Tulisan-tulisan tentang Novel-novel Orhan Pamuk di Diskusi Terbuka Orhan Pamuk, Balai Soedjatmoko 29 Juli 2015
Istanbul, Museum dan Hüzün
Fanny Chotimah
The
White Castle
adalah novel Pamuk pertama yang kubeli dan kubaca. Waktu itu kudapat di toko
buku Green House, toko buku kecil di belakang Sriwedari, yang sekarang tinggal
sejarah. Saat itu, Pamuk sudah mendapat Nobel Sastra, Dalam The White Castle, mungkin karena novel itu
berlatar waktu abad ke-17, tentang kegagalan Kerajaan Ottoman akan ambisi
penguasaan pengetahuan dan teknologi Barat, bukan tema yang bisa meninggalkan
kesan mendalam. Meski saya tidak ada keinginan untuk membaca ulang. Saya selalu
ingat kekuatan akhir cerita di mana Hoja,
budak Itali yang ditangkap sang Pasha karena sudah lama tidak melihat wajahnya
sendiri. Diyakinkan sang narator bahwa dia memiliki kemiripan wajah dengan sang
Pasha dan bisa saja keduanya saling berganti identitas.
Lalu, seorang teman menghadiahkan novel Snow dalam edisi bahasa Inggris, yang
entah bagaimana perjalanannya bisa berakhir di Gladak. Temanku yang tidak
berniat mempelajari bahasa Inggris itu, memberikan novel itu padaku. Lalu, kutukarkan dengan novel Snow terjemahan bahasa Indonesia. Snow (2004) versi bahasa Inggris kubaca sambil lalu, tidak intens
sampai khatam. Sampai pada suatu waktu, Snow
menghampiriku lagi. Kutemukan Snow di
kamar kost seorang teman, di antara tumpukan buku-buku sastra, CD musik, buku
desain grafis. Satu hal yang aku tidak pernah lupa dari novel ini ialah momen
ketika Ka,si penyair, didatangi
puisi. Pamuk menggambarkannya sebagai sebuah peristiwa yang sangat magis,
sebuah proses penciptaan yang tak semata datang dari dalam diri si penyair.
Tapi ada satu momen, sebuah peristiwa yang lahir, sebuah hembusan angin yang
menyentuh kulit Ka di jam dan detik itu. “Puisi mendatangiku..” ujar Ka. Maka, dia akan dengan khusuk
menuliskan puisinya. Pamuk sangat meyakinkan meski pembaca tidak pernah tahu
puisi yang ditulis Ka. Kita dibuat merasa bahwa itu merupakan sebuah puisi yang
sanggup menggetarkan jiwa raga.
Istanbul. Apa yang terlintas di benak
Anda saat mendengar kata ini? Bagiku Haghia-Sophia, masjid biru nan anggun yang
pada suatu masa pernah difungsikan menjadi gereja. Setiap melihat citranya
dalam film atau foto, saya selalu merasa di balik anggunan dan keindahahannya
ada sesuatu yang pedih tentangnya. Ketika membaca Istanbul Pamuk, semua kesan itu menemukan jawabannya. Dalam esai
remeh-temeh yang Pamuk tulis dalam Other
Colors: Essay and Story (2007) sudah terbaca keanehan Pamuk yang senang
memperhatikan objek dan menaruh perhatian yang detail. Dalam sebuah tulisan,
dia menggambar sketsa asbak yang berbentuk ikan dengan mulut menganga,
tersumpal puntung rokok. Ide siapakah ini? Dialektika akan bergulir dan itu
membuka luka-luka menyakitkan.
Kadang, saya pikir secara psikologi Pamuk
sama seperti para darwis dengan ritual menyakiti diri sendiri itu. Dia tidak
lelah mencari, menulis, mengingat, mengumpulkan ingatan, peristiwa, sejarah,
dan benda-benda yang mengikatkan dirinya dengan kotanya Istanbul. Huzun yang
Pamuk gambarkan sebagai kemurungan komunal terkadang menularkan huzun pada
diriku sendiri. Seperti Istanbul selalu berada di antara tarikan Barat dan
Timur, bahwa fisiknya berubah menjadi barat namun jiwanya tetap Timur. Dan
segala puing-puing kemegahan masa lalu menjadi semacam hantu menyedihkan dengan
potret kemiskinan saat ini.
