Hujan Bulan Juni yang Saya Pahami, oleh Astuti Parengkuh
Terus terang,
tanpa referensi apapun (thriller, resensi, kutipan) saya menonton film ‘Hujan
Bulan Juni’ sebab saya belum pernah membaca novelnya. Memasuki menit-menit
pertama, tergambar bagaimana sosok Sarwono dengan penampilan jadul, --belakangan
saya membaca di novel-- jadul ditulis zadul, entah, Sapardi ingin membedakan
biar tampak kekinian, mungkin. Sarwono suka mengenakan kemeja, dengan kerah
tegak, di suasana apa pun, di kampus, makan malam dengan keluarga Pingkan
kekasihnya, maupun saat di danau.
Berbeda dengan
Pingkan, perempuan muda campuran Ibu Jawa ayah Menado, yang kekinian dalam cara
berbusana, casual, modis, humble ketika berkomunikasi dengan orang lain.
Pokoknya bisa mewakili generasi millenial-lah. Sarwono yang Jawa dan Solo,
pendiam, mahal senyum --cenderung muram-- padahal tidak ada latar belakang yang
bercerita tentang kesuraman hidupnya, kecuali cerita bahwa ayahnya seorang PNS,
bukan orang miskin-miskin banget. Jadi saat adegan Sarwono di-shoot, maka saya
selalu kucek-kucek mata saya untuk meyakinkan, oke...ini setting zaman
now,eh, sekarang, bukan setting tahun
70-80-an.
Plot film di
setengah jam pertama membosankan, tidak ada hentakan-hentakan yang membuat otak
bekerja dengan cepat. Jika film ini digolongkan drama romantis, tak ada
gambaran yang menunjukkan drama yang sebenarnya. Akting Velove datar, pun
Adipati Dolken. Lalu ada Baim Wong yang diposisikan sebagai sepupu Pingkan yang
akan dijodohkan oleh keluarga besarnya berusaha membangun sedikit suasana,
berbeda dengan akting Velove dan Dolken.
Saya berharap
mestinya ada drama di sana, pertengkaran kek, hingga pergumulan alot dong, baku
-pukul mungkin kayaknya. Atau misal saat mereka bertiga melakukan perjalanan
darat menuju Gorontalo, tempat Sarwono akan melakukan kerja sama dari
universitasnya. Demi Tuhan saya ingin ada adegan dramatik di sana. Eh, malahan
Pingkan yang ingin mencari toilet, kemudian disusul Sarwono ke tepi laut,
mereka malah melamun berjamaah.
Sungguh
pemandangan yang membosankan. Jika benar Pingkan hendak mempertahankan jalinan
cintanya dengan Sarwono, mestinya dari awal itu sudah ditunjukkan dengan mengambil
jarak dengan Benny. Meskipun kemudian dijelaskan jika Benny bertekuk lutut
kepada sepasang kekasih tersebut.
Lalu ada Katsuo,
laki-laki Jepang yang pernah belajar di UI,kemudian memfasilitasi Pingkan untuk
studi lanjutan di Jepang. Ada rasa cemburu di benak Sarwono, namun ditepis oleh
Pingkan. Tidak ada gambaran romantisme yang ditunjukkan Pingkan dan Katsuo
kecuali percakapan dalam bahasa WhatsApp seperti ‘Di sini lagi musim dingin,
mau kubelikan jaket?” lalu dijawab oleh Pingkan, “Aku sudah beli,” sepertinya
begitu. Percakapan keduanya tak beda sepasang teman.
Tidak ada jerih
upaya Katsuo untuk mendapatkan cinta Pingkan. Gambar-gambar di bukit yang
bercerita tentang dongeng/legenda Putri Pingkan dan Matindas, berlatar belakang
patung, tidak memiliki arti apapun, baik ketika adegan Sarwono bersama dengan
Pingkan di sana. Percakapan puitis di antaranya keduanya hanya menjelaskan
bahwa di negeri Menado pernah ada cerita tentang Matindas yang bertaruh
cintanya demi Putri Pingkan.
Tatkala bukit itu
tiba-tiba dipenuhi backdrobe ala-ala Jepang, dengan lampion, payung dan
baju kimono. Tidak ada satu pun yang menggambarkan Katsuo memperjuangkan
cintanya untuk Pingkan. Jadi ketika pertanyaan Pingkan kepada Katsuo, pun dia
ajukan pula kepada Sarwono, “jadi cinta itu apa?” tak pernah terjawab. Tidak
ada cinta yang diperjuangkan oleh masing-masing karakter. Mereka bertiga lemah
secara karakter, Sarwono, Pingkan, dan Katsuo.
Sarwono lalu
jatuh sakit, sebab penyakit yang mungkin lama diidapnya karena kebiasaan merokok. Ditunjukkan dengan akting
di sebuah adegan tiba-tiba dia memegang sebatang rokok. Dia meringkuk ditemani
oleh sang ibu. Kemudian Sarwono mati. Sementara kepulangan Pingkan ke Indonesia
bukan karena sakitnya Sarwono, tetapi karena dia menyertai 20 mahasiswa Jepang
yang hendak ke Indonesia.
Saya tidak tahu
tentang teknis film, tetapi sedikit yang saya amati adalah kecanggihan kamera
saat mengambil gambar pingkan ; rambutnya yang tergerai, jelas sangat
sulur-sulurnya_tentu ini bukan kamera sembarangan. Saat ada adegan dengan
setting di tengah-tengah ladang jagung_mirip gambar punya Garin di Cinta dalam
Sepotong Roti_ saya berharap banyak ada ‘disturb’ di situ, biar agak rame gitu.
Ada sih, ada kereta yang ditarik sapi lewat. Saya berharap adegan-adegan
sebelumnya saat di tepi danau, mbok ada bercandaannya gitu yang kemudian
salah satu dari mereka_Pingkan atau Sarwono jatuh kecebur di air gitu kan
asyik.
Latar belakang
bukit, kemudian danau dan laut tentu bagus, tetapi dengan porsi yang terlalu
sering, ditambah dengan tampilan puisi-puisi di slide pada dua pertiga
perjalanan film, yang porsinya kebanyakan. Ada sembilan puisi sepertinya
malahan mengganggu. Puisi menjadi hal yang dominan ditampilkan dalam gambar
bergerak. Inilah yang kemudian saya pahami film sebagai seni yang
intermedialitas atau multimedialitas.
Dalam seminar
bertema Seni dan Multimedialitas yang saya ikuti sehari di Gedung Sekolah
Pascasarjana, oleh Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM
pada Sabtu (11/11). Sebagai salah seorang pembicara, Sapardi Djoko Damono
membawakan materi tentang intermedialitas/intertekstualitas/multimedialitas.
Pengertian multimedialitas menurut Sapardi adalah campuran tulisan, audio,
visual yang dikombinasikan dengan media untuk menciptakan makna.
Intermedialitas dimaknai sebagai cara-cara untuk memahami hubungan
antarmedia.
Sapardi mengutip
Marshall Mc Luhan,”Dalam sebuah medium ada medium.”
“Saya perlu
duit. Saya tidak turut campur atas film itu, kalau bagus ya katakan bagus, jika
jelek ya jelek,”kata Sapardi Djoko Damono di hadapan para peserta seminar. Dia
mengartikan bahwa Hujan Bulan Juni telah mengalami alihwahana. Alihwahana
diperlukan sebagai pengetahuan. Kalimat sama juga disampaikan saat kunjungannya
di Solo 27 September dalam Meet and Great, Booksigning di Toko Buku
Gramedia, bahwa kebudayaan bisa berjalan hanya dengan alihwahana.
“Anda pernah
membaca Siti Nurbaya? Salah satu kalimatnya berbunyi jika Siti Nurbaya berkulit
bening, sehingga ketika dia minum maka akan kelihatan di tenggorokannya aliran
air itu. Matanya indah seperti mata janda yang bangun tidur. Ini kalau sama
penerjemahannya maka filmnya akan menjadi film horor. Tetapi Anda tahu, pemain
Siti Nurbaya adalah Novia Kolopaking, yang saat itu mahasiswa D3 saya, yang
sama sekali berbeda atas penggambaran Siti Nurbaya dalam novel.” Menurut
Sapardi itu adalah pengkhianatan dalam penerjemahan.
Setelah menonton
film Hujan Bulan Juni, maka saya baru membaca novelnya. Nyaris sama dengan
durasi film, sekira dua jam buku itu tamat. Berbeda saat menonton film yang setengah jam di awal membosankan, ditambah sepertiga
akhir tak beda pula, membaca novel Hujan Bulan Juni membuat saya ingin segera
menuntaskan tanpa melepas buku itu. Saya lebih menikmati membaca buku Hujan
Bulan Juni, karena ada banyak pengayaan di sana, tentang Menado tentang Solo.
Latar Solo yang akrab dengan saya karena saya Wong Solo.
Munculnya
idiom-idiom Jawa seperti “sing ngecet Lombok” untuk membahasakan Tuhan,
lalu istilah ‘kaum pidak pejarakan’ untuk mengganti kata ‘rakyat’. Saya
suka Sapardi melontarkan kata-kata yang akrab di telinga saya sebagai orang
Jawa, “Yen modar ya modaro’ sarkasm tetapi itu yang biasa ada di telinga
saya, kami, kaum rakyat. Saya suka sekali ada kata ‘pengung’ untuk
menggantikan kata ‘bodoh/naif’ dan istilah ‘sontoloyo’ yang berkali-kali
disuarakan Sapardi.
Bagi saya novel
Hujan Bulan Juni lebih hidup dari ‘gambar hidup’-nya.
0 komentar