Gerilyawan Sastra, disusun oleh Indah Darmastuti untuk buku Para Penjaga Kata: Kiprah Komunitas Sastra di Jawa Tengah yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jawa Tengah
Berawal dari kegelisahan kolektif, Komunitas Sastra Pawon
(selanjutnya saya menyebutnya “Pawon”) terwujud. Sebelumnya, di Solo ada
beberapa komunitas yang konsentrasi pada wilayah sastra dan penulisan kreatif.
Komunitas itu antara lain: Sketsakata, Kabut Institut, Meja Bolong, Sekte
Surat, Forum Pinilih, Bumi Manusia, Penyair Berdarah. Masing-masing komunitas itu memiliki agenda
kegiatan sendiri-sendiri meski mirip satu dengan yang lain.
Kemudian, atas prakarsa almarhum Joko Sumantri (Mahasiswa
FKIP Matematika UNS), beberapa personil dari beberapa komunitas menulis itu
berkumpul di Wisma Seni (kompleks TBJT) pada Desember 2006. Mereka adalah:
Wijang Wharek, Ridho Al Qodri, Joko Sumantri alm, Bandung Mawardi, Han Gagas
dan Puitri Hatiningsih. Karena satu dan lain hal, Yudhi Herwibowo batal datang
pada pertemuan kecil itu.
Malam itu adalah malam peletakan batu pertama sebuah
bangunan komunitas sastra di Solo. Mereka menggagas sebuah nama untuk
menyatukan visi dan misi, mewujudkan sastra yang menjangkau masyarakat
seluas-luasnya dan menghapus anggapan bahwa sastra adalah wilayah eksklusif.
Mereka mengingin dan mengangan sebuah tim yang terus menempa hasrat belajar,
merawat rasa haus akan pengetahuan agar tetap menjadi manusia dan memanusiakan
manusia melalui sastra.
Beberapa nama dimunculkan, kesemuanya indah dan enak
didengar. Tetapi akhirnya nama PAWON yang dipilih untuk mewadahi
kegelisahan itu. Pada perjalanannya, Pawon akan banyak menemui
pertanyaan, mengapa ia dinamai seperti itu? banyak orang pesimis akan
kelangsungan hidup Pawon, tetapi memang rasa pesimis itu tidak berlebihan,
bahkan sangat wajar mengingat betapa menguras energi dan pikiran untuk terus
menghidupi komunitas sastra secara independen. Tetapi karena spirit Pawon yang
ingin berbagi, karena sastra adalah murah hati, maka secara independen juga, (syukur)
Pawon tetap hidup dengan penuh kederhanaan dan akan tetap sederhana sampai
kapan pun.
Mengapa Pawon?
Pawon adalah dapur dalam bahasa Jawa. Satu bagian dari
sebuah rumah, sebuah tempat untuk mengolah bahan mentah menjadi sesuatu yang
siap disajikan, layak dinikmati, mengenyangkan, menghibur, menyehatkan dan
menjadi kebutuhan.
Pawon, dalam masyarakat Jawa khususnya di desa-desa, adalah
tempat bercengkrama dengan para tetangga, mengisahkan hidup dan menghidupkan
kisah-kisah mereka. Itu alasan mengapa nama Pawon dipilih.
Maka, Pawon Sastra adalah tempat berkumpul orang-orang yang
ingin mengolah idea tau gagasan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati melalui
tulisan atau kegiatan. Tempat yang disediakan bagi orang-orang baru, yang ingin
bercengkrama dan belajar bareng mengolah rasa dan kata. Pawon ingin mematahkan
anggapan bahwa dunia sepi, dunia sunyi seperti sastra adalah tempat yang
membuat manusia kesepian. Tetapi wilayah sunyi ini justru yang akan dipakai
Pawon untuk mengajak masyarakat untuk melihat sejarah kota, sejarah kuliner,
sejarah sebuah bangsa, sejarah manusia itu sendiri, melalui perspektif
masing-masing. Langkah-langkah kecil tanpa suara, bergerilya dalam hening, sepi ing pamrih, selain melaksanakan
kerja intelektual demi mendekatkan diri kepada semesta, kepada sesama dan
terutama kepada diri sendiri. Mengenali batas tanpa batas. Maka, Pawon membuat
program-program yang sebisa mungkin memberi arti bagi sesama berapa pun
kadarnya.
Markas
Adalah Rumah kontrakan Joko Sumantri, yang kemudian dinamai
Rumah Ide, menjadi markas di mana tim Pawon sering berkumpul. Berlokasi di
kampung Kalangan, Jagalan Solo itu juga dibuka kelas menulis. Tempat itulah
yang kemudian dijadikan markas ketika Pawon sudah terbentuk. Sebelum akhirnya
pindah rumah (kontrakan) yang tetap dijadikan markas dan kami menamainya Rumah
Sastra. Berlokasi di gang Kepuh, Jebres.
Menerbitkan Buletin.
Bulletin Sastra Pawon terbit perdana pada Januari 2007 yang
dilaunching di Forum Pinilih. Mengundang banyak pecinta baca-tulis dan pelaku
seni pada sebuah malam usai hujan deras. Dingin dan basah. Tetapi di ruangan
itu hangat oleh berbagai obrolan yang begitu akrab tetapi juga sedikit sengit.
Tepat pada acara itulah penulis Indah Darmastuti bergabung hingga sekarang.
Selanjutnya, setiap bulletin sastra itu terbit, selalu
diacarakan berpindah-pindah tempat, dengan tema-tema obrolan yang semakin
beragam. Masa itu, satu eksemplar bulletin kami jual dengan harga Rp 2500
sebagai ganti ongkos cetak. Tetapi pada perjalanannya, ongkos ganti cetak kami
turunkan menjadi Rp 1000 sampai kemudian kami memutuskan untuk membagikan
secara gratis di setiap acara sastra, baik di Solo maupun di luar Solo.
Ketika itu, Pawon digarap oleh: Joko Sumantri, Ridho Al
Qodri, Bandung Mawardi, Yudhi Herwibowo, Anton Widyanto Putra, Han Gagas,
Putiri Hatiningsih, Indah Darmastuti, Yunanto Sutyastomo.
Pawon sangat terbuka terhadap siapa saja yang ingin belajar
bersama. Kegiatan demi kegiatan dirancang dan diwujudkan dengan penuh
kesederhanaaan. Kelas menulis, workshop, diskusi dan menerbitkan bulletin
dilakukan secara rutin, hingga kemudian masuk nama Haris Firdaus, Fanny
Chotimah bergabung dalam keredaksian.
Meskipun beberapa anggota redaksi akhirnya pindah atau
bekerja di luar kota, Sastra Solo harus tetap hidup. Pawon tetap harus
mengepul. Koordinator berganti-ganti, tim tetap solid dan memegang teguh visi
dan misi. Hingga sekarang, Pawon sudah berusia 8 tahun (2015).
Pawon sudah SD, masih tetap belajar membaca dan menulis.
Masih suka bermain, masih suka ngambeg karena kecapekan secara mental, lalu
istirahat sebentar untuk mengisi dan memulihkan energi sehingga Pawon kembali
melanjutkan gerilya. Tentu saja, meski Pawon harus jeda untuk mengambil nafas
panjang demi kegiatan selanjutnya, masing-masing anggota tim tak pernah
berhenti berproses. Esais tetap menulis esai dan makin memperpanjang portofilio
media massa yang memuat karyanya, novelis tetap menulis dan menggumuli
naskahnya, cerpenis tetap membuahkan cerpen-cerpen yang secara bergantian
muncul di media massa, penyair tak berhenti menggubah syair. Intinya, awak Pawon
terus saling mengingatkan, menyemangati untuk tidak berhenti berkreasi,
berproses. Pawon mengamalkan butir-buitr pemikiran Pramoedya Ananta Toer. “Ketika
usia menghentikan hidup kita, dengan menulis, tulisan kita akan memperpanjang
umur kita di dunia.” Tentu saja yang dimaksudkan bukan kami mencari ketenaran
atau nama besar, bukan itu. Tetapi jejak karya kami, moment-moment dan
pengalaman kami, jatuh bangun kami, apresiasi kami terhadap peristiwa dalam
kehidupan kami, akan tertinggal meski secara wadag sudah berada dalam rengkuhan
alam.
Perpecahan
Ketika
itu tahun 2008. Karena ada perbedaan pendapat dan visi, misi, maka terjadi
ketegangan pada awak Pawon. Pembentukan Dewan Kesenian Surakarta melatari
perbedaan pendapat itu sehingga Pawon berada pada situasi dan atmosfer yang
kurang nyaman. Kemah Sastra menjadi agenda kegiatan terakhir sebelum Pawon
terpecah. Pada agenda inilah keterlibatan Sanie B. Kuncoro pada Pawon dimulai. Lepas
itu, personil Pawon terbelah. Joko Sumantri (Joksum) akhirnya memutuskan keluar
dari keredaksian dan membentuk Komunitas Sastra Alit yang juga menerbitkan
Buletin. Selanjutnya roda Pawon diputar oleh: Bandung Mawardi, Yudhi Herwibowo,
Yunanto Sutyastomo, Anton Widyanto Putro, Puitri Hatiningsih, Indah Darmastuti,
Han Gagas, Fanny Chotimah dan Haris Firdaus. Meski tidak duduk dalam anggota
keredaksian, Sanie B. Kuncoro terlibat dalam banyak program kegiatan.
Agenda Kegiatan
Selain
menerbitkan Bulletin sederhana, Pawon juga mengadakan acara-acara yang digelar
untuk memertemukan banyak penulis dan pembaca sehingga pada moment seperti itu,
bisa digunakan untuk belajar bersama, saling menimba ilmu dan pengetahuan. Acara yang digelar antara lain:
a. Work
Shop Penulisan Sastra
Hampir
setiap tahun, Pawon selalu mengadakan workshop menulis untuk remaja
(SMA-Mahasiswa). Pada awal-awal, Pawon mengadakan secara mandiri. Tempat-tempat
yang pernah digunakan Pawon untuk mengadakan workshop antara lain: Joglo
Sriwedari, Simple Speace (Belakang kompleks Paragon), Taman Balaikambang.
Baru
beberapa tahun kemudian, Pawon bekerjasama dengan Balai Soejadmoko dalam mengadakan
agenda tersebut. Ketika bekerjasama dengan Balai Soejadmoko, workshop tersebut dilaksanakan
bukan hanya sehari, tetapi dua minggu sekali selama tiga bulan dengan materi
penulisan cerpen, puisi, novel, esai dan penerbitan.
Selain itu, Pawon juga tercatat
pernah mengadakan workshop ke Pondok Pesantren Almuayat yang dimediatori oleh
Miftah (karyawan pondok) kemudian bekerjasama dengan Kapas, Pawon juga
mengadakan bincang-bincang seputar menulis di Lembaga Pemasyarakatan Anak klas 1 di Solo.
Workshop menulis juga kami adakan di
Kediri, Kampung Pare. Dengan peserta yang mayoritas pendatang dari berbagai
kota untuk belajar Bahasa Inggris atau nyantri di kota itu.
Ngobrol menulis yang terakhir
dilaksanakan Pawon sekaligus perjalanan terpanjang sepanjang Pawon berdiri
adalah menuju kota Banyuwangi. Berkereta untuk kerja lierasi sekaligus
refreshing.
b. Diskusi
Buku
Agenda
rutin yang diadakan Pawon yang satu ini cukup ketat. Artinya, ada peraturan
yang harus ditaati untuk bisa hadir pada diskusi: harus sudah membaca buku yang
diobrolkan atau dia tidak membaca buku tetapi hadir dan di-bully. Meski acara ini dibuka untuk umum, namun pada kenyataan
diskusi kerap hanya berisi orang-orang Pawon. Teknisnya: besama-sama, kami akan
memilih judul buku untuk didiskusikan pada waktu yang telah disepakati. Biasanya
buku itu tebal dan terkadang harganya tergolong cukup mahal. Memang ini menjadi
tantangan tersendiri bagi manusia-manusia yang memilih literasi menjadi bagian
dari jalan hidupnya.
Kemudian
Pawon akan mengumumkan buku tersebut di media sosial, agar siapa yang
menginginkan datang, mempunyai waktu untuk membaca bukunya. Tetapi untuk agenda
ini, harus diakui bahwa minim peminat untuk datang. Dan sering yang terjadi
tetapi menjadi hal yang menumbuhkan rasa kangen adalah, pada diskusi buku itu
ada-ada saja “pertengkaran” memertengkarkan buku tersebut hingga seru.
c. Peluncuran
buku.
Agenda
ini adalah wadah bagi teman-teman yang mempunyai buku baru dan ingin
memerkenalkannya kepada publik. Yang sudah kami laksanakan, kami mengambil buku
baru milik teman-teman sejauh ini selalu tiga judul, kemudian kita acarakan
bersama-sama.
d. Diskusi
Kecil
Diskusi
kecil diadakan dengan tujuan memberi follow
up bagi murid-murid workshop yang masih ingin melanjutkan belajar secara
intens bersama Pawon. Tujuan lain adalah kaderisasi. Melalui wadah ini, Pawon
mengharap mendapatkan penerus yang sanggup mengemban misi dan visi yang selama
ini diperjuangkan oleh Pawon. Dari diskusi kecil ini, Pawon berhasil mengajak
nama-nama muda untuk bergabung dan berkarya. Di antaranya: Kinanthi Anggraini,
Lasinta Arinendra, Rio Johan, Ngadiyo. Tetapi kemudian, Kinanthi dan Lasinta
mengundurkan diri pada awal 2014.
e. Festival
Sastra
Meski
selama 8 tahun Pawon sudah bergerilya, baru 2 kali ia mengadakan Festival
Sastra. Tujuan agenda ini adalah: mengumpulkan sebanyak mungkin penulis dan
pembaca dari berbagai kota. Dengan dana sangat nimim Pawon mengorganisasi dan
menjalin kerjasama dengan banyak pihak untuk terwujudnya acara.
Pertama
Pawon mendagakan Festival pada 2010. Dengan mengambil titik lokasi acara:
Museum Radya Pustaka, Gedung Kesenian Surakata (eks gedung bioskop Solo
Taater), Balai Soejadmoko, Kompleks Masjid Agung dan kampung Batik Kauman.
Festival
kedua diadakan pada Februari 2014 bertepatan dengan ulang tahun Pawon ke 7. Menghadirkan
dan dihadiri banyak sekali penulis dan pembaca dari dalam dan luar kota. Juga
melibatkan banyak sekali seniman dari dalam atau luar Solo. Bekerjasama dan
dibantu oleh banyak pihak terutama TBJT dan Balai Soejadmoko. Menerbitkan buku Solo Dalam Puisi dan kumpulan Geguritan
dan Cerkak, selain membukukan makalah-makalah pembicara yang membedah semua
buku dalam festival itu.
Dalam
Festival itu selain, kami mengadakan diskusi dan perayaan, Pawon juga mengirim buku-buku
yang dikumpulkan dari para donatur buku, untuk didistribusikan ke
perpusatakaan-perpustakaan di beberapa daerah.
Pada
pelaksanaan festival ini, Pawon mengajak dan mengundang beberapa orang untuk
menjadi volunteer. Yang beberapa di antaranya bertahan bahkan tergabung ke dalam
kerja Pawon. Mereka adalah: Yessita
Dewi, Impian Nopitasari, Astuti Parengkuh dan Seruni. Sementara sudah sejak
2013 Han Gagas menyatakan untuk tidak lagi aktif di Pawon karena kerepotan
pribadi.
f. Siaran
di Radio
Untuk
mengobrolkan sastra, selain bertemu secara langsung pada setiap acara yang
digelar, Pawon juga menjumpai para penggemar sastra dengan cara menyambut
kerjasama yang ditawarkan oleh Solopos Fm. Siaran dijadwalkan setiap Minggu
sore. Secara bergiliran (2-3 orang setiap siaran) dan dengan tema obrolan yang
terus berganti, pawon bergerilya melalui udara.
g. Nonton
Bareng
Selain
buku, yang menjadi media belajar sekaligus hiburan bagi Pawon adalah nontong
film bareng. pemilihan film beragam. Kami akan berkumpul di rumah salah satu
anggota Pawon, kemudian menyewa LCD Player dengan layar MMT. Sangat sedrhana
dan menggunakan bahan yang ada. usai nonton, biasanya Pawon akan menggelar
diskusi lalu “bertengkar” lagi, kadang hingga larut malam. Biasa kami juga
umumkan acara nonotn bareng itu di media social, mengundang sebanyak mungkin
teman. Untuk nonton bareng, peminat lebih banyak daripada diskusi buku.
Mitra Kerja
Sejauh
ini, yang menjadi mitra kerja Pawon dalam mewujudkan setiap agenda acaranya
adalah: Taman Budaya Jawa Tengah, Balai Soejadmoko, penerbit Buku Katta
khususnya dalam menerbitkan bulletin atau edisi khusus misalnya: Aku dan Buku,
Edisi Khusus: Ranggawarsita, edisi Khusus Hartojo Andangdjaja, dan beberapa
buku lainnya.
Pendanaan
Dalam
menerbitkan bulletin, Pawon mendanai dirinya sendiri dengan cara kolekte
anggota redaksi yang dikumpulkan setiap bulan, atau setiap kami akan
menerbitkan bulletin. Tetapi pada perjalanannya, Pawon menemukan banyak donatur
yang terbeban dan empati pada gerak gerilya Pawon.
Banyak teman-teman baru yang
menanyakan, di mana sekretarian Pawon. terus terang, sejak tidak ada Rumah
Sastra, Pawon tidak memiliki markas atau sekretariat. Jika kami akan mengadakan
pertemuan, rapat atau sekadar ingin ngobrol, kami sering memilih di angkringan,
atau di rumah salah satu anggota Pawon.
Sebagai tim, kami sadar, sepenuhnya
menyadari masih banyak kekurangan. Masih harus banyak belajar, banyak merenung
dan berusaha mewujudkan karya baik tim maupun perseorangan. Beberapa anggota
Pawon ada yang sudah memenuhi undangan berbagai festival sastra nasional maupun
internasional.
Tercatat, Yudhi Herwibowo (2010),
Sanie B. Kuncoro (2011), Bandung Mawardi dan Indah Darmastuti (2012) menjadi
penulis undangan di Ubud Writer and Readers Festival di Bali. Kemudian Yudhi
kembali memenuhi undangan festival sastra di Darwin, Australia dan Festivas
Sastra di Borobudur. Bandung Mawardi diundang sebagai pembiacara di Ternate
dalam rangka temu sastra nasional, juga Borobudur Festival. Itu semua merupakan
bonus bagi kami saat bergerilya untuk kerja literasi.
Suka duka sudah dialami selama
hampir 8 tahun. Selama itu juga kami semakin mengenal satu sama lain, dan
teman-teman bertambah banyak. Pawon tahu, di dalam kerjasama itu, tentu banyak
sekali terjadi benturan dan gesekan antar anggota. Tetapi itu semua teratasi
demi tetap hidup dan sebagai upaya menghidupkan Sastra di Solo. [ ID ]
Tags:
esai
0 komentar