The
Museum of Innocence (2009), kategori pengarang novel hebat bagi
saya, salah satunya harus memiliki kemampuan untuk mengikat kita bahkan dari
paragraf pertamanya. Pamuk adalah salah satunya: “It was the happiest moment of my life, though I didn’t know it.” Saat
itu merupakan momen paling bahagia dalam hidupku, meski aku belum menyadarinya.
Kalimat ini merupakan kalimat pembuka dari novel The Museum of Innocence.
Kalimat sederhana yang langsung membuat
patah hati, betapa menyedihkan hari yang paling bahagia, sebuah hari yang kelak baru akan kita sadari bahwa tidak
ada lagi hari paling bahagia selain hari itu. Dan tragisnya saat hari paling
bahagia itu terjadi, kita tidak menyadarinya.
Ini merupakan proyek Pamuk yang paling
ambisius membuat novel dan museum sungguhan! Pamuk membuat sebuah novel kisah
cinta dramatis sepasang kekasih: Kemal seorang arsitek yang jatuh cinta pada
saudara jauhnya bernama Fusun, gadis cantik belia. Kala itu Kemal sudah
bertunangan sehingga hubungan mereka tidak memiliki masa depan. Pamuk
menciptakan narasi dan memori masyarakat Turki pada sekitar tahun 1970-an.
Pamuk membeli sebuah apartemen yang dalam novel merupakan rumah Fusun untuk
dijadikan lokasi museum. Tiket masuk museum tertera dalam novel.
Betapa bahagianya saya membayangkan suatu
saat, membawa novel Museum of Innocence
yang saya punya, cukup menunjukkannya sudah bisa masuk. Sebuah museum pertama
yang berasal dari novel. Benda-benda yang dipamerkan merupakan benda-benda yang
terdapat dalam novel: baju yang Fusun kenakan, kalung, anting, sepatu, mobil.
Karena kehilangan Fusun sang kekasih, Kemal menjadi obsesif sehingga dia mulai
mengumpulkan apapun yang bisa mengingatkannya pada sang kekasih. Dan saat
dipertemukan kembali, Kemal mulai mengumpulkan apapun dari Fusun sampai
puntung-puntung rokok yang sudah dihisap kekasihnya sekalipun.
Bahwa benda-benda yang ada di dalam
museum tersebut memiliki narasi pada peristiwa yang terjadi dan kita ketahui.
Narasi telah membentuk mereka menjadi bukan sekedar ‘benda’ namun pula
memberinya karakter. Narasi pula yang merajut benang-benang merah sehingga kita
senantiasa terikat dan memiliki sebuah hubungan.
Dalam hidup saya selama ini, belum banyak
museum yang sudah dikunjungi. Namun, saya selalu punya masalah untuk menemukan
diri saya dalam narasi besar yang dibentuk sejarah. Misalnya saya pergi ke
Museum Radya Pustaka, Museum Sri Baduga di Bandung, atau Museum Sangiran. Bagi saya,
‘sejarah’ itu selalu sesuatu yang ‘asing’, sesuatu yang menuntut untuk dikenali.
Namun, saya tak bisa mengenalinya lagi. Tak ada lagi yang mengikatkan kami lagi
saat ini.
Museum
of Innocence
merupakan museum orang-orang biasa. Kisah cinta yang bisa terjadi pada siapa
saja. Tempat garam yang mungkin sama dengan yang ada di rumah kita. Gaun yang
sama yang dikenakan nenek kita. Dasi yang sama yang dikenakan kakek kita. “Museum
sesungguhnya ialah museum yang bisa mengubah waktu menjadi tempat.” Itu kata
Orhan Pamuk.
Dalam novel ini pula Pamuk mendokumentasikan
sejarah perfilman Turki melalui Fusun
yang ingin menjadi bintang film dan Kemal bersedia menjadi produser. Pamuk
menceritakan film-film yang popular pada zaman itu dan bagaimana industri
perfilman Turki bekerja kala itu.
Saya belum pernah melihat lukisan Pamuk. Saya
hanya berangan-angan bahwa Pamuk telah melukis hidupnya dalam kata-kata bak
lukisan lansekap yang percaya bahwa keindahan tidak bisa dilhat dari satu
bagian, melainkan dari perspektif keseluruhan, perspektif yang luas.
Dari Pamuk, saya belajar untuk
memperhatikan apapun yang sebelumnya tidak cukup saya perhatikan. Saya menerima
huzun sebagai kemurungan masyarakat dunia modern ini akan kehancuran dan
kegagalan kapitalisme (pada saatnya nanti), melihat orang-orang kaya yang tidak
bahagia. Saya tidak bisa membayangkan betapa sengsaranya orang-orang miskin.
Bayangkan!
Dunia Orhan Pamuk
Ngadiyo
Banyak sastrawan menulis karya sastra
menjelajah di mana mereka lahir, tumbuh dan berkembang. Orhan Pamuk, contohnya.
Sastrawan berkebangsaan Turki yang menetap di Istanbul ini menelurkan beberapa
novel terkenalnya dengan latar tidak jauh dari hidupnya.
Seperti pembacaan saya pada novel Istanbul: Kenangan Sebuah Kota, My Name is Red (Namaku Merah Kirmizi),
dan Snow (Di Balik Keheningan Salju).
Pamuk mengeksplorasi lokasi Istanbul berdasarkan penggalian sumber-sumber
otentik sejarah setempat. Dengan apik melakukan penelusuran kota-kota di Turki,
keluarga dan sejuta kenangan di dalamnya.
Menelusuri kemurungan sebuah kota di
Istanbul, Turki, kita diajak Orhan Pamuk untuk melakukan perlawatan ingatan
terhadap masa lalu atas sebuah Kesultanan Usmani, yang sudah runtuh. Orhan
merangkai sejarah bersama masa kecil, remaja, keluarga, dan tempat-tempat yang
dikunjunginya.
Emosi Pamuk bergerak ketika harus meriset
sejarah kota Istanbul masa lalu yang disusun oleh Kocu dalam “Ensiklopedi
Istanbul”. Kegemasan Orhan dalam penceritaan esiklopedi ini membuat kita
terkikik. Betapa sosok penyusunnya yang homoseksual selalu memuja pemuda tampan
nyaris kontinu dibahas dalam pemaparan cerita di dalam ensiklopedi itu.
Orhan berkisah bahwa kemurungannya tidak
hanya melihat sendiri kondisi keluarga yang dulu kaya, ayahnya sering tidak di
rumah. Menyaksikan ibunya menunggu kepulangan ayahnya. Ayahnya selingkuh.
Beberapa kali ia berkisah bermasturbasi. Gejolak berahi remaja dan dewasanya
tak hipokrit ia ungkapkan. Kejujurannya menjadikan memoar ini sangat personal.
Nuansa keluarga kaya membuat kehidupan
Orhan yang kebarat-baratan dengan permisif. Apartemennya digunakan untuk studio
lukis. Di sanalah ia selalu melukis model cantiknya, si mawar hitam. Mereka
saling bercinta. Tapi, pelukis di mata orang tua kekasih Orhan dan ibu Orhan
adalah sesuatu yang tidak menjanjikan masa depan. Mereka berpisah.
Dengan pendekatan merendahkan profesi
pelukis, ibunya menganjurkan Orhan agar lulus menjadi sarjana arsitek. Tapi, di
akhir buku ini, Orhan memutuskan menjadi penulis.
Nama-nama warna pada tokoh novel My Name is Red bertebaran. Hitam, Merah. Juga, pembagian bab demi bab hanya
membahas masing-masing tokoh yang bercerita dengan konflik pembunuhan, siapa
yang membunuh dan dibunuh.
Penelusuran mendalam bagi Pamuk untuk
membahas perbukuan di kesultanan masa lampau yang megah. Kita boleh takjub bahwa
seorang miniaturis atau perupa buku begitu agung. Masyhur. Terjadi persaingan
sengit.
Ketika saya membaca Snow, Ka, penyair terkemuka Turki, melakukan perjalanan ke sebuah
kota yang baginya menarik. Ketertarikan itu bagi Ka, yang mengaku seorang
wartawan, berupa tingginya angka bunuh diri wanita muda di sana.
Data terhimpun. Ka, tokoh utama novel ini
memberi pemahaman atas realitas logis mengapa orang terutama wanita bunuh diri.
Begitu.
Bagaimana Penulis Mengenang tentang Kota? Catatan kecil Seusai Membaca Istanbul - Orhan Pamuk
Yudhi Herwibowo
Sementara perkenalan saya dengan Pamuk sebenarnya juga sudah sejak lama. Waktu itu saya membaca The White Castle, saat buku itu baru dirilis edisi Indonesianya. Namun saya merasa gagal membacanya. Buku itu memiliki paragraf-paragraf panjang nan gemuk yang sangat miskin dialog. Alurnya pun begitu lambat, sehingga membuat saya berkali-kali kehilangan kosentrasi dan mengulang lagi beberapa halaman sebelumnya. Saat selesai menamatkannya, saya merasa malu, menyadari saya ternyata bukanlah pembaca Pamuk. Waktu itu, seorang teman mencoba menghibur. Katanya saya salah memilih buku. Buku The White Castle memang dibuat Pamuk dengan gaya yang berbeda dari biasanya. Katanya, ia sedang mencoba-coba gaya postmodern.
Saya diam saja. Walau tak terlalu sependapat, saya tak membantahnya. Saya pikir permasalahan utama novel itu memang pada alurnya yang lambat. Untunglah Buletin Sastra Pawon mengagendakan diskusi terbuka Orhan Pamuk, sehingga saya kembali berhubungan dengan Pamuk. Kali ini karena waktu yang pendek, saya memilih Istanbul untuk saya baca.
Kemurungan, huzun
Saat membaca Istanbul, saya langsung disodori tentang cerita sebuah kota. Memang ini sudah ditulis di covernya, buku ini memang kenangan sebuah kota. Tapi walau begitu, saya tak sampai berpikir kalau persentase tentang kota begitu dominan di buku ini.
Saya pikir, sudah banyak kota yang dijadikan bagian dari sebuah novel, menjadi setting sebuah novel. Ia menjadi latar dari para tokoh utama bergerak sepanjang novel. Tapi tak banyak penulis yang membalik keadaan dengan menjadikan kota sebagai –katakanlah- tokoh utama dalam novel.
Ini yang membuat saya langsung teringat pada Kota-kota Imajiner tulisan Italo Calvinho. Di mana kota seperti berulang kali dimunculkan, diceritakan, dieksploasi, dengan seminim mungkin memikirkan hal-hal lainnya. Kota seperti menjadi sosok utama yang tak terpinggirkan dalam buku. Cerpenis Indonesia juga pernah melakukannya. Bang Raudal Tanjung Banua juga intens menulis tentang kota. Cerita-ceritanya tentang kota memang belum terbit sebagai buku, tapi kita sudah bisa membacanya di media beberapa tahun terakhir. Raudal memainkan kota, lebih dekat lagi dengan kita. Ia menceritakan kota-kota air, kota-kota yang mati sampai atau kota-kota bola. Kota dibalut dengan lokalitas. Sehingga tak seperti saat membaca Kota-kota Imajiner, yang membuat kita merasa gamang, membaca cerita-cerita Bang Raudal membuat kita merasa ikut diceritakan.
Banyak yang mengatakan Istanbul sebagai novel biografis Pamuk. Pamuk sendiri menulis, ‘…bagaimana aku menggambarkan Istanbul ketika menggambarkan diriku sendiri, dan menggambarkan diriku sendiri ketika menggambarkan Istanbul…’ Tapi saya merasa tidak demikian. Memang Pamuk menceritakan kisah masa kacilnya di situ, tapi tetap saja tak banyak yang kemudian saya tahu tentang perjalanan hidup Pamuk. Semuanya terasa seperti potongan-potongan kecil yang melompat-lompat, hingga tak sampai bergitu merasuk di dalam otak saya. Memang ia menceritakan beberapa hal. Tentang abangnya yang selalu bertengkar, tentang ayahnya yang selalu pergi, tentang ibunya yang selalu nampak menunggu. Namun saya tak mendapat kisah-kisah lanjutan yang lebih detail dari kisah-kisah itu. Untungnya Pamuk menuliskan satu bab khusus tentang cinta pertamanya pada Si Mawar Hitam. Itulah yang saya pikir satu-satunya kisah yang dimulai dengan lengkap dan diakhiri dengan sempurna. Itu juga yang kemudian menjadi bagian favorit saya, terutama endingnya.
Dari situ bisa dirasakan dominasi novel ini di bawa ke mana. Tak bisa saya pungkiri, novel ini memanglah tentang Istanbul yang seutuhnya. Pamuk tengah menceritakan kota, -kotanya- dan bila ada biografinya masuk di situ, itu karena ia menjadi bagian dari kota itu.
Saya ingat saat kuliah di arsitektur ada mata kuliah tentang perencanaan kota. Dari situ dunia arsitek yang sesungguhnya mulai terasa terbuka bagi saya. Mengurus kota tidak sederhana. Kota bukan sekadar yang terlihat di mata saja. Beberapa tugas arsitektur saya, lebih menuju ke permasalahan sosial. Bagaimana jalur-jalur jalan dirancang, menata kemacetan di depan pasar, dan hal-hal seperti itu. Jadi saya tak sekadar menghitung jumlah becak, dan lamanya angkot yang ngetem di sana, tapi saya juga mengimajinasikan bagaimana mereka bisa bergerak ke arah yang diinginkan. Dan Pamuk, yang juga berkuliah di arsitektur, juga mencoba masuk ke sana. Ia tak sekadar menceritakan hal-hal yang terlihat seperti Bosphorus dan bangunan-bangunan megah lainnya. Pamuk masuk lebih dalam lagi.
Saya merasa ada kerangka berpikir seorang arsitek di dalam novel ini yang sangat kuat. Konsep buku ini bagaikan konsep sebuah proyek besar tentang kota. Pamuk tak sekadar menulis apa yang berhubungan dengannya. Ia melampauinya. Bagaimana ia mengemas sejarah dan menjadikan buku-buku dan penulis-penulis seperti Melling, Nerval, Gautier, Tanpynar, Yahya Kemal, dan banyak lagi, sebagai orang-orang yang ikut bercerita. Pamuk seperti menjadi perangkum mereka semua. Hanya sesekali saja ia melibatkan dirinya di dalam. Pamuk menjadikan buku sebagai perantaranya, walau beberapa buku di antaranya hanyalah buku-buku yang tetap tak laku hingga sekarang. Toh, walau bagaimana pun ingatan masa kanak kadang begitu samarnya, dan mungkin sudah mengelupas.
Kota memang memiliki napasnya sendiri. Pamuk seakan bisa membuat peta besar Istanbul. Peta yang tak sekadar berisi denah kota Istanbul, selayaknya buku profil kota-kota di Indonesia yang tengah mengeksplosi pariwisata. Pamuk jauh melebihinya. Ia melihat kota dengan perasaannya. Sehingga, dari awal, saat saya belum masuk ke bab tentang huzun, saya sudah bisa merasakan kemuraman di novel ini. Itulah yang tanpa saya sadari, menjadi satu kritikan pedas tentang kotanya.
Membaca Istanbul membuat saya menyadari kalau kota memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana selama ini kita sepertinya meletakkan dalam porsi yang kecil dan sempit, sebagai tempat bagi kita hidup. Kita tak pernah membiarkannya bicara, atau minimal mendengarkan keluhannya. Untunglah, Pamuk memberi contoh.
Kota: Biografi dan Memori
Setyaningsih
Kota dibaca, tidak untuk dijadikan alasan
meratap atau sekadar beromantis ke masa lalu. Kota menjadi sebentuk kenangan
dan sumber ide sekaligus. Pamuk adalah manusia rumahan, bercerita Istanbul
untuk bercerita biografi diri dan bercerita diri untuk mengingat Istanbul. Ia
mengatakan, “Aku melewatkan seluruh masa kanak-kanakku dalam keluarga yang
punya ikatan sangat erat di sebuah rumah, sebuah jalan, sebuah lingkungan yang
bagiku, sepanjang pengetahuanku, merupakan pusat dunia.” Peristiwa perjalanan
keluarga, terutama ke Bosphorus, menjadi ingatan menelurusi sisa kemegahan di
masa lalu. Pamuk tidak sadar menempatkan mata masa kecil sebagai peletak
kesadaran atas identitas politik dan ekonomi Istanbul, Turki.
Ketimbang teman, komunitas, atau
kehidupan sosial di sekolah, keluarga dan rumah menjadi tempat paling penting
membentuk ketokohan. Pamuk meresapi Istanbul dari pertautan diri dengan rumah,
ibu, dan bepergian. Di apartemen keluarga di Cihangi, Pamuk bisa melihat
Bosphorus, kapal-kapal masih terlihat bergerak, gedung-gedung tua belum
dirobohkan, anak-anak bermain di dinding yang ambruk. Vila atau yali-yali di pinggiran sepanjang pantai
Bosphorus tinggal terlantar setelah dulu menjadi simbol kekuasaan keluarga para
pasha di era Usmani. Orang-orang kaya di era Republik lebih memilih tinggal di
apartemen yang menawarkan kenyamanan ala Barat.
Pembaratan adalah hal yang tidak
terelakkan sejak keruntuhan kesultanan dan kebangkitan Republik pada 1923.
Pakaian, bahasa, aksara, tempat tinggal, dan pendidikan berubah dan bergerak
dalam perebutan identitas. Pembaratan mempengaruhi orang Turki bertempat
tinggal, berkeluarga, bertetangga. Di masa kuliah, Pamuk juga mengalami
pergolakan dua kubu, menjadi mahasiswa “sok” nasionalis atau para mahasiswa
pemimpi Amerika. Hendak menjadi pewaris bisnis keluarga tanpa meninggalkan
Istanbul atau memilih terbang ke Barat demi menjawab rasa malu atas kekalahan
menjadi orang Turki.
Kemurungan
Demi menggambarkan Istanbul, Pamuk
menggunakan istilah hüzün atau
kemurungan yang bisa diartikan sebagai “kehilangan yang amat spiritual”. Hüzün
bisa menjadi pertaruhan tetap menjadi terhormat meski memendam
kemarahan-kekalahan. Kebangkitan kenang-kenangan di masa lalu yang tidak
sekadar mencipta luka individu, tapi luka komunal yang dimiliki bahkan menjadi
esensi keberadaan banyak orang. Kemurungan menjadi rasa berterima atau sebentuk
kepasrahan di antara kemiskinan dan reruntuhan. Bahkan di antara jemuran yang
merantai dari satu gedung ke gedung lain bisa menjadi bisa menjadi pengingat
kejayaan yang tidak lagi mereka miliki.
Pamuk merujuk pada novelis besar dan
penyair ampuh Turki pada abad ke-20, Tanpynar dan Yahya Kemal. Mereka sering
menyusuri lingkungan paling miskin di Istanbul untuk sengaja merasai kemurungan
dan kehilangan. Perjalanan terlampau berani untuk mendapati hüzün sebagai
kenyataan. Tanpynar menulis dan mendapati kenyataan Istanbul dari jalanan
terbakar dan dinding ambruk yang juga akrab di masa kecil Pamuk. Keduanya juga
memperhatikan penduduk Muslim yang miskin, tapi mempertahankan identitas dalam
kelindan keindahan memilukan di masa lalu.
Tulisan-tulisan Tanpynar, Yahya Kemal, dan
akhirnya Pamuk bersumber dari tempat-tempat yang pernah terinjak oleh kaki,
tampak mata, dan ada di sekitar. Ada tempat-tempat miskin di mana Tuhan
bersemayam. Di lingkungan miskin pun, reruntuhan istana dengan rerumputan,
alang-alang, pepohonan, dan tanaman rambat adalah sebentuk keindahan.
Orang-orang masih menjalankan tradisi lama di antara kekhawatiran atas
pembaratan. Tanpynar dan Yahya Kemal melihat dan membaca kota sebagai orang
Turki dengan resiko menempatkan diri sebagai pengamat atau orang asing.
Di buku Istanbul, foto-foto dihadirkan sebagai penegasan visualitas kota.
Bereferensi buku, lukisan, dan catatan perjalanan, Istanbul mampu dikisahkan
tidak hanya sekadar sebagai tinggalan. Peristiwa melukis yang dilakoni Pamuk
sejak masa kanak turut menjadi penentuan atas pembacaan Istanbul. Namun, Pamuk
tetap bisa menjelaskan kota sebagai tempat yang nyata dan ada, bukan sekadar
gagasan meski tanpa foto-foto. Kota-kota tampak murung bukan karena
terimajiner, tapi kota itu ada. Reruntuhan tembok, tanaman liar merambati
dinding, dan puri-puri tua menyisakan bukti kedigdayaan di masa lalu. Turki
pernah menjadi pusat kejayaan, kebudayaan, intelektualitas.
Membaca Istanbul menjadikan pembaca tahu betapa tidak mengenakkan terdilema
di antara menjadi Barat atau Timur. Pergolakan mencipta pertengkaran di dalam
raga diri. Hendak menjadi Barat, seperti ada rasa bersalah karena merasa
meninggalkan keakaran di masa lalu. Ada beban identitas yang besar untuk
menjadi Barat. Menjadi Timur berarti mesti bersiap menerima cemooh, kekalahan,
keruntuhan, atau segala hal yang dianggap kuno. Pamuk telah menuliskan narasi
sebuah kota sebagai biografi dan memori. Sebuah penjawab dan pereda kemurungan
mengingat selama ini lebih banyak karangan dan catatan Istanbul lebih banyak ditulis
oleh orang asing.
