Pengajaran Sastra: Karena Sastra Bisa Mengubah Generasi Muda, oleh Ayu Prawitasari (Laporan Khusus Solopos, 19 Desember 2016)
Tidak sedikit generasi muda yang gandrung dengan
sastra. Bagaimana potret sastra di mata anak muda? Berikut liputan wartawan Solopos, Ayu Prawitasari.
redaksi@solopos.co.id
Awalnya bagi
siswa Kelas XII Jurusan Bahasa SMAN 6 Solo, Adriana Justica, ayah adalah sosok
yang kurang begitu memerhatikan anak-anaknya. Tumpukan pekerjaan membuat sosok
ayah selalu tenggelam dalam kesibukan. Sebaliknya, ibu selalu
ada bagi mereka untuk memastikan semua baik-baik saja. Ayah sosok cuek
sementara ibu adalah sosok yang pencemas.
Pandangan remaja putri itu kini mulai berubah. Novel Sabtu
Bersama Bapak karya Adhitya Mulya
membuatnya berpikir ulang tentang sosok
ayah.
Novel setebal 278 halaman terbitan Gagas Media itu
menceritakan pengorbanan Pak Gunardi, sosok ayah, yang hidupnya divonis tinggal
setahun akibat kanker. Buku itu juga menceritakan perjuangan hidup sang istri,
Bu Itje, serta dua anaknya, Satya dan Cakra, selepas bapak mereka
meninggal.
Adhitya
menceritakan upaya Pak Gunardi menyiapkan sang istri agar selalu tabah dan tak
kelaparan setelah ia berpulang dengan meninggalkan beberapa warung makan. Tak
hanya itu, Pak Gunardi juga membuat puluhan video berisi pesan-pesan untuk
kedua anaknya agar mereka tak merasa ditinggalkan. Satya dan Cakra selalu
menonton video tersebut setiap Sabtu bersama ibu mereka tanpa tahu bapak sudah
meninggal.
Bagi Satya dan
Cakra kecil, bapak hanya pergi bekerja ke luar kota seperti yang digambarkan
dialog dalam novel tersebut, “Hai,
Satya! Hai Cakra!”
Sang Bapak melambaikan tangan. “Ini
Bapak. Iya, benar kok, ini Bapak. Bapak cuma pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah, berkat doa
Satya dan Cakra.”
Adriana Justica
mengaku menangis setiap kali sampai pada bagian pesan-pesan Pak Gunardi. Gadis
itu selalu menghubungkan Pak Gunardi dengan sosok ayahnya. ”Saya berkesimpulan Ayah itu sebenarnya enggak cuek.
Ayah itu kan pendiam jadi saya pikir cuek dan itu kadang bikin saya kesal.
Ternyata saya salah,”
ujar Adriana saat mengobrol bersama teman-temannya di depan perpustakaan SMAN 6
Solo, Rabu (14/12) siang.
Bagi Adriana,
membaca novel merupakan cara belajar mengenai kehidupan yang paling mudah dan
menyenangkan karena sisi imajinatifnya membuat dia rileks. Belajar melalui
novel sangat berbeda dibanding belajar di kelas.
”Lewat novel saya bisa memahami orang lain dan tahu
nilai-nilai. Itulah kenapa saya berharap koleksi novel di perpustakaan
ditambah,” ujar dia.
Apa yang dialami
Adriana, menurut guru bahasa Indonesia
SMAN 6 Solo, Sapti Anayogyani, juga dirasakan para siswa lainnya. Jenuh dengan
tumpukan teks mata pelajaran, menurut dia, cerita pendek (cerpen), puisi,
sampai novel menjadi alat yang tepat untuk memasukkan pendidikan karakter
kepada generasi muda seperti yang digariskan Permendikbud No. 13/2015 tentang
Budi Pekerti. Novel membuat siswa belajar tentang kehidupan tanpa merasa
belajar ataupun digurui.
“Inti belajar di
sekolah itu pendidikan karakternya, budi pekertinya. Karya sastra mengandung
itu semua. Melalui cerpen atau novel, misalnya, saya ingin menyentuh hati
anak-anak, menjadikan mereka manusia yang manusiawi. Lewat karya sastra mereka
bisa belajar memahami kehidupan orang lain, bukan hanya dunia mereka sendiri,” ujar dia.
Meski demikian,
Sapti mengakui pengajaran sastra di sekolah tak bisa berjalan maksimal karena
terbatasnya jam pelajaran dan kurikulum. Membaca dan berdiskusi selama 15 menit
tentang buku, khususnya fiksi sebelum pelajaran, dia
nilai tak bisa berjalan maksimal karena banyak kendala.
Beberapa di
antaranya adalah ketidaksiapan siswa maupun guru,
serta minimnya buku. Proses produksi karya sastra, imbuh dia, juga mengalami
kendala karena terbatasnya jam pelajaran maupun kurikulum yang menekankan
pengajaran bahasa ketimbang sastra.
Tak optimalnya
pengajaran sastra di bangku sekolah, menurut pegiat komunitas sastra Pawon,
Yudhi Herwibowo, harus dibenahi. Butuh peran negara untuk memperbaiki kondisi
tersebut. ”Selain kurikulum, dominasi materi bahasa terjadi
karena kemampuan guru-gurunya terbatas. Akhirnya kelas hanya mengajarkan tata
bahasa, kosakata, dan semacamnya. Itu terjadi karena banyak guru bahasa
Indonesia yang tidak begitu menguasai sastra apalagi memproduksinya. Jadilah
siswa lebih banyak berkutat ke pelajaran bahasa,” kata Yudhi.
Walau tidak
semua sekolah seperti itu, namun menurut Yudhi, kebanyakan demikian. Kalaupun
ada pengajaran sastra di kelas sifatnya bukan menelaah tetapi hafalan. ”Kondisi ini sangat jauh berbeda dibanding pengajaran
sastra di negara-negara maju yang fungsinya sejak awal memang untuk menanamkan
nilai-nilai lewat membaca dan produksi. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya
produk sastra di sekolah seperti musikalisasi puisi, drama, dan lainnya,” kata dia.
Para pengajar
bahasa dan sastra di perguruan tinggi, imbuh Yudhi, juga minim memberikan ruang
produksi kepada para mahasiswa. Padahal inti pengajaran sastra adalah membaca
dan menulis. Kegiatan menulis seringkali diabaikan karena para pengajar tidak
berkemampuan menulis. Kondisi tersebut sering menjadi bahan kritik para anggota
komunitas Pawon.
Tags:
esai
0 komentar