Obituari, cerpen Wika G. Wulandari



 
Sikin menggebrak meja mendengar ucapan istrinya, Mirna.“Sejak kapan kau jadi pesimis seperti itu? Uang 10 juta yang dia minta, akan kupenuhi!”
   Sudah seminggu berlalu ketika Ona, anaknya, meminta uang 10 juta untuk biaya kuliah. Sikin pusing tujuh keliling.Tabungannya sudah ludes dari dua bulan lalu. Penghasilan istrinya sebagai penjual gado-gado pun tidak begitu menjanjikan.
   “Tapi Pak, kalau Ona kita transfer ke jurusan, biayanya akan lebih ringan. Dan bapak tidak perlu stres begini,” bujuk Mirna.
Satu tahun lalu Sikin nekat memasukkan anak semata wayangnya ke kedokteran, demi menaikkan derajat keluarga. Setiap kali mendapat panggilan telepon dari Ona, jantung Sikin mendadak berhenti. Napasnya tertahan kala dia menjawab salam. Kebiasaan itu sudah berlangsung selama satu tahun terakhir. Meski terasa sengsara, Sikin tak tahu bagaimana mengatasinya. Dan selama satu tahun itu pun Sikin menahan dirinya untuk tidak mengeluh di depan Mirna.
Semua kesabaran Sikin mendadak hilang ketika Mirna mengusulkan untuk memindahkan Ona ke jurusan kesehatan lain. Merasa diremehkan, Sikin meluapkan semua amarahnya.
“Tidak ada yang bisa mengubah rencanaku!” terang Sikin.“Sudah bertahun-tahun kususun rencana itu. Semua demi keluarga kita.”
Mirna menunduk bingung. Bukan ingin mematahkan semangat suaminya, hanya saja Mirna ingin bersikap realistis. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mereka bertiga adalah memindahkan Ona dari jurusan kedokteran ke jurusan kesehatan lainnya.Dengan begitu biaya 10 juta yang membuat stres suaminya bisa hilang.
“Mengapa harus kedokteran, Pak, kalau hanya ingin menaikan derajat keluarga?”
“Karena aku tidak sudi hidup miskin seperti ini!” Sarkasme sukar dihindari bila Sikin sedang marah. Matanya yang cerah menatap Mirna dalam-dalam.
Mirna bangkit menuju lemari kayu dan menarik laci. Lama dia berdiri memandang buku tabungan di tangannya, lantas berkata, “Pak, kita benar-benar tidak punya uang sekarang. Dari mana dapat 10 juta itu?”
“Iya, aku tahu. Aku tahu itu!” Sikin mengusap wajahnya. Harus berapa kali dia berteriak di hadapan istrinya untuk menghilangkan semua beban pikiran? Sikin sadar sikapnya sudah keterlaluan, tapi dia tidak ingin siapa pun mengubah rencananya, termasuk Mirna.
“Tidurlah. Besok kita pikirkan lagi.” Suara Sikin berubah pelan.
“Aku tahu bukan itu alasan utamamu. Kau hanya ingin Ona meneruskan mimpimu yang tertunda,” gumam Mirna. Takut suaminya naik pitam lagi, cepat-cepat ia tambahkan, “Tapi, tentu kau ingin yang terbaik untuk anak kita.”
“Dengar, jangan pernah menyarankan hal bodoh itu lagi,” ujar Sikin memperingati sambil membelalak pada istirnya. “Jangan berani-berani.”

***
               
Pagi itu Sikin enggan menyarap. Goreng tempe dan ikan yang disediakan Mirna tidak ia sentuh. Sikin lebih memilih membaca koran langgan sambil memperhatikan Mirna menyiapkan bahan gado-gado. Berusaha santai meski pikiran sedang resah bukanlah hal baru bagi Mirna dan Sikin.Pernah mereka mencoba untuk meredakan keresahan dengan berdiskusi serius, tapi hasil yang mereka dapatkan justru sebaliknya.
Pagi itu suasana rumah tidak seperti biasanya.Mirna enggan menatap Sikin, memilih sibuk dengan sayur-mayur di keranjang. Meski membaca koran, pikiran Sikin sibuk mencari sesuatu untuk berbincang dengan istrinya.
“Bu, kita beruntung,” Sikin membuka percakapan.
Mirna membeliak pada suaminya, “Tentu. Jika dipikir-pikir, kita memang beruntung. Hanya saja kita lupa memikirkannya.”
Sikin terkekeh. “Ya, setidaknya nama kita belum tercantum di berita kematian koran.” Sikin melipat koran, enggan membaca lagi. “Kenapa orang-orang begitu rajin memamerkan berita kematian? Kolom obituari begitu luas, kalau diganti dengan informasi yang lebih berharga kan lumayan. Lagipula, tidak semua pembaca koran sesensitif remaja zaman sekarang. Kehadiran berita kematian di koran tidak terlalu berpengaruh,” papar Sikin dengan nada serius dan bingung.
Mirna menegakkan badan dan membalas pandangan Sikin. “Kematian pun perlu diberitakan. Mungkin ada keluarga di luar sana yang lupa diberitahu. Atau sebagai penghormatan untuk yang sudah meninggal,” sanggah Mirna.
“Buang-buang uang saja,” Sikin mencibir dengan angkuh. Tanpa pamit ia mengambil tas kantor dan meninggalkan rumah.

***
               
Ketika kota Tidore diguyur hujan deras, Sikin pulang dengan berita bahagia. Dengan sombong ia meletakan surat keputusan resmi dari walikota, lengkap dengan rincian dana yang akan digunakan. Seperti ada cercah bagi rasa resah mereka, Mirna tersenyum dengan mata berair.
“Lihat!” kata Sikin sambil melangkah ringan menuju jendela.“Kalau saja aku mengikuti sifat pesimismu itu, aku tak akan bisa merasakan segarnya udara malam ini.”
“Proyek apa ini, Pak?”
“Proyek ini proyek hebat. Hanya orang-orang pintar yang bisa mengerjakan. Dan walikota langsung memilihku menjadi ketuanya.”
Mirna membaca rincian dana dengan teliti. Ketika melihat keuntungan yang didapatkan suaminya, mulut Mirna menganga. “Sebanyak ini, Pak?”
Sikin merampas kertas putih dari istrinya. Melipat dengan angkuh dan berjalan menuju lemari. “Ya, sebanyak ini. Dan sifat pesimismu itu tidak akan pernah menghasilkan uang sebanyak ini.”
Mirna mengelap matanya. Mau membela diri seperti apa pun, di mata suaminya dia tetaplah seseorang yang berusaha menjatuhkan mimpi suaminya. “Jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak baik, Pak,” pesan Mirna.
Mata Sikin mendelik.  “Kau bilang apa?! Hal-hal tidak baik? Bagian mana dari proyek ini yang menurutmu tidak baik?” tanyanya kasar.
“Bukan begitu, Pak. Biasanya proyek-proyek besar selalu punya godaan.”
“Ini bukan proyek besar. Hanya pembangunan jalan setapak untuk mempermudah akses warga ke perkebunan. Apa yang perlu diwaspadai?”
“Ya sudah kalau begitu,” Mirna menenangkan.“Keperluan apa yang mau dibawa?”
Dengan wajah misuh Sikin mengeluarkan beberapa potong baju, dokumen-dokumen yang perlu dibawa, dan laptop. Semuanya ia berikan pada istrinya. Tanpa ucapan minta tolong atau hanya sekadar senyuman terima kasih, Sikin keluar kamar.
“Aku bukan koruptor, Bu,” suara Sikin terdengar pelan dari ruang tamu.
Mirna hanya mengangguk membenarkan. Toh, memang tidak ada niatnya menuduh suaminya. Masalah ekonomi selalu mengaburkan niat-niat baik. Semenjak menjadi ibu lurah, Mirna jarang sekali berbincang dengan pelanggannya. Mulutnya lebih banyak diam, takut omongan yang keluar akan membahayakan posisi suaminya.
“Selama enam bulan ke depan aku akan jarang di rumah. Pulang pun dua minggu sekali, itu pun kalau sempat. Jaga sikap, Bu. Kalau ada apa-apa, langsung kabarkan.”
Mirna mengangguk lagi. Semua keperluan Sikin ditata di dalam koper kecil dan diletakan di samping lemari. Malam itu, untuk pertama kalinya mereka bisa bernapas lega di atas tempat tidur. Mengakhiri malam dengan pelukan hangat, bersiap menyambut rezeki baru.

***

               
Enam bulan menjadi lurah Ome membuat Sikin hafal betul dengan penduduknya. Selama perjalanan menuju pelosok Sikin tak berhenti senyum pada warga yang dengan antusias menyambut kedatangan mobil mewah. Beberapa di antara mereka ada yang melambai-lambai, mencuri perhatian Sikin. Sudah lama Sikin tidak meraskaan atmosfir seperti itu. Jika tidak diperintahkan atasan, Sikin lebih memilih diam di ruangan ber-AC daripada blusukan di jalanan becek.     
   Sambutan warga begitu meriah hingga Sikin dengan gamblang mengumumkan pelaksanaan proyek. Di sela-sela pengumuman, Sikin bisa mendengar ucapan syukur dan isak tangis bahagia warga Ome. Dalam hati timbul kepercayaan diri yang sempat runtuh karena saran Mirna. Sikin yakin, Ona bisa melanjutkan mimpinya.
Sudah tiga bulan Sikin tidak pulang ke rumah. Kabar pun tak sempat ia kirimkan untuk istrinya. Kerjaan di lapangan memang menyita banyak waktu, tapi bukan itu yang membuat Sikin berhalangan pulang. Di tendanya, Sikin sibuk menghitung uang warga. Pekerjaan itu bukan murni idenya, Sikin hanya membantu  merapikan  lembar-lembar uang yang berserakan di dalam tenda. Sebagai upahnya, ia akan menerima 50% dari iuran yang terkumpul.
Di sela-sela menghitung uang tambahan, Sikin kedatangan tamu. Seorang pria paruh baya dengan kulit cokelat terbakar memasuki tenda.Wajah pria itu memelas, dadanya yang telanjang menampilkan ruas-ruas tulang rusuk. Sikin merapikan dengan cepat pekerjaannya, dan menyambut tamunya dengan senyum dibuat-buat.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sambut Sikin.
Pria itu menarik kursi dan menunduk lama. Sedangkan Sikin mulai menggertakan giginya tak sabar. “Bapak ada perlu apa?” tanya Sikin lagi.
“Anu, Pak, saya gak punya uang.”
Sikin mendengus kesal, tebakannya benar. “Nama bapak?”
Tamu itu menunduk lagi. Memainkan tanganya yang terkelupas sana-sini. “Amir, Pak.”
Tangan Sikin memukul meja pelan. “Kebun Bapak kan yang aksesnya paling jauh. Bapak tahu sendiri kan kalau dana kita terbatas? Kita butuh dana tambahan dari warga kalau ingin jalan setapaknya diperpanjang hingga ke kebun terjauh. Bagaimana kita bisa membantu bapak, kalau bapak sendiri enggan membantu kita?”
Amir mengelap bibirnya yang kering. Matanya yang sudah tak lagi jernih mulai berair. Dia menatap Sikin lama, masih dengan tatapan memelas. “Uang dua ratus ribu terlalu berat bagi saya, Pak. Hasil panen kemarin sudah saya pakai untuk biaya sekolah si bungsu.”
Sikin tetap tak peduli. Dengan cepat ia menggeleng, menolak alasan ringkih Amir. Kejadian seperti ini sudah tiga kali terjadi, semuanya ia beri jawaban sama. Sikin tahu sifatnya sedikit keterlaluan, di sisi lain Sikin merasa dirugikan karena proyek ini menyita tenaga dan waktunya. Upah dua ratus ribu per warga tidaklah banyak untuk pengorbanan Sikin.
“Begini saja, Pak. Bagaimana kalau pakai uang bapak dulu? Bulan depan akan saya ganti, setidaknya akses ke kebun saya sudah diperbaiki. Hasil panen enam bulan besok akan langsung saya berikan ke bapak,” Amir menego.
“Orang seperti bapak ini yang bikin negara tidak pernah maju. Selalu minta bantuan, tidak mau berusaha sendiri. Maunya disuap, dicolok baru jalan. Jangan jadikan pendidikan anak sebagai alasan bermalas-malasan. Biaya kuliah anak saya lebih mahal, bapak jual kebun bapak pun tidak akan cukup memenuhi SPP-nya!”Sikin mulai berkoar.
Kepala Amir makin menunduk, nyaris menyentuh dadanya. “Tolonglah, Pak,” ucap Amir. “Saya tahu ini cukup memberatkan dan terbilang egois. Tapi saya sungguh tidak punya uang sebanyak itu dan saya juga membutuhkan akses seperti petani lainnya.” Suara Amir pecah di akhir kalimat, mengungkapkan sekilas emosi yang berusaha ia tahan.
Sikin menarik napas dan menghebuskan dengan kuat, “Iuran bapak akan saya bayar pakai uang saya. Tapi harus diganti sebelum proyek ini selesai, sekitar dua bulan lagi. Saya tidak mau menunggu hingga panen berikutnya.”
Meski keberatan, Amir tetap mengangguk setuju. Setelah membungkuk memberi hormat, Amir keluar tenda sambil mengusap matanya. Sedangkan Sikin, tanpa rasa bersalah sedikit pun, kembali membuka lembar-lembar uang yang sudah tersusun rapi.
“Jadi orang kok nyusahin orang lain,” gerutunya.

***

Bulan berikutnya Sikin terpaksa pulang. Tak ada yang mengucapkan terima kasih atas jasanya selama tiga bulan terakhir, semua warga lebih memilih berteduh di bawah pohon. Bahkan rekan kerja Sikin pun pura-pura sibuk, enggan mengucapkan selamat tinggal dan turut berduka cita.
Kedatangan Sikin pun tidak disambut Mirna. Rumah tampak sepi, pekarangan mulai ditumbuhi ilalang. Pintu depan terbuka lebar, tapi pandangan Sikin tak menangkap adanya kehidupan.
“Bu?”
Dari kamar Mirna melemparkan koran ke wajah Sikin. Wajahnya merah, matanya bengkak. Tak kuat melihat wajah lesu suaminya, tangis Mirna pecah.
“Apa yang bapak lakukan?!”
Sikin mendekat hendak memeluk, tapi Mirna terlanjur mendorongnya. “Untuk apa uang dua ratus itu, Pak? Bukankah keuntungan bapak dari proyek itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kita?” Mirna mencecar suaminya.
Mulut Sikin kaku. Ada perasaan bersalah ketika melihat Mirna mulai meringkuk di sofa. Ada perasaan malu ketika melihat namanya menjadi headline di koran lokal. Ada perasaan kecewa ketika wajah memelas Amir terlintas di pikirannya. Seberapa banyak pun perasaan itu berdatangan, Sikin tetap bungkam.
“Akan kujelaskan,” ujar Sikin memohon.
“Siapa yang minta?! Tanpa bapak buka mulut pun, semua yang ditulis wartawan sudah jelas di koran. Malu, pak, malu sama tetangga!”
Sikin makin kagok mendengar ucapan Mirna. Mau membela diri pun bibirnya tak sanggup berbicara. Dengan tenang Sikin mendekati istrinya. Lengannya yang sedari tadi terkepal perlahan memeluk pundak Mirna. Dalam keadaan seperti ini, biasanya Mirna yang mencairkan suasana.
“Sekarang bagaimana, Pak?”Mirna bertanya dengan pasrah.
“Akan aku selesaikan. Secepatnya.”
“Selesaikan dengan apa? Nama bapak sudah kotor. Sebentar lagi akan dicopot jadi lurah. Tidak akan ada yang percaya pada bapak.”
Lelah mendengar rengekan istrinya, hari itu juga Sikin berangkat ke kantor redaksi koran lokal. Bukan untuk menuntut pemberitaan dirinya terkait kasus korupsi uang warga untuk dana bantuan, karena ketika meninggalkan rumah Sikin tak punya rencana apa-apa. Dia hanya tak tahan mendengar ocehan istrinya, terlebih lagi foto dirinya yang dipajang di lama depan koran lokal.

***
               
Sikin mampir di salah satu warung kopi dekat jalan raya sambil menunggu hujan reda. Warung kopi itu tampak sepi. Di teras warung kopi, bocah penjaja koran sedang berteduh, wajahnya tampak kelelahan memangku tumpukan koran. Sesaat setelah pesanan Sikin tiba, bocah itu menghampiri. Menawarkan koran dengan tatapan memohon. Lama menatap wajah Sikin, bocah itu linglung. Diperhatikannya laman depan koran yang ia bawa. “Ini bapak?” tanyanya.
Sikin menggeleng kuat.“Bukan. Bukan saya.”
“Tapi wajahnya mirip.”
“Hanya mirip. Itu hasil editan,” Sikin menjawab setengah bimbang. “Zaman sekarang banyak orang yang mementingkan diri sendiri. Semena-mena menggunakan hak orang lain demi kepuasan diri.”
Bocah itu kembali bertanya, “Apa Bapak orang jahat?”
Gigi Sikin terkatup rapat. “Dasar bodoh,” desis Sikin. “Pergilah. Kau tak akan mengerti masalahku.”
“Tapi Bapak pasti mengerti masalahku,” bocah itu memulai lagi.
“Kau ingin aku membeli koranmu?”
Dengan mantap bocah itu mengangguk ditambah senyum lebar. Sikin menepuk tangannya, merogoh saku, pura-pura mencari uang. Merasa cukup puas mengerjai bocah itu, Sikin tersenyum tengik. “Aku tak suka beli koran yang sudah kedaluwarsa.”
“Pelit begitu masih mengaku tidak jahat.”
Sewaktu mendengar ucapan bocah itu, kemarahan Sikin memuncak. Dilemparinya koran itu dengan kopi panas. Merasa belum puas, Sikin mengambil segelas air putih lalu melempar lagi. “Kau bilang aku jahat?! Dasar anak kurang ajar!”
Bocah itu diam ketakutan. Mengibas-ngibas koran yang basah. Sambil melangkah menjauh, dia mengacungkan kepalan tangan di udara.“Mending mati daripada hidup tanpa hati!”
Setelah membayar pesanan, Sikin melaju ke kantor koran lokal. Dari ruang lobi, orang-orang sudah melihatnya dengan tatapan menuding. Sikin cuek, tetap melangkah ke ruang redaksi. Di ruang redaksi dia bertemu lelaki paruh baya yang sedang sibuk mengetik.
“Saya ingin melapor berita kematian,” ujar Sikin dari ambang pintu.
Si redaktur kaget melihat Sikin. Gelagapan dia berdiri menyambut tamunya, “Bapak boleh duduk dulu.”
“Tidak, saya tidak mau duduk.Saya mau melapor berita kematian.”
Redaktur memimpin jalan dengan salah tingkah, membawa Sikin ke lorong timur kantor dan menghadapkannya dengan seorang wanita muda berparas manis.  Tak menyangka tokoh utama dalam headline korannya akan muncul di ruangannya.“Anti, Bapak ini mau melaporkan berita kematian.”
Perempuan yang dipanggil Anti terkejut melihat Sikin. “Pak lurah? Siapa yang meninggal?”
“Aku. Aku yang meninggal!” jawab Sikin kesal.
“Maksud Bapak?”
Dari seberang ruangan Anti mendapati wajah redaktur berubah sinis. Tangannya berulang kali ia kibaskan ke udara, meminta Anti segera melakukan perintah Sikin tanpa banyak tanya.
“Eh, Bapak bisa menuliskan isi kematian di kertas ini.Beritanya akan kami terbitkan di edisi selanjutnya.”
Sikin meraih kertas dan pena yang diberi Anti. “Kapan?”
“Minggu depan, Pak.”
Di atas kertas putih yang disediakan Sikin menulis dengan huruf kapital rangkaian kata yang sudah ia pikirkan sejak meninggalkan warung kopi.
Selesai menulis Sikin pergi meninggalkan kantor tanpa berkata apa-apa. Dia bahkan tidak bertanya apakah berita kematiannya layak diterbitkan atau layak ditertawakan. Dalam perjalanan pulang Sikin merangkai kalimat-kalimat yang akan dia jelaskan pada Mirna, tanpa peduli apakah penjelasan itu diterima atau ditolak. []




Wika G. Wulandari. Perempuan pecinta sastra. Meski begitu, lebih memilih bergelut dengan Biologi di Universitas Ahmad Dahlan. Mendalami perannya sebagai pendengar yang baik di komunitas sastra Jejak Imaji, Yogyakarta. Dapat dihubungi lewat 085280671022.
Pemenang 1 Tangkai Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2016 dan Penulisan Cerpen Bulan Bahasa UGM 2016.

Share:

0 komentar