Istanbul yang
Dikulum Huzun
Puitri Hati Ningsih
Istanbul yang mengalami kebangkrutan,
kemiskinan. Ada yang mengatakan karena orang-orang tak taat pada kitab suci Al
Qur’an. Begitu yang dituliskan Orhan Pamuk dalam memoar Istanbul. Mungkin seperti
kaum Ad yang dihancurkan Allah.
Pembaratan yang dipaksakan namun gagal
hanya memberi kemuraman kota. Dan, ingatan-ingatan diam-diam meratapi kejayaan
masa lalu zaman Turki Osmani. Meski Istanbul muram dan hanya ada warna hitam
putih menurut Orhan, tapi keluarga Orhan seperti ditunjukkan dalam foto-foto
adalah keluarga kaya dengan jas atau sweeter sebagai simbol kemakmuran ala Barat.
Dalam foto-foto itu tak ditemukan orang Turki dan juga keluarga Orhan berpakaian
tradisional Turki, karena dianggap terbelakang, mungkin. Hanya beberapa kali
terlihat wanita berkerudung hitam di jalanan.
Di masa kecil saya mungkin hingga kini,
seorang anak kecil yang sudah memakai jas seukuran tubuhnya yang masih
anak-anak di suatu acara resmi, itu menandakan bahwa dia dari keluarga kaya.
Anak kecil pada keluarga biasa tidak memakai jas di saat acara pesta. Seperti
saya melihat foto-foto keluarga pada keluarga kelas atas atau pada keluarga
saudagar Laweyan, misalnya, saya akan melihat dan menandai foto itu. Foto-foto
dalam memoar Istanbul akan
mengingatkan saya pada keluarga-keluarga Laweyan yang akan memajang banyak foto
di dindingnya pada masa tahun 1970-an hingga hari ini. Ada juga yang
memasangnya di atas piano. Terlihat juga benda-benda pajangan antik di lemari
kaca. Orang-orang Laweyan juga mengalami pembaratan atau pemodernan. Paling tidak pada arsitektur rumahnya yang
keeropaan. Dan, anak-anak mereka memanggil orang tuanya dengan papah-mamah atau
papi-mami.
Tapi,
kemiskinan sebuah kota kadang menjadi
daya tarik bagi para penulis, pelukis dan fotografer. Meski Istambul dirundung
kemurungan, tapi kota itu masih terberkati karena ada pantai Bosphorus dengan yali-yalinya, atau semacam rumah pantai
dari kayu, yang indah meski suram. Kemudian, salju yang menutup sebagian kota
seakan menutup sebagian kemuraman itu dengan warna putih awan cerah. Bila
pembaca bukan dari negeri empat musim, seperti saya, pastilah itu karunia
tersendiri. Salju itu karunia keindahan bagi penduduk di negeri dua musim saja.
Meski Orhan karena ada dalam kemurungan
itu, melihat salju dan kemudian musim gugur atau semi terlihat datar saja dan
kurang bersemangat, tetap hitam putih.
Dari lahir
hingga dewasa, Orhan menjadi bagian dari kota itu, menikmati dan mencatat
setiap hari dengan teliti: burung gagak di luar jendela kelasnya hingga ia
dijuluki si gagak. Lalu, kapal-kapal yang keluar masuk di kotanya pantaidi
Bhosporus. Ia terpikat dengan sudut lain
kemuraman jiwanya, kebiasaan-kebiasaan warganya. Cerita ibunya tentang pohon mulberry
yang menjalar indah. Ia tak pernah membandingkan dengan kota lain. Hanya, kota
itu mirip kota modern yang lain karena kota itu dijajah dengan baliho
iklan-iklan, huruf-huruf menyala yang
hampir menenggelamkan jalanan. Dengan cara itu dia terlihat mencintai kotanya,
tidak dengan memuji-mujinya dengan berlebihan. Ia mencatat dan mempelajari
semua penulis, penyair, dan pelukis yang membicarakan kotanya. Dan, Orhan
begitu menyatu dengan kemurnian kota. Di halaman 471, ia menulis: “Saya tidak
suka sore hari di musim semi saat matahari tiba-tiba muncul dalam kekuatan
penuh, tanpa ampun menerangi semua kemiskinan, ketidakteraturan dan kegagalan.”
Orhan mencintai sekaligus pasrah pada
kota yang dimilikinya. Seperti dikatakannya di halaman 465: “Saya adalah
sejenis orang yang selalu dapat mengenakan pakaian yang sama dan melahap
makanan yang sama serta pergi ke tempat yang sama selama seratus tahun tanpa
merasa bosan sepanjang saya dapat megembangkan mimpi-mimpi liar di dalam
keleluasaan imaginasi saya.” Dan,
sebelumnya, di halaman lain, ia mengatakan menjadi penulis dapat menikmati
hidup lebih dalam dan lebih kaya. Karena ayah Orhan mengatakan agar ia
mengikuti nalurinya, sedang ibunya menginginkan ia menjadi arsitek, bukan
pelukis. Orhan memilih jadi penulis. Di halaman 468, ia menulis: “Kebahagiaan
dan makna sejati terletak di tempat yang tidak akan pernah kami temukan dan
barangkali tidak ingin kami temukan.”
Orhan beberapa kali mencatat dalam
memoarnya tentang masjid-masjid: Masjid
Al Fatih dan masjid-masjid lain yang tersebar. Tapi, ia tak pernah menulis
tentang suara-suara yang terdengar dari masjid. Misalnya, suara lantunan Al Qur’an
atau suara azan penyeru sholat. Ia hanya
menulis tentang pembantunya yang sholat, karena Islam dianggap budaya
tertinggal dan bukan Barat. Tapi, keluarga Pamuk berkorban di hari Idul Adha.
Dan, menyiapkan makanan istimewa saat Ramadhan meski tak puasa. Orhan kecil
mencoba berpuasa tanpa diketahui siapa pun. Suara-suara yang ia catat di antaranya
tentang suara yang bising karena penjual panci melewati gang-gang kota.
Keluarga Orhan yang muslim tapi belum menjalankan kewajiban seorang muslim itu
terlihat juga pada keluarga saudagar Laweyan di masa setelah atau sebelum Haji
Samanhudi naik haji. Ada banyak keluarga yang masih belum puasa dan sholat. Ada
pengamat yang mengkategorikan mereka masih menjalankan Islam abangan.
Membaca Istanbul dan melihat juga foto-foto itu
akan bisa menangkap keinginan penulis yang berbagi kisah tentang kotanya yang
bagaimanapun amat dicintainya. Foto-foto yang disisipkan banyak tersebar di
sela halaman, mungkin ada pembaca yang terganggu, atau mengabaikan. Tapi, bagi
saya itu menguatkan dan membantu imajinasi saya sebagai pembaca untuk lebih
jauh mendekatkan diri pada kota itu. Orhan, sang pemilik memoar, tak bisa
menahan simpanan koleksi foto-foto keluarganya, ibunya , neneknya yang cantik
dan terpelajar, ayahnya yang rupawan,
kakaknya dan penulis sendiri yang punya wajah menarik dari kecil hingga
dewasa. Tapi, penulis bisa menahan diri untuk menyembunyikan dalam-dalam
kekasihnya, si mawar hitam. Ia hanya terwakili oleh lukisan Halil Pasha, “Wanita
yang Berbaring”, yang melepas sepatunya dan menggunakan tangannya sebagai
bantal.
Beberapa
waktu terakhir ini saya suka dengan Turki. Saya ingat pada seorang hafizd yang
berpakaian putih-putih di atas panggung, di sampingnya Gusti Puger, putra PB
XII. Ia mengatakan dengan berapi-api di depan ribuan orang: “Kita kembalikan
dan teruskan kejayaan Turki Osmani.” Lalu di kesempatan lain, ia mengatakan
Turki sekarang makmur. Dulu, sandal japit harganya ratusan ribu. Sekarang,
hanya tiga ribu. Karena, Turki kini dipimpin dengan cara dan sistem yang benar
dan bijak. Lalu ia tampilkan foto
Erdogan, Perdana Menteri Turki yang penghafal Al Qur’an. Lalu, seorang yang
lain lagi menunjukkan foto ibu Erdogan, yang diambilnya dari internet. Ibu
negara itu, beberapa tahun lalu, telah mengunjungi pengungsi Rohingya di
Myanmar. Lalu, seorang kawan memasang foto dalam kereta mirip Prameks tapi
penumpangnya sebagian bule semua. Lalu
ketika saya tanya di mana? Katanya, itu fotonya ketika jalan-jalan di Turki,
sebelum umroh. Dari cerita-cerita dan foto-foto itu, saya tertarik dengan
Turki. Melebihi ketertarikan saya pada Inggris. Tapi beberapa hari ini, ada
berita yang menggelisahkan. Sehabis Idul Fitri, bom meledak dan menewaskan
beberapa orang di perbatasan Turki.
Tags:
esai
0 komentar