Pemecahan Dimensi Waktu dalam Rekayasa Perang dan Kerinduan Asmaraloka, oleh Ruly R.
Asmaraloka dibuka dengan cerita yang
sukar dinalar ketika pembaca disuguhkan langsung adegan seorang perempuan
mengikuti malaikat pencabut nyawa yang memanggul mayat suami perempuan
tersebut. Dalam indera sebagian kita mungkin akan menangkap sebuah hal yang
tidak lumrah, tapi ketidaklumrahan itulah yang coba digarap Danarto. Kalau kita
yang menulis, mungkin perempuan itu akan langsung takut ketika berhadapan
dengan malaikat pencabut nyawa. Tapi di Asmaraloka, Danarto justru membuat
anomali dengan menciptakan tokoh perempuan yang bernama Arum yang terus
mengikuti malaikat pencabut nyawa. Danarto seakan memberi keajaiban sifat gigih
dan semangat yang membara pada perempuan itu, hingga akhirnya dia kehilangan
jejak malaikat pencabut nyawa yang sebenarnya tak punya jejak, dan sampai pada
sebuah pondok pesantren milik seorang kyai dan medan perang.
Sebagian besar novel dengan latar perang mungkin akan
ditulis dengan gaya yang menghadirkan penderitaannya secara langsung, tapi
tidak dengan novel Asmaraloka. Justru di novel ini ada semacam sarkasme besar
yang diusung Danarto. Bagaimana perang justru menjadi komoditi selayaknya
barang dagangan. Penciptaan perang yang terus berlangsung dan rangkaian
perasaan menang dari masing-masing pihak akhirnya membentuk pemahaman baru dan
pertanyaan yang akhirnya dikembalikan pada diri masing-masing. Benarkah perang
memang hanya bentuk buatan dari sebagian orang atau kelompok? Danarto tidak
memberi pemecahan terhadap problem yang hadir, melainkan dengan narasi-narasi
kuat dalam ceritanya ada sebuah kerinduan akan suatu perasaan di mana sebagian
besar manusia sebenarnya lebih menginginkan kedamaian.
Menukil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Asmaraloka
berarti dunia (alam) cinta kasih. Lewat novel Asmaraloka, Danarto menarik
sebuah relativitas yang besar. Sebuah penggambaran tentang benar dan salah
tidak lagi kentara, tapi perasaan akan pertentangan yang berkesimpulan pada
masing-masing yang merasa paling benar itu sendiri. Pemecahan dimensi waktu
digunakan sebagai media pengantar pada konflik yang terus timbul. Kehadiran
yang paling jelas diciptakan dengan kembali hidupnya satu tokoh yang bernama
Kyai Ora Weruh. Danarto seakan memberi pengertian lain pada sebuah kehidupan
yang sebenarnya fana selayaknya perang yang ada dalam novel Asmaraloka.
Jika Baudrillard—pemikir Prancis pernah berargumen tentang
situasi di mana batas-batas realitas dan yang bukan realitas sudah kabur,
Danarto justru menabrak batas-batas ruang realitas yang mungkin dipikirkan
sebagian besar dari kita. Percakapan dalam Asmaraloka dihadirkan dengan gaya
yang rumit namun langsung mengena pada pembaca, sehingga secara umum pembaca
digiring dalam balutan kesadaran yang selalu diperbarui. Tapi satu hal yang
mungkin sebenarnya ingin terus dikatakan Danarto dalam novel ini adalah bagaimana
tanpa waktu yang terbatas manusia terus berperang bukan dengan yang lain,
melainkan melawan dirinya sendiri. []
// Ruly R, bergiat
di Kamar Kata Karanganyar
0 komentar