul saat menonton pentas di Teater Arena TBJT. Samar-samar ia mengingat Thukul membaca puisi Aku Ingin Jadi Peluru di era Soeharto. Ini juga seperti kisah yang dialami puisi YE Marsetyanto yang kerap bertemu Thukul di Teater Arena, kadang saat ia duduk di tangga pintu masuk. Puitri juga membacakan geguritan Thukul berjudul Ing Telenging Ning dan Protelon.

Di meja depan, selepas orang-orang itu member komentar, Han kembali bicara: Thukul seharusnya menampar kita yang sering menulis untuk tujuan populer. Semua penulis mengalami masa pahit.

Fauzi, esais muda produktif,  pernah menulis esai tentang seragam. Esai itu amat mengesan padanya dan terinspirasi dari Thukul. Sampai sekarang ia masih bingung dari mana Thukul menemukan kata Lawan yang terkenal itu? Siapa yang mengajarinya? Bagi Fauzi, Thukul bukan hanya penyair tapi juga guru. Ia tak ingin merayakan Wiji Thukul menjadi penyair seperti dalam Majalah Tempo, menurutnya Thukul mirip Paulo Feirre dengan Pendidikan Yang Membebaskan.

Mas Kodok, mantan murid WS`Rendra di Bengkel Teater berkata; baginya jika tak hilang, Thukul tak terkenal seperti sekarang. Kata lawan itu ternyata dari Rendra. Tapi ia cukup kagum pada perjuangan dan keberanian Thukul. Thukul teramat berani, dan Soeharto teramat goblog.

Ikhlas, yang pernah menulis skripsi tentang Thukul, belum tahu akan jadi apa skripsinya nanti. Ia berpikir yang terpenting ia berjalan dulu. Menurut Arif Budiman, Thukul adalah penyair untuk kampungnya sendiri di Jagalan, juga seperti kata Max Havelar: saya mau dibaca. Puisi Thukul tentang kondisi sosiologi, kemiskinan dan ketidaktahuan. Puisinya bisa puisi yang tak punya pendengar. Puisi yang komplit tentang keluarga dan perasaan. Puisinya tidak menyensor banyak hal dan tak membatasi kata lawan. Kata lawan adaah proses dari “hati-hati”. Ikhlas juga sempat membacakan satu puisi Thukul: Kota.

Dari pandangan Lasinta Ari Nendra, penyair dengan atribut puluhan kemenangan, puisi Aku Ingin Jadi Peluru adalah perkenalannya dengan Wiji Thukul. Ia terpengaruh dengan puisi Thukul karena sebelum membaca puisi Thukul, puisinya kerap bertema filsafat dan agama. Maka puisinya yang tahun 2008 di muat Solopos, mengandung tema sosial dan politik. Lasinta juga membacakan puisi Thukul berjudul, Pengantin Baru.

Yunan, salah satu pemuda dari Pare, Kediri, membaca puisi Thukul berjudul Ayo Kita Teba-tebakan. Ia memang baru mengenal tokoh ini dari Majalah Tempo tersebut.

Muhadi, penjual buku di Wisma Seni dan TBJT, bercerita panjang tentang Thukul. Ia bahkan sempat membacakan sms Haim HD yang tidak bisa datang malam itu. Salah satu ceritanya; sehabis demo Sritex dulu, Thukul pernah ngudarasa padanya untuk buka usaha wedhangan, Thukul juga mengambil beberapa buku dagangannya dan belum dibayar. Dulu, Halim HD pernah bercerita bahwa Thukul mungkin masih hidup, namun belum saatnya atau belum menemukan waktu yang tepat untuk muncul. Ia mungkin ia tak ingin kembali muncul, namun yang jelas: ia menginspirasi kita semua di sini.

Arief Yudhistira, esais muda yang aktif dalam demo-demo mahasiswa, mengatakan puisi adalah jalan sunyi yang perlu disampaikan. Dulu Thukul suka membagi-bagikan puisinya di setiap acara. Arif membaca puisi Thukul, Maklumat Penyair dan Penyair

Acara ditutup oleh Han Gagas, yang mengatakan heroisme sastra itu menggugah kita, seperti juga Pram, Mohtar Lubis. Tapi semuanya, tidak seperti Thukul yang dipaksa tiada.


Share:

0 komentar