Sastra, Minggir!, esai Fatih Abdulbari
Konon,
dahulu kala, sebuah daerah dianggap menjadi kota ketika memiliki sastra. Sastra
lho! Bukan arsitektur atau industri atau mall, tapi sastra. Kota-kota semacam
Surakarta, Jogjakarta, Pasai atau Malaka punya darah kesusastraan yang sangat
deras. Bahkan sastra masuk dalam segala kelas sosial, mulai dari lingkup
keraton hingga desa. Semua bersastra.
Aih,
aku membayangkan betapa indahnya kota dengan atmosfer sastra yang kental.
Mungkin rasanya akan seperti kencan pertama yang penuh cinta dan lembut, atau
mungkin juga seperti birahi, menggebu-gebu bagai pasir yang ditiup angin badai.
Tapi yang manapun, aku ingin hidup di dalamnya, di kota penuh sastra dengan
segala daya tariknya. Amboi, indah sekali!
Dalam pelajaran sosialku ketika SMP, aku
diajari bahwa sebuah daerah dianggap kota diukur dari jumlah penduduknya atau
pendapatannya atau teknologi dan industrinya. Lho, sastranya kemana?
Semakin banyak kemajuan justru membuat hal
lama yang penting hilang. Seperti manusia yang kehilangan mimpinya ketika
tumbuh semakin dewasa, perkembangan teknologi membuat orang-orang kota
menganggap sastra hanya buang-buang waktu. Maka mereka menghilangkannya dari rutinitas
keseharian. Akhirnya sastra harus minggir, dilibas oleh roda dan mesin. Semakin
masuk ke pelosok, gemetar ketakutan diburu pembangunan.
Penggambaran tentang situasi sastra di kota
yang sedang tumbuh, dengan sangat apik dijabarkan Misbach dalam bukunya, Keajaiban di Pasar Senen (2008). Seniman
dan sastrawan Jakarta pada tahun 1950-an sering berkumpul di Pasar Senen untuk
mencari inspirasi atau sekadar ngobrol dan berkumpul. Dalam situasi “kota
baru”, Jakarta melakukan banyak sekali pembangunan dan akhirnya sastra harus
minggir ke daerah sekitar Pasar Senen.
Dalam cerita Nasihat untuk Para Seniman di bukunya, Misbach bercerita saat itu
ada seorang kawan seniman muda yang dapat uang dari menulis, kemudian dikirim
ke majalah. Uang yang dihasilkan dari honorarium jelas tidak seberapa, paling
tinggi hanya 75 rupiah. Misbach menuturkan bagaimana sulitnya seorang seniman
menggarap sebuah cerpen. Mencari ide, menuangkannya dalam tulisan kemudian
harus diubah karena ketidaksesuaian, dan lain sebagainya. Untuk sebuah cerita
pendek dia butuh lima hari, penuh dengan begadang dan berfikir keras, itupun
belum tentu diterbitkan. Sedangkan biaya hidup saat itu sekitar dua ribu rupiah
sebulannya.
Dalam kondisi seperti itu Misbach mengajak
kawannya untuk melamar pekerjaan pada seorang kenalannya, kepala di kantor
pemerintah yang mengurus kebudayaan. Tapi sungguh kurang ajar pak kepala
kebudayaan ini! Bukannya memberikan pekerjaan dia malah meminta kawan seniman
bekerja lebih sistematis.
“…maka mulailah dengan mengumpulkan
nama-nama majalah serta mingguan yang memuat cerita pendek, sepuluh buah saja
cukuplah. Maka kalau penerbitan itu sekaligus saudara kirimi cerita pendek dan
memuatnya, artinya saudara akan menerima honorarium sepuluh kali tujuhpuluh
lima rupiah, berarti tujuh ratus lima puluh, satu minggu. Maka satu bulan akan
berarti empat kali itu, sama dengan tiga ribu…” kata pak kepala kebudayaan
yang, jika tidak dicegah oleh Misbach dengan pamit pulang, sudah akan disemprot
oleh kawannya. (Misbach: 2008: 87-88)
Kurang ajar! membuat satu cerita bisa lima
hari, sekarang disuruh buat sepuluh dalam satu minggu? Memangnya menulis
seperti masak? Bisa gonta-ganti: pagi, siang dan sore? Aku juga sedikit terbawa
emosi ketika membaca cerita ini. Tapi bagian pentingnya adalah, pak kepala
kebudayaan yang modern ini tidak mengetahui proses kreatif di balik pembuatan
sebuah cerita dan menganggapnya mudah dan sepele. Ditambah dunia yang sedang
bergerak adalah dunianya pak kepala kebudayaan, yaitu dunia modern. Akhirnya,
mau tidak mau seniman dan sastrawan juga yang harus menyingkir.
Membangun kota dengan suasana sastra akan
sangat sulit. Dengan perkembangan sekarang bahkan orang-orang malas sekali
untuk sekadar membaca buku. Lalu kota semakin monoton, penuh dengan orang-orang
yang seragam dan tanpa imajinasi.
Sementara kotanya penuh jelaga dan jenuh setengah mati.
Situasi seperti itu digambarkan dalam film animasi yang sangat kusukai, The Little Prince (2015). Jadi
kawan-kawan, bersastralah!
Terakhir, marilah sejenak kita heningkan
cipta, untuk kota-kota besar penuh jenuh dan jelaga, tanpa sastra. Mulai!
Fatih Abdulbari,
sedang berjuang keras membacai tumpukan buku yang dibelinya tanpa pikir
panjang. Motonya adalah tampan dan berani. Bisa dihubungi via surel fatihabdoelbari@gmail.com.
Tags:
esai
0 komentar