Manga-Manga Kenangan yang Seharusnya Terus Dicetak Ulang, oleh Yudhi Herwibowo
Karena Buletin Sastra Pawon yang mengadakannya, saya
yakin banyak kawan-kawan yang akan menulis tentang buku-buku sastra. Saya
awalnya juga ingin menulis itu. Tapi setelah saya pikir-pikir, saya membatalkan
niatan itu.
Awalnya tentu yang ingin saya
tulis adalah komik-komik secara umum. Tapi bicara komik secara umum, selalu
saja tak bisa melepaskan diri dari komik-komik legendaris seperti Tintin,
Asterix, atau juga Lucky Luke. Bagaimana pun komik-komik itu sulit sekali untuk
ditepikan. Jadi saya merasa tulisan saya pastilah tak akan terlalu menarik.
Apalagi banyak komik yang merupakan serial, komik-komik satu seri –yang kini
istilahnya oneshot- dapat dikatakan cukup jarang. Saya jadi takut ulasan
saya akan melebar pada novel grafis yang banyak dalam kondisi 1 komik tamat.
Jadi setelah saya pikir-pikir saya kerucutkan pada manga. Ini mungkin lebih
menarik. Apalagi daftar manga yang saya baca dulu cukup bejibun. Saya pernah
ada di era: membaca semua komik (cowo) yang dirilis. Itu saat di masa awal saya
membuat persewaaan buku hampir 11 tahun yang lalu.
Tentu, manga
pertama yang harus ditulis di sini tanpa keraguan adalah Candy-candy.
Manga yang digarap ceritanya oleh Kyoko Mizuki
dan ilustrasinya oleh Yumiko Igarashi ini merupakan manga yang menjadi
salah satu tonggak mulainya eksplorasi manga di seluruh dunia. Kisahnya sendiri
sebenarnya cukup sederhana, tentang perjalanan hidup dan kisah cinta dari
Candy. Entah kisah cinta pertamanya dengan laki-laki bernama Anthony Brownatau, atau kisah cintanya yang tragis dengan Terrence “Terry” Grandchester.
Saya tentu bukan pembaca Candy-candy
yang teratur. Tapi, saya mengalami masa saat mbak dan adik saya begitu
tergila-gila pada manga ini. Adik saya bahkan rela menyisihkan uangnya untuk
membeli seri lanjutannya senomor demi senomor. Yang lebih ganas lagi adalah
saat videonya dirilis, mereka berebutan meminjamnya dari sebuah rental video.
Saya ingat, lagu soundtrack saat Candy-candy berpisah dari kekasihnya
direkam melalui tape recorder untuk kembali disetel berulang-ulang.
Sungguh, lagu sendu itu sampai sekarang sepertinya masih mengambang di kepala
saya.
Manga yang saya pikir begitu
merasuk di kepala dan hati saya karena saya baca berulang kali adalah Pedang
Tujuh Bintang. Manga ini merupakan lanjutan dari Legend of The Wind
karangan Akira Yamamoto. Tiga tokoh dalam komik ini Hikozza, Hiryuu, dan
Kogenta yang tergabung dalam Tiga Sekawan Angin Puyuh, punya jalan
cerita yang seru. Kadang komedi diselipkan di antara strategi-strategi perang
yang ciamik. Belum lagi kisah cinta Hikozza yang nampak tolol namun tetap
terasa manis. Herannya komik ini tak cukup meledak di sini. Padahal dari segi
cerita, gambar, alur, dll, semuanya mengesankan.
Saya ingat dulu, saat membaca Pedang
Tujuh Bintang, saya belum membaca Legend of the Wind. Maka itulah
saya cari manga itu di taman bacaan yang sudah nampak paling lawas. Saya
bersama 2 kawan saya membacanya dalam kamar saya yang sempit. Rasanya seru
sekali saat itu. Layaknya anak kecil, kami kemudian memilih-milih karakter yang
cocok dengan sifat kami. Dua kawan saya menunjuk saya seperti hikozza, walau
sebenarnya jujur saja saya merasa seperti Hiryuu... Tapi entah kenapa, nama
itulah yang terpikir pertama kali saat saya untuk membuat akun email: hikozza.
