Allah yang Tak Henti-hentinya, oleh Rizka Nur Laily Muallifa
Jibril ialah Allah yang ngejawantah.
Adam Ma’rifat ialah Allah yang ngejawantah. Zat asam ialah Allah yang
ngejawantah. SMPVTU ialah Allah yang ngejawantah. Komputer ialah Allah yang
ngejawantah. Ng. Ngung. K. Cak. ssszzzzzz. Matahari. Lonceng. Sebuah Kota Suci.
Sampur. Tari Bedoyo ialah Allah yang
ngejawantah. Ialah Allah yang senantiasa ngejawantah dalam perjalanan membaca
enam cerpen Danarto di buku Adam Ma’rifat
(2017).
Penerbit Divapress dan Basabasi yang digawangi Edi Mulyono
menerbitkan ulang buku-buku Danarto. Di antaranya Setangkai Melati di Sayap Jibril (2016), Godlob (2017), dan Adam Ma’rifat (2017). Buku menggoda mata
beli kala diri beribadah suci di toko buku diskon di sudut kota Solo. Hingga
berganti tahun, buku nyenyak dalam tidur agak berjejalan dengan buku-buku lain
di kamar indekos. Buku kalah dengan aktivitas sehari-hari yang kadangkala
pikuk.
Lalu, kabar duka datang agak malam, agak mengejutkan.
Keterkejutan musti diredam dan diri lekas-lekas membikin janji untuk segera
membaca buku Danarto yang kadung terbeli di tahun lalu. Sembari berikhtiar
merapal doa-doa lucu demi kealpaan tak gegas membaca karya-karyanya yang baik.
Allah dan Pohon Mangga
Sebagai pembaca sasta yang lugu dan tak mau menuntut, aku
menurut saja pada penulis. Termasuk kala membaca cerpen-cerpen Danarto dalam
buku Adam Ma’rifat. Satu-satunya kelancanganku sebagai pembaca kumpulan cerpen
barangkali ialah memilih membaca cerpen dengan acak. Seringkali dari judul
cerpen yang pertengahan. Adam Ma’rifat bernomor urut dua. Aku membacanya
sebagai yang pertama.
Adam Ma’rifat memperkenalkan diri bukan sebagai Nabi atawa
Dewa, dengan percaya diri ia berkata kepada orang-orang di dalam bus: “…aku
hanyalah Allah yang ngejawantah” (hlm. 33). Ketika orang-orang bergegas
mengambil batu lekas-lekas ia berkata: “tetapi akulah pohon mangga”. Batu-batu
terlempar ke pokok pohon mangga yang penuh buah, yang tumbuh di dalam bus.
Mangga-mangga molek jatuh tepat di genggaman tiap-tiap orang, tak ada yang
meleset barangkali menimpa jidat atawa kepala seseorang. Adam Ma’rifat, Allah
yang ngejawantah ialah pohon mangga yang menghitung dengan tepat jumlah buahnya
sama dengan jumlah orang di dalam bus. Sehingga tak perlu ada keributan sekadar
untuk berebut buah mangga.
Langkah Jibril yang lentur melayang-layang di antara batang
pisang dan pokok mangga. Kendati dalam cerpen Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat,Jibril memperkenalkan
diri sebagai malaikat pembagi-bagi wahyu bagi para nabi, ia tak lain ialah
Allah sendiri. Ialah Allah yang ngejawantah. Jibril yang membuka kemampatan
pikir anak-anak di sekolah dasar supaya mudah mengerjakan ujian. Jibril yang
menurunkan hujan di lingkup sekolah demi keinginannya melihat anak-anak belajar
di bukit yang rimbun. Jibril yang mengganti genting kelas yang pecah oleh
kelakuannya sendiri, lalu buru-buru menyapu lantai yang kotor musabab
kepingan-kepingan genting. Kepada anak-anak yang hendak menjaringnya, Jibril
bertaruh: Jika jaring kukais, kalian
pasti menangis (hlm. 19).Siapa lagi yang punya kuasa sedemikian rupa.
Benarkan Jibril?
Selain dua cerpen itu, dalam cerpen Megatruh, pembaca mudah saja menebak bahwa zat asam ialah juga
Allah yang ngejawantah. Di mula pertemuannya, tokoh aku, batang pisang, dan
kadal yang cerewet lekas yakin bahwa mereka tak mungkin berpisah dengan zat
asam yang tak lain dan tak bukan ialah nyawanya sendiri. “Banyak pelajaran
bagus-bagus yang kami dapatkan dari zat asam itu. Tidak hanya pesan yang
terucap lewat mulut tapi pikiran-pikiran kami dihantarkannya ke mana kami
suka”. Yang begini ini kan jelas-jelas identik dengan Allah atawa Tuhan yang
Esa.
Allah ialah juga tipografi-tipografi yang kuduga dibuat
dengan iseng demi kegandrungannya pada daya ekplorasi, seperti nampak dalam
cerpen keempat. Yang judulnya berupa notasi dengan beberapa kata “ngung” dan
“cak”. Allah ialah juga SMPVTU dan komputer yang membuat penonton tari bali
kesurupan dan tak sadarkan diri laiknya orang mati kala komputer dimatikan.
Makna lainnya, bila komputer bukan Allah yang ngejawantah toh kini manusia sengaja mendudukkan komputer dan barang elektronik
pintar lain sejajar dengan Allah atawa Tuhan yang Esa.
Gejala Sufisme
Adam Ma’rifat disebut-sebut sebagai salah
satu karya agung Danarto, selain Godlob(Basabasi,
2017).Sudah lama Danarto dikenal sebagai sastrawan dan perupa yang
karya-karyanya senantiasa menuju pada Zat yang Agung. Mahfud Ikhwan berani
bertaruh bila ada pembicaraan tentang gejala sufisme dalam sastra di Indonesia,
Adam Ma’rifat tak mungkin abstain
dari penyebutan.
Aku juga mesti mengamini kata Mahfud, enam cerpen Danarto
menantang kehati-hatian diri sebagai pembaca. Pembaca musti menyiapkan dirinya
untuk mabuk, kesurupan, dan tak sadarkan diri entah sesudah merampungkan
halaman pengakhiran entah belum. Aku barangkali agak mabuk setelah rampung menutup
cerpen Bedoyo Robot Membelot dan
membaca identitas diri penulis yang tak terlalu panjang.
Tepat sebelum menutup sampul belakang. Diri pembaca menemu
cerpen yang tak kalah baik. Ia cukup pendek sahaja. Ialah identitas diri yang
memuat doa khusyuk penulis. Penulis memohon Allah Azza wa Jalla berkenan
menambahi umurnya sekitar sepuluh tahun lagi, kalau mungkin agak lebih, guna
menikmati pemandangan indah di seluruh dunia yang belum sempat ia nikmati.
Semoga Tuhan mengabulkan permohonannya itu (hlm. 112). Tsah! []
// Rizka Nur Laily Muallifa. Tertarik dengan isu apa
saja. Mengaja kata di Diskusi Kecil Pawon, Kisi Kelir, dan Bentara Muda Solo.
0 komentar