"Kualitas karya antar penulis boleh 'sama mutunya' namun 'keberuntungan' tiap penulis berbeda-beda..."




wawancara Han Gagas dengan Joni Ariadinata 

Wawancara kali ini terbilang mendebarkan. Pertama, saya sepertinya harus mengunjungi narasumber yaitu Joni Ariadinata di rumahnya, rumah yang pernah tayang di rubrik Rumahku harian Umum Kompas.
Saya terus terang “terpesona” terhadap “keindahan, keluguan, keajaiban” pembangunan rumah Mas Joni seperti yang saya baca di Kompas. Rumah di pinggir sungai, lemah kiwo, “tempat pembuangan jin”, rumah dengan tanah yang luas dengan beberapa kolam yang hasilnya diberikan cuma-cuma pada warga sekitar, rumah yang secara ajaib bisa dibangun “hanya” dengan “menulis” disokong oleh doa kuat Gus Mus –Mustofa Bisri- dan Kang Ahmad Tohari. 
Rumah itu setelah saya kunjungi menambah “gemetar” saya terhadap berbagai “fakta dan mitos” di dalamnya, terutama saat kami berbincang di beranda samping yang terbuka menghadap Pohon Munggur besar (pohon Trembesi) di latari belukar dan rumpun bambu serta sungai. Di beranda itu kami mengobrol dari siang hingga malam menjelang.
Kedua, perjalanan darat ke rumah mas Joni adalah jarak tempuh terjauh saya dalam melakukan wawancara. Biasanya kalau narasumber berada di luar kota, saya selalu memakai fasilitas email untuk melakukan wawancara (tertulis). Kini, wawancara harus dengan tatap muka langsung, saya sendiri yang seakan mengharuskannya, karena sebelum rencana wawancara ini ada, saya memang berniat mengunjungi rumahnya, dan si narasumber mempersilakan saya dengan sangat ramah.
Tak hanya soal niat saya dan rumah mas Joni, “keberanian” saya mewawancarai untuk buletin sastra Pawon ini juga karena karya teman-teman penulis Solo hampir berurutan dimuat Majalah Horison yang mas Joni ikut jadi anggota redaksinya. Ada cerpen saya, Yudhi Herwibowo, dan Gunawan Triadtmojo serta puisi-puisi Budiawan Dwi Santoso dan Kharisma. Kata mas Joni, ya ini karena makin gencarnya karya penulis Solo yang masuk, dan bagus.
“Amunisi” yang lain, dari srawung saya dengan Mardi Luhung dan M. Faizi, penyair-penyair keren yang saya selalu takjub atas pikiran-pikirannya, pernah mengintimkan sosok Joni Ariadinata di benak saya. Saya merasa mereka bertiga adalah guru-guru saya sejak saya mengenal mereka lebih dalam. Walaupun saya “tak bisa menulis puisi”.
Tak hanya itu dan itu, ditambah srawung saya dengan Kang Ahmad Tohari dahulu ikut pula menambah “nyali, amunisi, dan hasrat” saya menemui Joni Ariadinata.
Banyak hal itu menumpuk di batin saya sehingga pada hari Sabtu, 25 Mei 2013 saya mengunjungi Mas Joni di rumahnya bersama penyair muda, Ekohm Abiyasa, yang “ketiban anugerah” ditahbis Mas Joni, dengan sedikit gurauan bersama saya, dan Mahwi Air Tawar yang kebetulan berkunjung karena rumahnya berdekatan dengan rumah Mas Joni, nama penanya menjadi Eko Abiyasa. Dengan menghilangkan “hm” konon, sepertinya, bisa lebih “mengangkat” derajat kepenyairannya.
Akhirnya di waktu dzuhur kami bertemu, berbicara banyak hal, dan dari Mas Joni saya mendapatkan “berbagai fakta dan ilmu kehidupan”.

Mas Joni, bisa cerita tentang naskah yang masuk Horison?
Dalam kurun sebulan Majalah Horison bisa menerima 500 kiriman karya. Dan hanya 2 cerpen yang dipilih diantaranya.

Wah banyak betul ya? Berapa eksemplar Horison dicetak, dan berapa jumlah pelanggannya sekarang?
Dicetak 11 ribu eksemplar dengan 3 ribu pelanggan. Horison ada di setiap kedutaan-kedutaan asing di luar negeri. Jadi bacaan Sastra Indonesia di sana ya hanya Horison.

 Kalau boleh tahu, bagaimana sistem kuratorialnya di Horison?
Untuk cerpen, saya, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman. Untuk puisi ditambah Cecep Syamsul Hari, Pak Taufik Ismail.
~ Wah, ketat betul ya, ternyata.

Cerpen Lampor seperti menjadi pintu pembuka bagi Mas Joni untuk diterima secara luas oleh publik. Komentar Mas Joni?
Cerpen Lampor membuat saya “beruntung” sehingga memenangi kumpulan cerita pilihan Kompas. Keberuntungan ini adalah “berkah” doa ibu yang tulus sepanjang hampir 6 bulan berpuasa tanpa putus demi “keberuntungan” itu. Keberuntungan ini membuka pintu rejeki saya dengan banyaknya undangan buat berbicara, karya saya makin banyak diterima, dan kesempatan buat saya bisa lebih banyak berbagi pada orang lain.
Keberuntungan saya yang lain adalah cerpen tanpa honor yang diminta para santri. Waktu itu saya sesungguhnya “malas” membuatnya tapi melihat muka mereka yang “melas” saya memaksa diri membuat, lagipula mereka telah menunggu saya untuk mengetiknya. Tak dinyana, justru karena cerpen inilah saya diundang banyak sekolah untuk membacakannya. Hehehe.

Ada pameo kualitas karya dan nasib penulis tak liner, bagaimana menurut mas Joni?
Kualitas karya antar penulis boleh “sama mutunya” namun “keberuntungan” tiap penulis berbeda-beda.
Faktor yang membuat beda dijelaskan mas Joni secara panjang lebar sehingga saya kesulitan mencatatnya dengan lengkap namun pada dasarnya itu membuat saya merenungkan hidup lebih dalam, dunia sufi, makrifat, dunia batin mesias, laku hidup prihatin-puasa, dunia tak terlihat, dunia kebaikan, dunia kebajikan membaur dalam dunia kita sebagai manusia-penulis yang sulit lepas dari hasrat ego, dan menjadi manusia “berbudi dan berbagi” akan mendatangkan keberuntungan-keberuntungan itu.

Boleh ceritakan tentang undangan membaca cerpen di Eropa, Mas?
Ke Eropa adalah mimpi saya, mimpi sejak awal menjadi penulis. Kita harus punya mimpi, itu doa, doa bukan “ndemrimil” menengadahkan tangan, tapi “krentek” di hati. Allah tahu apa mimpi kita yang paling dalam. Undangan itu bagi saya adalah karena faktor “keberuntungan” di mana melalui Mas Rendra saya direkomendasikan. Kebetulan saya habis ke rumahnya waktu itu. Hehehe.
Obrolan disudahi, diselingi makan bersama, sembahyang, menengok rumah Mahwi. Lalu setelah Maghrib kami pulang, saya merasa “merinding” bukan karena sentuhan “makhluk astral” namun karena teringat kembali kisah nyata ibu mas Joni yang berpuasa berbulan-bulan tanpa putus demi nasib baik anaknya. 


PROFIL
Joni  Ariadinata, lahir di Majapahit, Majalengka 23  Juni  1966. Kumpulan  cerita pendeknya yang telah terbit adalah Kali  Mati (Bentang  Budaya, 1999),  Kastil  Angin Menderu (Indonesia Tera,  2000),  dan  Air Kaldera (Aksara Indonesia, 2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (DAR Mizan, 2004).

Bersama Taufiq Ismail dkk., mengeditori sejumlah buku, antara lain: Horison Sastra Indonesia 1 (Kitab Puisi), Horison Sastra Indonesia 2 (Kitab Cerpen), Horison Sastra Indonesia 3 (Kitab Novel), Horison Sastra Indonesia 4 (Kitab Drama), serta Horison Esei Indonesia 1 dan 2 (Kitab Esei). Buku-buku tersebut, disebarkan untuk menjadi bacaan di perpustakaan-perpustakaan SMA di seluruh Indonesia.

Tahun 1994 meraih  penghargaan Cerpenis Terbaik Kompas atas karyanya Lampor. Tahun 1997  meraih penghargaan   Cerpenis  Terbaik  Nasional  BSMI  atas karyanya Keluarga  Mudrika.  Tahun 1998 mengikuti  Writing  Program  pada Majelis Sastra  Asia  Tenggara,  dan  meraih  penghargaan  Dewan Kesenian  Jakarta atas nominasi karyanya Keluarga Maling.  Mengikuti PSN-X dan Pertemuan Sastrawan Malaysia-1 di Johor Bahru  Malaysia pada tahun 1999.  Kemudian Januari hingga April 2001,  mengunjungi  Eropa atas  undangan  Festival  Winternachten di  Deen  Haag Belanda, tinggal  di  Amsterdam, serta berkeliling membacakan cerpen  dan  ceramah-ceramah  sastra  di Paris-Perancis.

Selama lima tahun ia berkeliling Indonesia, memperkenalkan sastra ke SMA-SMA hingga ke pelosok-pelosok daerah dan pulau terpencil bersama Taufiq Ismail dkk., dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Tahun 2000 mendirikan Jurnal Cerpen Indonesia, dan Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia, kemudian terhitung mulai Maret 2004, ia duduk sebagai redaktur di Majalah Sastra Horison.

Menerima Anugrah Pena 2005 atas kumpulan cerpennya “Malaikat Tak Datang Malam Hari”. Tahun 2007 kumpulan cerpen “Malaikat Tak Datang Malam Hari” kembali meraih Hadiah Sastra Pusat Bahasa. Hingga kini menetap  di Yogyakarta, menulis, melukis, sambil membina pondok pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Share:

3 komentar