Buku-Buku Berwaktu, oleh Arif Yudistira
Sebuah buku, menyimpan memori. Ia tak bisa dilepaskan
begitu saja dengan pembacanya: intim. Dalam keintiman itulah kita menemukan
semacam dunia yang tak terbahasakan bersama buku. Maka, tatkala buku itu
hilang, rusak, sobek, ada semacam goresan yang tak tertahankan dalam lubuk jiwa
kita. Orang tentu memiliki kenangan yang dekat, bahkan sampai terngiang jauh
saat sudah membaca dan meletakkan buku. Buku-buku itu sekali lagi, bukan
sekadar deretan kata-kata yang kemudian diingat-ingat dengan penuh hayat. Jauh
dari itu, ia seperti menubuh, mengkristal di pikiran kita, karena itulah, jadi
tak terlupakan.
Nidah Kirani, itulah nama tokoh
dalam novel ini. Novel itu kuingat betul karena pernah membacanya sampai dua
kali. Jarang sekali saya membaca cerita sampai dua kali. Konon buku ini
dibubuhi dengan cover bertuliskan “diangkat dari kisah nyata”.
Penulisnya berasal dari Yogyakarta. Dulu, aku mengenalinya lewat buku kecil
berisi kumpulan kata-kata mutiara. Kini, ia menerbitkan kata-kata mutiara itu menjadi
buku besar semacam pembacaan karya-karya Pram yang diberi judul Ideologi
Saya Adalah Pramis. Inilah buku penulis novel itu, Muhidin M Dahlan. Buku
berjudul Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur membuat saya terkesan bukan
hanya karena pencarian jati diri si tokoh dalam novel itu. Tetapi, cara
mengungkapkan yang begitu mengalir. Seolah penulis bukan orang kedua atau
ketiga, tetapi orang pertama.
Saya terkesan lebih jauh saat
mengisahkan Parangkusumo. Sampai saat ini saya belum tahu posisi mana
sebenarnya Parangkusumo itu,meski sudah dua kali ke Parangtritis. Barangkali
itulah kekuatan buku, bisa mengajak kita tertarik, penasaran dan seolah-olah
ingin menziarahi tempat-tempat yang dikisahkan di dalamnya. Maklum, waktu itu
masih menjadi mahasiwa yang sedang dalam pencarian jati diri. Maka membaca buku
ini seperti mengoyak-oyak batin kita untuk diajak merasakan perasaan serta
emosionalitas si tokoh lebih dalam.
Meski begitu, aku tak menjadi
bagian pembaca yang heroik dan berkoar-koar kepada orang-orang. Satu dua orang
saja aku minta untuk membaca buku itu. Aku rela meminjaminya, bahkan. Hanya
untuk sekadar ingin membuat si pembaca terbawa tidak dengan arus yang dibawa si
pencerita. Ternyata, kesan yang sama pun dirasakan oleh pembaca yang lainnya.
Buku ini menjadi buku yang
layak untuk tak lekas sirna bukan hanya karena kehebohan yang dia ciptakan.
Tetapi karena ia mengangkat yang kotor, sisi kotor diri kita. Sisi pencarian,
sisi yang tak terlihat, tak nampak. Ada yang beranggapan yang kotor biarlah
disimpan dalam-dalam. Yang kotor biarlah tertutup. Tapi penulis seperti membuka
ruang baru, bahwa yang kotor itu adalah bagian dari kita, yang kurang itu
adalah manusiawi. Dosa adalah bagian dari kemanusiaan kita, dan kita bukan
malaikat. Setidaknya, seperti itulah cara penulis membuat pembaca terkesan
melalui kisah yang dia tuturkan.
Mari beranjak pada buku
berikutnya. Buku ini sudah tak aku miliki, tapi kuberikan pada sepupuku. Kini,
sepupuku itu seperti memiliki nasib yang boleh dibilang ; lakon urip. Sudah
takdir hidup begitu orang mengartikan. Nasibnya boleh dibilang kurang mujur.
Ini seperti tokoh-tokoh di novel berjudul Garis Perempuan (Sanie B
Kuncoro). Dulu, kupikir aku memberikan novel itu agar ia tak memiliki
nasib sama seperti tokoh-tokoh yang ada di novel itu. Tapi apa boleh buat, saya
seperti tak berdaya melihat nasib kakak yang ternyata masih kurang mujur.
Barangkali roda hidup masih berputar, itulah bedanya nasib si tokoh dalam novel
dengan tokoh asli. Tokoh asli masih bisa merubah nasibnya, sedangkan tokoh
dalam novel seperti sudah mati dalam tangan empunya cerita. Saya jadi ingat
tatkala pengarangnya, Mbak Sanie B Kuncoro, mengatakan sendiri padaku bahwa ada
kekuatan pengarang yang tak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh dirinya ketika ia
membuat tokoh, watak, sampai dengan nasib si tokoh. Pada sisi ini, pengarang
boleh dibilang mendapat keajaiban yang membuat tokoh-tokohnya demikian hidup.
Itu pula yang saya rasakan saat
membaca Garis Perempuan. Latar belakang empat perempuan berbeda, dengan
nasib yang sama-sama tak mujur. Mereka mesti menjalani uji kehidupan. Ujian
mereka tak hanya harta benda, tapi keperawanan mereka sendiri. Penulis justru
ingin menggugat apakah seolah nasib perempuan yang sudah tak perawan menjadi
tak berharga, nista, hina? Inilah suara dan gugatan pengarang menyelami
kehidupan perempuan-perempuan khas desa dengan latar belakang keluarga yang
berbeda-beda. Cara bertutur Sanie di ceritanya membuat pembaca hanyut. Jarang
ada penulis yang sampai pada titik ini. Ketika pembaca sudah “hanyut”, saat
itulah barangkali novel bisa menjadi memiliki daya pikat tak henti. Membaca
novel ini seperti tak bosan dari awal buku sampai dengan akhir buku. Novel
terbitan Bentang ini mesti di cetak ulang. Bukan hanya karena kekuatan bahasa
penulisnya, tetapi juga kekuatan ceritanya.
Agar orang (lelaki) tak terus
menganggap rendah perempuan meski ia sudah tak perawan. Ada hidup yang mesti
dihadapi oleh mereka. Ada perlawanan terhadap diri yang tak mudah sehingga
mereka bisa mampu memiliki keyakinan untuk bangkit dan hidup kembali seperti
biasa. Dan, pembaca yang telah membaca novel ini tentu akan tersentuh untuk tak
menganggap perempuan seperti ini sebagai sampah, atau yang lainnya. Padahal
mereka memiliki hak untuk berubah, bangkit dan lepas dari keterpurukan. Novel
inilah yang saya kira patut untuk terus ada, agar kelak perempuan indonesia tak
selalu diremehkan dan dianggap rendah.
Ingatanku melayang saat
mengikuti lomba resensi buku di UMS. Waktu itu, Macaisme sedang terbit.
Lagi anget, begitulah orang bilang. Penulisnya adalah seorang esais dari Solo,
Bandung Mawardi. Kami beserta teman-teman lainnya waktu itu sedang
gencar-gencarnya belajar menulis. Nah, buku Macaisme kubeli dan
kuhabiskan di bawah sinar lampu terang di halaman teras Gedung Olahraga UMS.
Waktu itu, aku memang lagi senang-senangnya membaca. Buku itu kuhabiskan semalam suntuk. Garis-garis dan coretan pun
memenuhi halaman-halaman buku itu. Buku ini memikat semula karena aku ingin
belajar resensi. Dan benar pula, resensi dari buku resensi itu terpilih menjadi
juara di lomba yang diadakan perpustakaan UMS. Semenjak itu, barangkali aku
jadi keranjingan meresensi buku.
Pernah, saya membeli di sebuah
iklan di media sosial buku kumpulan esai Sitok Srengenge. Jauh sebelum penyair
tersangkut kasus yang menimpanya. Buku berjudul Cinta di Negeri Seribu Satu
Tiran Kecil. Bukan hanya judulnya yang puitis. Tetapi hampir-hampir di buku
ini, kita serasa bukan disuguhi esai. Meski buku ini merupakan kumpulan esai,
buku ini lebih mirip cerita. Goenawan Mohamad menyebut Sitok sadar akan
pentingnya seni tulis. Menulis adalah kegiatan yang ibarat mengukir kayu,
seperti seorang pemahat menyiapkan Meubel dari Jepara. Tiap kata dijadikannya
hidup, mengorak, meliuk, seperti tarian seorang koreografer. Saya terkesan saat
membaca esai di buku ini yang berjudul Pensil Coelho. Akhirnya dari buku
ini, saya tak hanya belajar tentang menulis esai yang baik. Darinya saya juga
belajar mengubah referensi (buku) menjadi semacam cerita, sehingga pembaca esai
kita tak merasa digurui. Justru sepert didongengi. Inilah yang barangkali susah
bagi penulis esai. Ada harapan buku ini kembali diterbitkan, bukan untuk
mengenang si penulis yang sedang dalam masalah hukum tapi mengenang cara
penulis mengurusi persoalan dan aneka peristiwa di kehidupan bangsa kita
melalui esai-esainya. Nah, kita bisa belajar darinya dalam hal ini, sekali lagi
bukan dalam hal lain.
Elizabeth D Inandiak membawaku untuk mencatatkan
kedua bukunya yang layak untuk diterbitkan terus. Buku pertama adalah Cethini
Kekasih Yang Tersembunyi (2015) serta buku keduanya yang diberi judul
Babad Ngalor-Ngidul (2016). Centhini kubaca lama. Ia tak bisa habis sekali
duduk. Begitu pula Babad Ngalor-Ngidul. Ada perasan-perasaan yang
memaksa berhenti pada satu bab, sebelum melaju ke bab yang lain. Bukan hanya
karena Centhini adalah tembang, tetapi ia mirip sebuah lakon
berkesinambungan. Kita seperti membaca drama, babak per babak. Centhini
layak diterbitkan terus bukan hanya karena keindahan bahasa sang penulis. Ada
jiwa yang hendak disuarakan melalui buku Centhini. Terlebih Inandiak
adalah penerjemahnya yang menguasai bahasa jawa dalam Centhini.
Sedangkan buku kedua layak
terus dicetak bukan hanya karena mengkritisi dengan cara yang halus bagaimana
potret bencana telah menghabisi rasa kamanungsan kita. Ada yang tergiris,
tergerus, tak hanya oleh gempa dan letusan Merapi tetapi juga bencana lainnya
di Indonesia, telah menghilangkan nurani, telah melahap dan meluluhlantakkan
jiwa dan martabat kita, inilah yang hendak dituturkan oleh Gunung Merapi
melalui Babad Ngalor-Ngidul yang ditulis Inandiak.
Di antara buku yang lain yang
masih memiliki ingatan kuat adalah buku Yu Hua berjudul To Live (Hidup).
Buku ini tak sekadar mengajari cara menampik hidup yang keras, tapi juga
menghadapinya dengan penuh ketegaran serta kegagahan. Ujian betapapun berat, ia
harus dikalahkan oleh kita. Tokoh di novel ini meski didera berbagai ujian
seperti kematian istrinya, kematian anaknya, sampai kematian ibunya, ia tak
merasakan ada yang terus ditangisi. Masa lalunya yang kelam dituntut jadi
pelajaran berharga buatnya untuk terus berguna, menjadi manusia berguna. Selain
membuatku mencucurkan air mata, buku ini mampu membuatku semakin mengerti bahwa
manusia tak selalu bisa dengan mudah untuk disederhanakan, terlebih hidup.
Buku Ora Weruh (2015)
menjadi buku yang berkesan karena memori berbuku para penulis Solo. Ada ruang
yang tak bisa dihilangkan, ada jejak yang tak bisa dihapus dari cara kita
belajar, cara kita bertemu di jalan kata. Itu pula yang saya rasakan saat
menuliskan esai di buku berjudul Aku dan Buku, terbit oleh Pawon. Selain
memuat memori tentang buku dan pembacanya, buku ini membuatku merasa senang
diterbitkan bersama penulis lainnya.
Esai ini kututup dengan novela Rumah
Kertas karya Carlos Maria Dominguez. Ada nuansa yang absurd
bagaimana orang-orang memperlakukan buku dan tidak menjadi apa-apa setelah
mereka menekuni buku. Di sanalah saya merasa ada yang magis, bukanlah sesuatu
yang material yang dikejar Carlos Brauer si penggila buku di novela ini. Ia
justru mengejar yang non material, entah perasaan apa itu, yang menyiratkan
kebahagiaan bersama buku, ia kemudian menjadi tak khawatir sedikit pun tatkala
diterjang badai hidup sebesar apapun itu. ||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar