Danarto: Si Masinis Mabuk, oleh Han Gagas
Dalam cerpen
Godlob dan Rintrik, Danarto menjelontorkan gaya menulis yang edan, kata-kata
berlarian seperti kereta dengan masinis yang sedang mabuk. Menggabungkan yang
kuno dan modern seperti sawah dan piano, gagak dan kota, menajamkan bahasa, dan
menebarkan kata yang serba maut dan lugas seperti setan, bangkai, buas, buta,
dan mani namun di atas semua hal juga selalu ada kata malaikat dan Tuhan.
Iya Danarto seperti yang diakui oleh Goenawan
Mohamad adalah sastrawan yang memulai penulisan Realisme Magis di Indonesia.
Apakah ia meniru gaya Gabriel Garcia Marquez, sang pelopor realisme magis
dunia? Setahu saya keterpengaruhan gaya antar penulis adalah sah dalam rahim
sastra kita. Aliran realism magis ini tampak paling kuat muncul di cerpen Danarto
berjudul simbol cinta, dengan tokoh utama bernama Rintrik, di mana bayi-bayi
yang dibuang bangkit dari kubur, bayi-bayi yang dimakamkan Rintrik ikut
bernyanyi bergandengan tangan dalam alunan piano yang dimainkannya.
Kalau Kuntowijoyo dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan kita akan
menemukan cerita lisan serupa yang bertebaran di tanah Jawa tentang pesugihan
dengan jalan ritual mengambil kain kafan di hari weton tertentu dengan cara
menggigit seperti anjing, di Rintrik dan Godlob magis terasa lebih keras.
Umpama minuman keras, kadar alkohol magisme karya Danarto tertinggi diantara
jajaran sastrawan senior Indonesia, termasuk Kuntowijoyo.
Ajaibnya magisnya Danarto masih
membumi, masih realism, kita bisa mendengar cerita-cerita yang dia angkat walau
terdengar sayup-sayup di masa lalu.
Keanehan Danarto adalah
meletakkan piano di masa itu, masa yang terasa kuno dan di pedesaan, apakah ini
masuk akal? Pengontrasan semacam ini, ajaibnya, diterima oleh publik sastra dan
kritikus saat itu, ditandai dengan moncernya Danarto dan dari
penghargaan-penghargaan yang ia peroleh. Benar ada idiom yang menyatakan sastra
adalah anak jamannya.
Sekarang, di tengah tak jelas
dan juntrungnya kritik sastra, bisa sangat mungkin akan melumat hal-hal macam
begitu. Sastra sekarang yang seolah tak punya bapak, seperti bayi-bayi yang
disayangi Rintrik, hidup sendiri-sendiri dan bikin legitimasi sendiri-sendiri. Fakta
masa lalu dan fakta sekarang adalah semangat jaman yang memang begitu, tak ada
yang benar dan tak ada yang salah.
Namun dibalik hal-ahal yang
aneh, Danarto juga mencoba berfilsafat dengan dialog dalam cerita: “Rintrik
yang buta, aku bertanya padamu, adakah Rintrik yang Tidak Buta?” dan
bereksperimen tentang eksistensialisme macam Iwan Simatupang, seorang manusia
yang eksis sendiri tanpa pengaruh Tuhan sekalipun. Hal tersebut diperlihatkan
oleh tokoh pemuda terakhir yang menyerahkan bayi kepada Rintrik. “Biarlah orang
lain mengakuiMu, aku tidak!”
“Sedang engkau di dalamNYa,”
balas Rintrik. “Tidak! Aku tidak di dalamNya. Aku di luarNya. Akulah yang berdiri
sendiri,” tukas si pemuda.
Tapi di Rintrik pula, Danarto seakan
terpengaruh oleh waham Al halajj atau yang diwakili oleh Syekh Siti jenar di
Jawa dengan paham aku adalah Tuhan. Inilah keanehan Danarto, ia sufikah, ia manunggaling kawula gustikah, bahkan
juga diketahui penulis, bahwa ia juga pernah ikut aliran “keagamaan” Lia Eden
yang kemudian akhirnya keluar. Danarto dalam realitas keagamaan tampak komplet,
corak surealisme yang bercorak religinya juga indah terutama dalam penggambaran
malaikat seperti cerpen Mereka toh Tidak
Mungkin Menjaring Malaikat.
Dalam buku Godlob, cerpen
Sandiwara di Atas Sandiwara agak lepas dari aliran sebelumnya. Ini lebih ke
eksperimentasi tema, dan penjungkirbalikkan logika. Teater berubah porak
poranda karena penonton yang menentukan lakon. Rutras sang pemimpin jenuh
dengan lakon-lakon yang diperankan, karena baginya lakon di panggung itu telah
merusak kemurnian kepribadiannya. Akhirnya panggung terbakar, dan menimbulkan
banyak kejadian tragis dan meminta korban, termasuk Rutras sendiri. Danarto
tampaknya kadang bosan dengan tema yang selama ini lekat dengannya: surealisme,
hal yang sangat manusiawi karena menulis sesungguhnya –kecenderungannya- adalah
tindakan mana suka saja. Pada cerpen Nostalgia yang menceritakan soal Abimanyu
dan lakon Pandawa-Kurawa, Danarto juga melepaskan sahwat magis surealismenya.
Surealisme katakanlah begitu
tampak diwakili oleh cerpen Kecubung Pengasihan di mana tokoh bisa berbicara
dengan tanaman. Atau apakah ini sesungguhnya juga nyata, realism, seperti Nabi
Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang. Danarto menyelipkan tokoh
perempuan bunting yang suka bercerita kepada mereka para tanaman bunga, cerita
kesyahduan kepada Tuhan, menyentil reinkarnasi, sekaligus meledek kelakuan
orang-orang. Ia menganggap orang yang menuduhnya gila karena bercakap-cakap
dengan bunga adalah yang gila sesungguhnya karena suka merugikan orang lain.
Cerita ini berkelok-kelok, bahkan sampai terjadi peperangan antar bunga –kelokan
yang aneh- karena pertentangan pendapat tentang kematian. Peperangan yang aneh
ini sangat tragis karena pihak yang mengerubuti ternyata hanya hendak bunuh
diri. Mereka melepaskan semua senjata saat senjata musuh terayun. Semua tewas,
dan kemenangan terasa jadi nista.
Peperangan atau pembunuhan juga
terdapat dalam cerpen Armageddon, atas hasutan atau kesaksian Bekakrak-an
–hantu kepala dengan jeroan tanpa tulang dan daging- seorang ibu melenyapkan
anak gadisnya karena telah serong dengan pacarnya. Cerpen yang terbilang sadis
dalam penggambaran pembunuhannya dimana ayunan kapak menebas tubuh dan kepala
anak sendiri, dan kemudian diteruskan dengan pemenggalan kepala.
Danarto telah tutup usia, namun
Godlob, Rintrik, dan Bekakrak-an masih bergentayangan di ribuan benak para
pembacanya. []
// Han Gagas, sudah menulis beberapa buku:
Tembang Tolak Bala (LKIS), Ritual, Catatan Orang Gila (Gramedia) dan
yang terbaru: Orang-orang Gila
(Mojok)
0 komentar