Zine Diskusi Kecil 1: Kisah Cinta Tuan Roamer, oleh Bunga Hening Maulidina



Adalah perasaan asing yang dialami Tuan Roamer di usianya yang ketujuh puluh tahun. Seperti hujan salju yang tiba-tiba turun ke kaki gunung. Ada kebekuan, sekaligus perasaan hangat yang membaur dalam tubuh rentanya. Tuan Roamer, si tua yang istrinya sudah meninggal sepuluh tahun lalu itu mendadak aneh, begitu bertemu dengan Jasmine. Anak gadis penjaga pemakaman umum itu telah merebut hati Roamer begitu saja.
Aneh sekali. Pertemuan pertama Roamer dengan Jasmine ada di depan makam istrinya. Kala itu Roamer hendak menengok makam istrinya, setelah tiga bulan perjalanan panjangnya dirawat di rumah sakit pusat kota. Senja yang dingin. Roamer tua yang jalannya agak bungkuk berjalan tertatih. Tangan kirinya memegang sebuket bunga mawar putih kesukaan Nyonya Roamer semasa hidup.
Di samping jajaran nisan, Roamer tua sibuk mengingat letak makam istrinya. Satu yang selalu diingatnya dari nisan istrinya, ukiran sepasang mawar putih yang saling melingkar batangnya. Ukiran itu ada di tiap sudut lekuk nisan. Ukiran yang sengaja dipahatkan khusus oleh tukang ukir batu paling masyhur di kota. Hanya itulah yang diingat Roamer sebagai tanda nisan istrinya.
Persoalan letak makam, adalah persoalan yang memusingkan Roamer. Terlebih mengenai posisi makam yang berjajar. Roamer tak mampu lagi menghitung dengan tepat, ada di deretan mana makam Nyonya Roamer. Kondisi semacam itu memaksa Tuan Roamer berjalan berputar di deretan makam selama dua puluh menit. Setiap nisan yang dilewati selalu diperhatikannya dengan saksama. Sampai saat kakinya mulai lelah, sampailah ia di nisan abu-abu yang dibersihkan seorang gadis.
Roamer mengingat, tadi ia sudah melewati nisan tersebut. Tapi, karena ada peziarah di situ, maka Roamer mengira bahwa itu bukan makam istrinya. Tuan Roamer tahu, bahwa makam istrinya hanya akan dikunjungi anak-anaknya semasa liburan. Dan rupanya ada orang asing yang membersihkan makam istrinya.
Tuan Roamer berdiri dengan tongkat agak gemetar. Tangannya terasa hangat. Tapi, kakinya dingin. Sungguh lelah ia berjalan berputar-putar mengitari deretan makam. Tuan Roamer memperhatikan gadis yang ada di depan makam istrinya. Tuan Roamer tak mengenalnya.
Gadis itu mendongak tiba-tiba. Seolah tahu ada orang yang memperhatikannya. Ditolehnya Tuan Roamer.
“Oh. Selamat sore, Pak,” sapa gadis itu seraya tersenyum.
Roamer tua terdiam. Membeku. Tidak bicara. Tangan kirinya yang memegang mawar putih terulur spontan. Gadis muda itu tanggap. Digesernya langkah untuk memberi tempat Tuan Roamer di dekat makam istrinya. Roamer tertatih. Ditatapnya ukiran di nisan. Benar. Itulah nisan istrinya. “Frau Roamer”.
“Istri anda?” tanya gadis itu dengan suara yang sama merdunya dengan sapaan pertamanya.
“Ya,” jawab Roamer.
“Nisan yang manis. Kurasa demikian pula dengan istri anda,” gadis itu terus bertutur.
Roamer tua, untuk kedua kalinya terdiam. Tidak bisa menjawab. Baru kali ini ada orang asing yang berkomentar hangat soal pemilihan nisan istrinya. Biasanya, hanya orang-orang yang dekat dengan keluarga Roamer yang tahu betapa berkesan nisan itu baginya.
Senja semakin dingin. Angin bertiup. Biasanya setiap menziarahi makam istrinya, Roamer selalu menyebut nama istrinya berkali-kali. Entah apa maksudnya, Roamer sendiri tak tahu. Jelasnya, Roamer ingin merasakan panggilannya pada Frau secara dekat. Ah, sedekat apa, Roamer juga tak mengerti. Ia hanya merasa dekat. Kadang lupa bahwa pintu kematian sudah menjadi jarak jauh bagi ia dan Frau.
“Boleh saya berdoa untuknya?” pertanyaan gadis itu memecah kedinginan.
Mendadak Roamer merasa ada perapian kecil di sebelahnya.
“Ya.”

***

Tepat di depan halte keempat sesudah balaikota, Tuan Roamer merapikan lagi buket bunganya. Sopir sudah melirik dan menghitung, inilah keempat belas kali majikannya merapikan bunga dengan hati-hati, sejak keluar dari pintu toko tanaman Estuaria.
“Tepikan mobil,” perintah Tuan Roamer.
Sopir mengangguk. Dengan patuh ditepikannya mobil tua cokelat mengkilat itu. Mobil menepi. Tuan Roamer masih bergeming. Kali ini si Sopir menengok ke belakang. Majikannya tidak sedang merapikan bunga. Justru mata mereka bertatapan. Cepat-cepat Sopir itu bergegas kembali menatap kaca depan yang bening, alih-alih wajah pucat Tuan Roamer. Tapi, suara Tuan Roamer menahannya.
“Apa kau merasa aneh?” tanya Tuan Roamer.
“Ah, tidak, Tuan,” jawab si Sopir dengan cepat. Digulirkannya senyum pada majikannya.
“Kau pernah jatuh cinta?”
Kali ini si Sopir menyemu merah pipinya. Sungguh, dia ingin tertawa terbahak-bahak. Sungguh aneh majikannya. Pertanyaan yang tak lazim ditanyakan pada seorang sopir. Maka ia akan memilih diam dan tersenyum.
“Kau pernah jatuh cinta?”
Tergagap si Sopir kaget. Lirih ia menjawab, sudah.
“Apa aku terlihat seperti itu?” Tuan Roamer seolah tak mempedulikan jawaban lirihnya.
“Maksud Tuan?” Sopir terperangah.
“Apa aku terlihat seperti orang yang jatuh cinta?” ulang Tuan Roamer.
Seketika itu si Sopir lekat-lekat menatap majikannya dengan sungguh-sungguh. Bibirnya mengisyaratkan kata lirih lagi, untuk jawaban: ya.
“Oh... Frau,” hanya itu reaksi terakhir dari Tuan Roamer, sebelum dengan lambat-lambat membuka pintu mobil dan terbungkuk-bungkuk berjalan menuju salah satu gang sisi kanan pertokoan.
Si Sopir ditinggalkan dengan mulut menganga. Begitu majikannya tak terlihat dari kaca mobil, barulah si Sopir mengingat-ingat mengapa Tuan Roamer menanyakan hal semacam itu padanya. Barangkali memang belakangan ini Tuan Roamer berubah. Ah, bukan hanya berubah. Mungkin, amat berubah.
Tuan Roamer mendadak rajin menonton televisi. Selain itu, ia pun jadi jarang keluar beranda untuk duduk di kursi malas. Dan, tentu, majikannya itu lebih sering mengunjungi toko tanaman Estuaria langganannya. Ah, satu hal lagi. Bukan mawar putih yang dibelinya. Tapi mawar keunguan hasil persilangan baru dari etalase Estuaria yang sedang menanjak penjualannya.
Ke mana Tuan Roamer membawa bunga mawar ungu itu, tak pernah dipikirkan olehnya. Ia hanya mengira-ngira, mungkin tuannya bertemu dengan seorang nenek tua yang memikat hati. Atau barangkali ada urusan bisnis dengan bunga mawar ungunya itu. Hanya, saja selalu ke gang dekat halte keempat sesudah balaikota ini yang dituju Tuan Roamer.

***

Jasmine. Usianya menjelang dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tirus dengan rambut bergelombang. Alisnya pucat tipis. Bibirnya merekah seperti warna ceri. Betapa Roamer tak menyangka sebelumnya, bahwa Jasmine membuatnya kembali pada masa muda. Masa-masa ketika ia belum mengenal Frau. Masa remaja yang subtil.
Jasmine gadis yang periang. Ia suka mendengar musik-musik opera. Suaranya begitu lincah saat membincang tentang musik opera yang disukainya. Lalu, Roamer tua yang bertongkat dan terbungkuk-bungkuk itu, sesampai di rumah mencari piringan hitam yang berisi musik opera koleksi Frau. Sejatinya Roamer tak pernah suka musik selera Frau. Tapi, usai bertemu Jasmine, rasanya musik itu terasa berpuluh kali lebih bagus didengarkan.
Entah setelah pertemuan ke berapa, di tengah alunan musik opera ruang tamu Jasmine. Roamer merasa ada di panggung bermain peran. Ia merasa bukan sebagai Tuan Roamer tua yang selalu duduk malas di kursi beranda sepanjang hari. Ia merasa menjadi Roamer muda yang suka berlari di antara deretan pusat pertokoan. Ia merasa Jasmine benar-benar ‘hidup’ di masa Roamer muda. Hingga tiba-tiba muncul percakapan yang saat itu membuatnya benar-benar merasa mati.
“Ini ketujuh kalinya, Tuan Roamer membawa bunga mawar ungu keluaran Estuaria yang terkenal itu,” kata Jasmine.
“Ya. Aku begitu suka pada bunga mawar ungu ini,” jawab Roamer tua tersenyum lebar. Di matanya Jasmine begitu bercahaya dengan buket mawarnya di tangan.
“Tuan tahu, dulu aku pernah bekerja di Estuaria,” tutur Jasmine masih terdengar manis di telinga Tuan Roamer.
“Ah, aku baru tahu,”
“Anak pemilik Estuaria adalah kekasihku yang pertama,” kata-kata Jasmine mendadak bernada redup. Seketika kata ‘kekasih’ membuat Roamer terbatuk-batuk hebat. Jasmine terkejut. Cepat-cepat dituangkan air putih ke gelas. Roamer minum dengan mata berair.
“Tuan baik-baik saja?” Jasmine terlihat sangat khawatir.
“Ah... ya, tentu saja, aku baik,” suara Roamer terdengar serak usai batuk-batuk.
“Begitulah, dia berjanji akan menyilangkan jenis mawar baru untukku. Engkau tahu, Tuan, dia adalah ahli tanaman terhebat yang pernah kukenal. Perasaannya lembut seperti mawar,” ujar Jasmine dengan nada bangga.
Roamer tua mendadak merasa gugup. Seperti ada lampu sorot yang menyilaukan matanya.
“Oh. Berhasilkah dia?” tanya Roamer. Seraya bertanya, Roamer merasa nada suaranya janggal. Seperti tercekik.
“Aku tidak tahu. Aku terburu memutuskan cinta kami, karena salah paham kecil.”
“Salah paham?”
“Ya,”
Musik terus mengalun. Roamer benar-benar merasa ada di sebuah panggung dalam akting yang klimaks. Seperti hendak dihujam seorang prajurit atau ditenggelamkan di lautan.
“Mungkin, mawar ungu ini adalah persilangannya yang berhasil,” ucap Jasmine.
“Mengapa kau bisa berkata demikian?”
“Engkau tahu, Tuan? Aku telah mengumpulkan tiap buket bunga dari Tuan. Dan, Tuan tahu? Ada tulisan kecil di setiap ikatan pitanya.”
“Tulisan?”
“Bacalah. Lihat,” Jasmine mendadak tersipu dan menunjuk ujung pita. “Jasmine,” itulah kata yang tertera.

***

Tukang ukir itu menatap lelaki tua di depannya dengan wajah bingung. Ditatapnya si Sopir Tuan Roamer yang berdiri di samping lelaki itu dengans setia. Sopir hanya melirik ke atas dengan wajah selugu mungkin.
“Mengganti nisan?”
“Ya. Hanya mengganti nisannya, bukan mengganti jasad,” jawab Roamer tak sabar.
“Tapi, permintaan Tuan sungguh membuatku bingung.”
Tukang ukir itu membuka koleksi gambar ukirannya. Dibukanya salah satu lembar dan ditunjukannya pada Tuan Roamer.
“Ini adalah pesananmu untuk nisan Nyonya Frau. Mawar putih melingkar. Beginilah yang kubuat. Itulah mawar, Tuan.” Tukang ukir itu seolah menjelaskan rumus yang rumit pada Tuan Roamer.
“Dan, aku kali ini ingin memesannya lagi. Mawar ungu melingkar. Bukankah kau juga bisa membuatkannya?” Tuan Roamer menatap tukang ukir.
“Apa bedanya, Tuan? Tidak ada warna dalam batu nisan. Aku hanya mengukir di batu dan tidak mewarnai batu.”
“Kalau begitu, carikan batu berwarna ungu untuk pesananku.”
Tukang ukir menggeleng-gelengkan kepalanya. Ditatapnya sopir Tuan Roamer ke sekian kalinya. Sopir masih memasang wajah tak bersalah. Tapi, diam-diam sopir itu memberi isyarat tangan melintang ke dahinya.

Surakarta, 23 September 2016. 



Bunga Hening Maulidina, belajar di pbi fkip uns angkatan 2013. anggota diskusi kecil. tinggal di sumberlawang, sragen

Share:

0 komentar