Oya, selain 2 seri manga yang
masing-masing berseri 12 nomor itu, ada juga oneshot-nya yang rilis tak
lama kemudian: Wind War dan Wind Story. Semuanya mengesankan.
Sungguh menjura saya untuk Sensei Akira Yamamoto.
Manga lainnya yang tak kalah
mengesankan adalah Desperado karangan Daiji Matsumoto.
Manga ini hanya berseri 4 nomor. Kisahnya tentang seorang anak muda bernama
Shina yang terobsesi menjadi pemain gitar yang hebat. Walau hanya 4 seri,
cerita personilnya dikulik cukup dalam. Dulu saya tak menyukai endingnya, namun
setelah saya pikir dalam-dalam, saya rasa itu adalah ending terbaik yang pas
untuk manga itu. Asal tahu saja, sampai bertahun-tahun saya selalu
merekomendasikan manga itu untuk dibaca kawan-kawan saya.
Manga berikutnya adalah Monster
karangan Urasawa Naoki. Jatuh cinta saya pada manga ini. Sebagian kawan
mengatakan saya harus membaca Mr
Keaton terlebih dahulu. Tapi saya belum menemukan manga itu. Saya
baru bisa membacanya beberapa tahun setelahnya, namun saya merasa Monster
tetaplah karya terbaik Urasawa Naoki. Manga ini menceritakan Dr Kenzo Tenma yang
mengejar seorang psikopat bernama Johan. Setting cerita berganti dengan cepat, berawal
dari Düsseldorf,
Jerman, kemudian ke Berlin, Frankfurt, Wiesbaden, kota-kota di Polandia, Budapest, Republik Ceko dan
tempat-tempat lain. Saya
pikir alur manga Moster benar-benar luar biasa.
Sangat kompleks dan cerdas. Masa kini dan masa lalu berbalik-balik seakan
sengaja memancing emosi.
Satu pertanyaan
penting yang terus saya ingat sampai sekarang adalah: bila kau mengetahui
sosok yang nyaris mati di depanmu ini adalah iblis mengerikan, apakah kau akan
menyelamatkan hidupnya?
Manga berikutnya masih dari
Sensei Urasawa Naoki, 20th Century Boys. Komik berseri 21 nomor ini,
plus 2 seri tambahan 21th Century Boys, merupakan manga yang
terus-terusan membuat rasa penasaran. Walau tak sekuat dan semenegangkan Monster,
tapi Sensei Urasawa Naoki tetap mampu menjalinkan cerita yang unik. Terlebih
kisah masa kanak-kanak yang dieksplorasi. Bagaimana seseorang bisa mengubah
hidup mereka menjadi sesuatu yang berbeda dari masa kanak-kanak mereka. Saya
kemudian mengingat-ngingat: kawan-kawan masa kecil saya. Saya bahkan mencari
apakah ada sosok kawan saya yang terlupakan? Sosok kawan yang bila ada, seperti
tidak ada; dan bila tidak ada, kita juga tak
mencarinya? Aaaah, ini adalah kunci dari manga ini.
Yang berikutnya
adalah manga Harlem Beat karangan Yuriko Nishiyama. Walau tak piawai dalam basket, saya
pikir semua yang membaca manga ini akan mencintai basket. Kisahnya tentang Toru Naruse yang ingin menjadi
pemain basket utama. Bagaimana selama ini hidupnya selalu menjadi cadangan.
Kali inilah ia berusaha sedemikian keras. Walau begitu tentu karakter Sawamura
yang cool dan cerdik adalah karakter yang tak akan dilupakan.
Saya juga suka membaca Salad
Days karangan Shinobu
Inokuma. Frasa Salad
Days ini baru saya tahu kalau merupakan frasa yang kerap dipakai
Shakespeare untuk menggambarkan kehidupan masa muda. Cerita manga ini memang
berkutat di situ saja: kisah cinta, persahabatan, patah hati, kenangan, dsb.
Namun walau ini merupajkan kompilasi manga, semacam kumpulan cerpen, tapi
banyak cerita yang saling terhubung. Manga yang terdiri 17 nomor ini kerap
membuat saya sedih dan gembira. Beberapa cerita masih terasa sangat menggemaskan sampai sekarang.
Manga Samurai (Shura no Toki) juga saya sukai. Ini merupakan manga karya Masatoshi
Kawahara yang masih memiliki hubungan dari kisah Ashura (Shura no Mon) Manga ini bercerita tentang perjalanan
keluarga Mutsu dari generasi ke generasi. Tak heran bila latar belakang manga ini berganti-ganti. Bahkan salah satu tokohnya, Azuma Mutsu, berjuang dan mati di tanah Amerika.
Sosok Masatoshi
Kawahara bisa jadi merupakan
mangaka kedua yang saya sukai setelah Urasawa Naoki. Walau sebenarnya
guratan gambarnya cenderung sederhana. Ciri khas yang dapat dengan mudah
dikenali adalah kerapnya mangaka ini memakai kolom mendatar untuk satu scene
gambarnya.
Tak ketinggalan, Samurai X
tentu harus saya masukkan pula dalam daftar. Berjudul asli Roruoni Kenshin,
manga karangan Nobuhiro Watsuki ini merupakan manga yang cukup membuat gelombang
pembaca manga atau penonton anime di Indonesia bertambah sedemikian pesat. Saya
ingat saat majalah Animonster (yang saat ini masih merupakan majalah
yang sangat tipis dan berbentuk selayaknya tabloid) memuat poster Rurouni
Kenshin sebagai bonusnya, kawan-kawan saya memburunya sampai ke ujung dunia.
Saya sebenarnya ingin tak
memasukkannya dalam daftar, karena saya merasa manga ini tergolong berselera
pasaran dan juga sudah kembali dicetak ulang oleh Elex Media Komputindo,
seperti halnya Kungfu Boy dan Detektif Conan. Tapi setelah saya
pertimbangkan lagi, saya tak bisa mengelaknya. Manga ini memang mengesankan.
Karakter Kenshin Himura aka Hitokiri Battousai dengan luka berbentuk X di
pipinya, mungkin adalah karakter manga terbaik sepanjang masa bagi saya. Kisah
cintanya dengan Kamiya Kouru juga dapat saya golongan sebagai kisah cinta
paling manis yang tak akan pernah dilupa.
Demikian daftar ini saya buat
dengan kesadaran penuh. Saya tahu, ini tentu sangat subyektif. Apalagi daftar
pilihan manga-manga itu, mungkin dapat dikategorikan manga-manga jadul, karena
5 tahun belakangan ini saya memang tak lagi membaca manga, sehingga tak lagi
mengikuti manga-manga keren yang terbit akhir-akhir ini. Tapi setidaknya ini
bisa menjadi gambaran bagi kawan-kawan yang baru menyukai manga, kalau dulu ada
manga-manga yang cukup keren.
Di akhir tulisan ini, saya
sebenarnya ingin sekali memasukkan Detektif Conan dan Detektif
Kindaichi. Tapi entah kenapa, karena manga itu masih terus terbit sampai
sekarang, kegregetan membaca kisahnya seperti berkurang begitu saja. Bagaimana
pun, saya meyakini, sepahit apa pun sebuah manga, tetaplah kewajiban bagi mangaka-nya
untuk mengakhirinya, dan tidak terus menjadikannya sebagai tambang uangnya
sepanjang hayat. ||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar