Buku, Berusia Panjang, oleh Liswindio Apendicaesar
Dalam dunia buku-buku bacaan, ada banyak buku yang
bagi masing-masing pembacanya meninggalkan kesan mendalam dan bahkan dapat
mempengaruhi pandangan hidup si pembacanya. Buku-buku ini, sayangnya, tidaklah
selalu buku-buku yang mudah ditemukan di toko-toko buku di sekitar kita.
Beberapa dari buku-buku ini bisa saja belum atau tidak jual di negara kita,
atau bisa juga merupakan buku tua yang sudah tidak lagi diterbitkan oleh
penerbit manapun. Tentunya sebagai pembaca buku, kita berharap buku-buku yang
menurut kita sangatlah penting dan berpengaruh ini dapat pula dibaca dan
mengubah hidup pembaca-pembaca lain secara positif di luar sana. Dalam
kesempatan ini, saya akan berbagi perspektif mengenai 10 buku yang menurut saya
seharusnya secara periodik terus dicetak ulang dan akan berumur panjang (tapi
tidak dalam urutan).
Pertama, buku yang menurut saya seharusnya berusia panjang adalah The
Adventures of Tom Sawyer. Buku ini adalah salah satu beberapa karya Mark
Twain yang paling terkenal. Buku ini sebenarnya bukanlah termasuk sastra yang
memiliki kebahasaan yang tinggi dan penuh perumpamaan. Sebaliknya, buku ini
dalam penulisannya menggunakan bahasa Inggris yang sangat tidak baku yang
merupakan aksen Mississippi di zaman penduduknya banyak yang belum memiliki
tingkat edukasi yang baik. Pun buku ini tidaklah memiliki cerita yang rumit
atau penuh drama dan pesan moral-sosial, melainkan hanyalah menceritakan
imajinasi dan kenakalan anak-anak yang sama sekali masih polos, belum
terkontaminasi orang dewasa, dan jiwa penuh kebebasan yang belum terbatasi oleh
pandangan-pandangan kaku orang dewasa. Buku ini layak untuk dibaca baik oleh
dewasa maupun anak-anak, setidaknya menjadi pengingat kita akan kemurnian masa
kecil kita.
Buku kedua yang menurut saya layak berusia panjang adalah Forty Rules
of Love. Novel ini adalah karya penulis Turki yang banyak mengandung
nilai-nilai sufisme. Keunikan buku ini terletak pada gaya penceritaannya yang
paralel. Seorang perempuan yang bekerja sebagai editor harus meninjau suatu
naskah novel yang bercerita tentang pertemuan antara Jalaluddin Rumi dan Shams
Tabrizi. Editor tersebut sedang memiliki masalah rumah tangga dan percintaan
dan kisah dalam manuskrip tersebut memberinya semacam pencerahan. Si editor
akhirnya berkenalan dengan si penulis melalui surel dan akhirnya jatuh cinta
padanya setelah beberapa kali saling berkirim surel. Melalui novel ini kita
akan belajar bahwa di dunia yang penuh ketidakpastian ini, kita harus
senantiasa memilih cinta karena hanya dalam cintalah kita bisa menemukan Tuhan
dan diri kita sendiri.
Yang ketiga dalam daftar saya bukanlah novel, melainkan puisi. Pada
tahun 2010, Avianti Armand menerbitkan buku kumpulan puisinya yang berjudul Perempuan
yang Dihapus Namanya dan memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
kategori puisi. Kumpulan puisi ini terutama mengisahkan tentang perempuan yang
diciptakan Tuhan sebelum Hawa, yaitu Lilith yang sama-sama diciptakan langsung
dari tanah dan Lilith tidak mau jadi perempuan yang tunduk kepada lelaki
sehingga Lilith akhirnya diusir dan dianggap bersekutu dengan setan. Kisah
tentang Lilith sendiri ditemukan pada salah satu gulungan dokumen di Laut Mati,
tapi tidak pernah dikanonisasikan dan justru disembunyikan kisahnya oleh
gereja. Melalui puisi-puisinya Avianti Armand ingin menunjukkan bahwa kehadiran
Lilith tidak bisa dihapuskan oleh beragam upaya, dan Lilith akhirnya selalu
muncul dalam kisah-kisah perempuan yang ada pada Kitab Perjanjian Lama dalam
beragam bentuk. Buku ini agaknya memiliki kesan feminisme yang cukup kuat.
Buku keempat, yang sesungguhnya tanpa perlu saya sebutkan pun pasti
akan terus dicetak ulang, adalah Bhagavad Gita. Bhagavad Gita sendiri
merupakan bahasa Sansekerta yang dalam bahasa Indonesia berarti “Nyanyian
Tuhan”. Buku ini berisi kumpulan syair-syair yang diwejangkan oleh Sri Krisna
kepada Arjuna ketika Arjuna bersedih dan enggan memenuhi kewajibannya sebagai
seorang Kesatria dalam perang Bharatayudha. Dalam wejangannya, Sri Krisna
menjelaskan bahwa dalam keyakinan Sanatana Dharma, Tuhan yang disebut sebagai
Brahman yang tunggal yang sesungguhnya adalah Tuhan yang tidak bisa dijangkau
dan tidak bisa dipahami, sesuatu yang tak terkondisi dan melipuiti ada
sekaligus tidak ada. Brahman kemudian beremanasi menjadi alam semesta sekaligus
isinya serta para Dewa, sehingga setiap yang hidup di dunia ini sesungguhnya
merupakan Atman (percikan dari Brahman). Perbedaan Sri Krisna dan Arjuna (dan
manusia lainnya) adalah Sri Krisna menyadari ada bahwa Brahman ada di dalamnya
dan dia ada di dalam Brahman, sedangkan Arjuna serta manusia lainnya tidak
menyadari hal ini. Sri Krisna juga menjelaskan bahwa sesungguhnya setiap
manusia memiliki caranya sendiri-sendiri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
dan akhirnya berpulang kembali pada Tuhan, dan karena caranya ini berbeda-beda
maka seseorang hendaklah memenuhi kewajibannya masing-masing, termasuk menjadi
Kesatria yang harus melawan kebatilan.
Kelima dan keenam adalah dua buku yang ditulis oleh penulis Indonesia
favorit saya, yaitu Ziarah dan Kering yang ditulis oleh Iwan
Simatupang. Ziarah ditulis dengan banyak nilai-nilai filsafat eksistensialisme
dengan stilistika yang cukup kompleks, tapi dapat menggali sangat dalam dan
terang tentang sanubari seorang manusia, tentang kemanusiaan itu sendiri.
Melalui Ziarah, pembaca bisa melihat bahwa kebetulan-kebetulan dalam hidup yang
kita alami bisa jadi merupakan kumpulan kejadian yang mengarah kepada satu
keputusan dan jalan hidup, dan akhirnya memaknai pekuburan sebagai panggung
hidup yang sesungguhnya. Kering adalah novel pertama dan sampai saat ini masih
satu-satunya yang pernah say abaca yang dituliskan dengan gaya bahasa
hiperbola. Membaca Kering seolah kita tidak bisa memutuskan apakah ceritanya
adalah realisme atau surealisme. Bisa jadi semua gambaran hiperbolis dalam
Kering adalah bagaimana sesungguhnya benak pikiran kita bertindak dalam alamnya
sendiri, yang hanya terwujud sebagian ke dalam realita kita atas nama batasan
rasionalitas.
Buku kedelapan adalah sastra klasik dari Jepang yang berjudul Yume
Juuya (Ten Nights of Dreams)
karya Natsume Soseki. Ada sepuluh kisah pendek dalam Yume
Juuya, yang masing-masing menceritakan sebuah mimpi yang dialami oleh si
pencerita dalam buku tersebut. Membaca buku ini dapat mengahadirkan nuansa
misterius, horor, kebingungan, kehilangan, harapan, dan juga rasa penasaran.
Perasaan kita benar-benar dibuat melompat-lompat dan campur aduk oleh Yume
Juuya, seolah kita benar-benar baru sedang bermimpi atau baru saja terbangun
dari mimpi dan pengalaman di alam impian itu masih sangat membekas pada jejak
pikiran kita. Buku ini juga sudah pernah dibuat filmnya.
Buku kesembilan menurut saya adalah kumpulan naskah drama dari Tragedi
Yunani. Setidaknya, ada dua kisah dalam kumpulan lakon Tragedi Yunani yang
bagi saya sangat berkesan, yaitu kisah tentang Oedipus Rex dan kisah
tentang Medea. Oedipus Rex bercerita tentang Raja Oedipus yang ketika
lahir telah diramalkan untuk membunuh ayah kandungnya sendiri dan akhirnya
menikahi ibunya. Ayahnya yang merupakan raja akhirnya membuangnya agar tragedi
tersebut tidak terjadi. Namun, Oedipus akhirnya tumbuh besar sebagai anak
angkat dari kerajaan lain dan berakhir membunuh ayah kandungnya dan menikahi
ibu kandungnya sendiri tanpa dia ketahui. Di akhir kisah, Oedipus akhirnya
mengetahui perbuatannya tersebut dan akhirnya meninggalkan kerajaannya dan
mengambil kedua matanya karena menyesal. Medea berkisah tentang seorang istri
yang telah mengkhianati ayah dan kakak kandungnya demi cintanya kepada sang
suami, tapi akhirnya sang suami menikahi seorang putri raja. Medea akhirnya
membalas dendam dengan membunuh sang putri serta sang raja tersebut, lalu
membunuh kedua anak kandungnya sendiri sebagai pembalasan dendam kepada
suaminya. Pada akhirnya baik suaminya maupun Medea adalah yang paling menderita
atas tragedi tersebut.
Terakhir, kesepuluh, buku yang menurut saya layak untuk dicetak ulang
adalah Inteligensi Embun Pagi (IEP) karya Dewi Lestari. Ada alasan
sentimental bagi saya mengapa memilih buku ini sebagai salah satu dari sepuluh
buku yang layak berusia panjang. Menurut saya buku ini bukan sekadar novel,
melainkan bentuk implisit dari rangkuman pengalaman spiritual si penulis.
Melalui buku terakhir dari seri Supernova ini, Dewi Lestari berhasil menuturkan
bahwa manusia adalah “agen dan tubuh-tubuh perantara” dari suatu “Hiperentitas”
yang tunggal ke dunia tiga dimensi kita ini, yang pada suatu ketika umat
manusia terputus koneksinya sehingga manusia lupa asal-usulnya lalu menciptakn
ilusi keakuan. Hiperentitas ini bisa diterjemahkan ke dalam beragam hal; bisa
jadi itu Tuhan dalam konsep agama wahyu, atau mungkin Brahman sesuai agama
Hindu, atau mungkin alien, atau suatu kesadaran kosmik.
Melalui IEP juga dijelaskan bahwa peradaban Sumeria adalah suatu
peradaban manusia yang mungkin paling kuno dan “Tuhan Sumeria atau Alien”
ketika itu mengendalikan manusia agar terus terjebak dalam lingkaran Samsara
(lingkaran tumimbal lahir) dan tidak bisa terbebas mencapai kesadaran kosmik
hingga saat ini. Sebagai tambahan, dalam kisah tersebut ada dua tokoh yang
merupakan metafora dari awal dan akhir, yaitu Alfa dan Ishtar (yang juga
bernama lain Omega). Kedua tokoh ini sejak awal mula sudah saling berkejaran
memutari Samsara agar mereka bisa bersama. Di bagian awal buku ini dibuka
dengan puisi yang mengisahkan tentang Alfa dan Omega yang berpisah dan ingin
menyatu, seperti kerinduan tentang manusia kepada Tuhannya, atau tentang
dualitas antara Samsara dan Nirwana yang untuk mencapai Nirwana (Moksa) sendiri
maka seseorang harus meniadakan dualitas dalam dirinya.
Sebenarnya masih ada buku-buku lain yang menurut saya sama-sama layak
dicetak ulang hingga bergenerasi-generasi kemudian. Namun, pada tulisan ini
saya hanya berkesempatan menyebutkan sepuluh. Mungkin di lain kesempatan saya
bisa menyebutkan buku-buku lainnya yang sejauh ini sangat berpengaruh besar
bagi hidup saya. ||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar