Beragama Lewat Hawthorne, kisah buku Inang Jalaludin SH
Penyunting Nien
Desain sampul Mahar Mega
Pemeriksa
Aksara Tika Yuitaningrum
Penerbit Narasi, cet 1
Tahun 2015
Halaman 276 hlm
Saya
sudah lama mencari karya Nathaniel Hawthorne. Saya tertarik dengan
novelis-novelis Amerika, terutama sebelum era Mark Twain. Beruntungnya, saya
bertemu dengan The Scarlet Letter di
sebuah bazaar buku murah. Konon, novel ini dianggap sebagai karya terbaiknya,
juga salah satu yang terbaik di Amerika.
Oleh
suatu keperluan, saya juga membaca versi bahasa Inggris novel ini. Dalam versi
bahasa Indonesia, saya membaca cetakan pertama dari penerbit Narasi yang cetak
tahun 2015. Sedangkan dalam bahasa Inggirsnya saya pakai versi Worldsworth
Classics tahun 1999.
Ketika memasuki cerita, saya agak cemas novel ini akan gelap
seperti panutannya, Allan Poe. Terlebih, dia juga pernah disanjung oleh Poe
dalam ulasannya ketika menulis dongeng Twice-Told
Tales di Graham’s Magazine.
Sebelum novel ini terbit pertama kali di tahun 1850, Hawthorne memang dikenal
sebagai penulis dongeng.
Dari bab pertama, aroma romantik, juga sedikit gotik, sudah
terasa. Ternyata, sangat disayangkan cerita malah “mundur” ke era puritan, di
Boston, Massachusetts. Jujur saja, saya jadi agak malas melanjutkan membaca
cerita yang berbau gereja. Pikir saya, cerita tak akan jauh berbeda dengan Jane Eyre-nya Bronthe yang terbit
beberapa tahun lebih awal.
Namun, gaya bercerita yang gamblang dan simpel ternyata
malah membuat betah mata. Ceritanya sederhana, seorang wanita muda bernama
Hester Prynne, menjadi terdakwa kasus perselingkuhan. Seharusnya, otoritas
gereja menjatuhi hukuman mati untuknya. Namun karena kebaikan seorang pendeta,
Hester hanya dihukum cacian di muka umum selama tiga jam (mungkin ini yang
mengilhami Orwell dengan dua menit bencinya). Selain itu, dia juga dipakaiakan
baju dengan huruf A merah di dadanya sebagai symbol pendosa. Ini berarti segala
macam cercaan kaum puritan menjadi legitimasi.
Berdiri menghadapi hukuman, Hester menggendong anaknya,
Pearl, yang berusia tiga bulan. Di sebuah lapangan, di hadapan penduduk kota,
Hester diminta mengungkap kepada semua orang siapa ayah Pearl.
Pendeta muda yang bijaksana, Arthur Dimmesdale, ditugaskan
untuk menanyainya. Anehnya, si pendeta malah tampak ketakutan ketika melihat
tatapan Hester, tak berbuah hasil. “Dan anakku akan mencari ayahnya di surga.
Ia tidak akan menemukan ayahnya di dunia,” tolaknya keras.
Di tengah cemoohan penduduk kota, seorang dokter bernama
Roger Chillingworth muncul. Sosok ini langsung menyegat mata Hester. Pria
inilah suami Hester yang baru tiba dari Belanda. Roger tak menaruh dendam pada
istrnya. Justru, dia menyimpannya untuk ayah Pearl. Roger pun tak mengungkapkan
jati dirinya di depan umum dan menyimpan misi balas dendam.
Dua pria ini, Roger dan Arthur menjadi yang utama dalam
pergerakan novel. Hester memang tidak muncul secara dominan secara
terus-menerus. Peran Hester membuka ruang konflik untuk ketiganya, selain memang
buku membahas dirinya sesuai judulnya.
Secara tersirat, kedua pria ini memiliki masa lalu yang
penting dengan Hester. Dengan keahilan masing-masing, keduanya mendapatkan nama
yang baik dan bersahabat, meski di baliknya saling mencurigai. Bahkan, saling membongkar/menggali
prinsip-prinsip hidup mereka.
Sebagai sahabat, keduanya pribadi yang sangat terbuka,
saling bertukar pikiran. Roger adalah symbol untuk ilmu dunia, sedangkan Arthur
adalah ilmu surga. Liberal dan religius.
Dalam obrolan, terkadang, si pendeta merasa jendela harus
dibuka untuk sesekali mendapatkan udara. Namun udara dingin itu terlalu dingin
untuk dihirup dengan nyaman. Sehinggga pendeta muda dan dokter itu kembali
menarik diri ke dalam garis yang didefinisikan Gereja sebagai ortodoks. Inilah yang tergambar di
tengah cerita.
Benturan kedua tokoh ini adalah symbol pertarungan gereja
melawan sekularisme. Posisi Hester berada di tengah-tengah keduanya. Hester
memilih membangkang dari otoritas gereja, bahkan tidak segan-segan menyanggah
pendapat pendeta. Meski sangat kritis, Hester juga sangat religius. Mengobati
hati sambil membesarkan anaknya, ajaran agama adalah yang membuatnya terus
percaya diri.
Siksaan batin seumur hidup yang dibawa Hester lalu berubah
menjadi cinta di akhir adalah petualangan berharga para pembaca. Hawthorne
seperti menyodorkan sosok beragama yang ideal. Dihina lalu dihormati. Taat tapi
juga mandiri dan berani berpikir bebas. Dan pilihannya sangat tepat untuk
memilih karakter wanita untuk latar puritan yang masih patriarki.
Memang cerita yang bertema agama cukup sentimentil. Tapi
juga cukup mampu untuk merenungkan bahaya puritan, atau beragama yang terlalu
berlebihan, atau setidaknya saya berpikir begitu.
Novel ini tampaknya perlu dibaca oleh siapapun yang berani beragama.
Membutuhkan renungan panjang dan asupan ilmu pengetahuan sebelum berani
bertanya: apakah memisahkan pemerintahan dengan agama itu hal yang perlu?
Jika pertarungan antara Roger dan Arthur adalah hal yang
abadi. Maka kita semua membutuhkan sosok Hester. Plus juga sosok Pearl yang
tumbuh dewasa dengan ceria meski kebahagiaanya telah direbut sejak lahir dan
tanpa tahu ayahnya.
Saya merasa lega setelah membaca novel ini. Novel “beragama”
tapi tanpa kosa kata agama. Bahkan, ketika telah selesai membaca, sebenarnya
kesan puritan pun tak ada. Hanya roman yang memutar-mutarkan makna benci dan
cinta lalu ditabrakkan dengan rasa keadilan.
Terlepas dari isi cerita yang bagus. Terjemahan oleh
penerbit Narasi terlalu dipadatkan. Banyak kata bahkan kalimat yang dibuang.
Padahal Hawthorne tidak terburu-buru memaparkan kejernihan “agama” yang
dianutnya. Seperti kata Poe dalam ulasannya pada Twice-Told Tales: the style is purity itself.
Inang
Jalaludin SH. Bercita-cita menjadi penyanyi, koki, dan
tukang kebun. Surel: ijalaludinsh@ gmail.com
Tags:
Kisah Buku
0 komentar