Para Sepuluh Terkenang, oleh Ita Siregar



Seni dalam arti kebebasan atau sebuah keterampilan memiliki peruntukan yang unik. Secara alami, seni membentuk kubu-kubu dengan karakteristik: seni untuk seni atau seni atas nama panggilan atau sebuah tanggung jawab. Mungkin dalam hal ini propaganda atau kritik atau upaya pendeskripsian keadaan apa adanya, seraya mempersilakan pembaca menyimpulkan sendiri.
Apapun latarnya, dalam hal ini sebagai pengarang, saya tidak menganut satu kubu secara fanatik. Namun, bergerak atas kesadaran nurani dan keyakinan serta kegembiraan dalam mengarang atau menikmati sebuah karya. Meski tak dapat dipungkiri, saya jarang menulis hanya demi kegenitan dalam rangka memuaskan diri sendiri. Egoisme untuk mendapat pengakuan sosial atau berkutat pada ketertarikan yang bersifat individual, kurang memberi manfaat bagi hajat hidup dan kehidupan. Namun, saya juga tidak ingin menilai karya-karya tersebut. Saya percaya setiap karya ada karena keberadaannya diperlukan oleh alam.          
Hal di atas perlu saya tulis karena sebuah sebab. Buletin Sastra Pawon sedang mengumumkan sebuah sayembara menarik, mempertanyakan kepada siapa pun, tentang kemungkinan 10 buku yang seharusnya berusia lebih panjang. Demi membacanya, saat itu di dalam benak saya, segera bermunculan judul-judul buku dan nama pengarang, yang dibarengi sebuah ingatan pada pengalaman saat membacanya, bukan menilai dengan teori-teori sastra. Saya tak tahu soal teori, apakah karya itu berada pada kubu seni untuk seni atau kubu yang mengedepankan tanggung jawab dalam berkesenian, dalam hal ini sastra. Dengan kata lain, buku-buku itu muncul secara acak di benak saya, sebagai pengarang dan pembaca sekaligus.
Lebih dari 10 buku sebenarnya. Artinya, saya tidak perlu terlalu berusaha mengingat dengan keras karena kelihatannya mereka sudah ngejogrok di dalam sana. Buku-buku tersayang dalam bahasa Indonesia bukan terjemahan, yang menampilkan susunan kata dan bahasa dan segala hasil bentukan yang memampukan buku tersebut, bermakna bagi saya.  
Seorang pengarang akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengarang lain. Sedikit atau banyak, langsung atau tidak langsung. Mungkin kekaguman itu tak diungkap lewat tulisan. Namun, minimal ketika membaca karya sesama kolega  sebagai pengarang, mulut saya berdecak atas kemampuan dan keterampilan si pengarang. Entah dalam mengelola kata, menyusun kalimat yang luar biasa menarik, yang kadang-kadang dengan sengaja menabrak kaidah kata dan bahasa: berhasil membuahkan kesegaran dan seolah-olah memiliki kebaruan. Itulah estetika yang melekat pada seorang insan kreatif, yang merupakan anugerah cuma-cuma oleh Sang Maha Kreatif, Tuhan Semesta Alam.   

Cala Ibi (Nukila Amal)
Selesai membaca novel ini, saya tak pernah melupakannya. Saat membaca, saya merasa darah mengalir lebih cepat, sesuatu berlompatan di dalam diri saya karena girang menemukan kalimat-kalimat yang tak mungkin saya mampu menulisnya. Bahkan terheran- heran, bagaimana pengarang menggambarkan sesuatu yang tidak berarti dan kosong menjadi seolah-olah penting dituliskan. Beberapa kali saya berhenti membaca untuk mengulang keindahan kalimat, kadang- kadang dengan rasa khawatir berlebihan, bahwa buku yang saya baca akan berakhir. Saya bersyukur karena Tuhan telah mencipta seorang Nukila Amal, yang entah bagaimana, menyusun kalimat-kalimat itu. Kala tak sengaja bertemu si pengarang di Ubud, dia menulis “Selamat membaca dan pening”, di bukunya. Memang, kalau saya ditanya buku itu tentang apa, saya harus jujur, saya tidak tahu.  

Dadaisme (Dewi Sartika)
Ingatan saya pada buku ini adalah perasaan nelangsa dan sedih. Menyesali bahwa kehidupan sering tidak berbanding lurus dengan harapan dan keinginan. Tik-tok suara jam dinding tidak berhenti meski kita sedang menangisi kehidupan. Pertama kali saya menyadari teknik dalam mengemas karya, bahwa tidak semua fakta harus dimunculkan ke permukaan, diceritakan ala nenek cerewet yang terlalu khawatir pada kemampuan cucu. Ada bagian-bagian yang disembunyikan, ada bagian-bagian yang dilepas begitu saja agar pembaca turut menilai, memberi pendapat, dan sebuah cerita tidak harus berakhir bahagia. 

Lelaki Harimau (Eka Kurniawan)
Ini adalah karangan yang alurnya sungguh rapi dan bulat. Sepertinya saya mampu membuat sebuah diagram atau bagan yang menggambarkan sebab-akibat masing-masing tokoh yang bergerak di dalam cerita, meski itu seperti sebuah kebetulan-kebetulan. Kalau saya seorang mahasiswa sastra, maka saya akan dengan senang hati membahasnya dalam skripsi, agar saya dapat lulus dengan nilai memuaskan.

Glonggong (Junaedi Setiyono)
Saya salut kepada pengarang novel ini, yang tangannya menguasai medan cerita dan memiliki kekuatan imaginasi yang berani namun santun, untuk merangkai cerita berlatar historis ini, menarik. Pengarang mencipta tokoh-tokoh fiksi berdampingan dalam tokoh nyata, menyatu dalam cerita, menjadi sebuah kebenaran dan cakrawala baru dalam benak pembaca.   

Para Priyayi (Umar Kayam)
Buku ini membuat saya harus mengakui bahwa pada satu masa saya pernah merasa sentimen diam-diam kepada suku Jawa karena merasa mereka terlalu mendominasi sisi mana pun dalam kehidupan kita berbangsa. Pengarang novel ini menggambarkan dengan baik sebuah keadaan, sebuah perjuangan hidup manusia Jawa, yang secara tak sadar memberi saya perspektif baru dalam memandang suku Jawa. Bahwa manusia dari etnis mana pun memiliki nilai kemanusiaan sendiri, yang khas dan sebaiknya diterima begitu saja, dengan ikhlas. Dalam hal ini, sastra telah menunaikan tugasnya untuk menjelaskan secara gamblang sebuah kenyataan pada sendi-sendi kehidupan.

Peri Kecil di Sungai Nipah (Dyah Merta)
Saya memuji buku ini, berharap bahwa satu kali karya ini akan dibuatkan film karena sifatnya yang filmis. Pengarang novel telaten dalam menampilkan keadaan tempat dan situasi hati, dan mampu bergerak lincah meski dalam alur yang padat dan kaya informasi. Pengarang menjelaskan karakter tokoh-tokohnya secara konsisten sehingga saya merasa dekat dengan masing-masing tokoh, memahami gejolak, menyesali keputusan-keputusan yang diambil si tokoh, turut berduka atas kacaunya keadaan. Saya merasa, tema-tema lokal yang otentik seperti novel ini bertaburan di seluruh negeri, bila pengarang rajin mencari, mencomotnya menjadi sebuah karya, dengan rasa Indonesia, kepada publik internasional. Pengarang dengan keterampilan melakukan maju-mundur dalam cerita, memberi kejutan, tetapi bagi saya, tidak membingungkan. Saya seperti diajak menyusun puzzle secara tak biasa, tetapi ujungnya sama: keindahan.
 
Perempuan yang Dihapus Namanya (Avianti Armand)
Saya menyukai gagasan kreatif yang diilhami kitab suci. Buku puisi ini salah satunya. Berisi kisah lima perempuan dalam kitab perjanjian lama yang menggelitik penyairnya mencipta larik-larik puisi yang kuat, kemudian menularkan rasa penasaran dalam jiwa saya, pembacanya, membuat saya tergugah untuk mengurai rasa itu dalam bentuk tulisan kritik. Pada waktu yang bertepatan diselenggarakannya sayembara kritik oleh Dewan Kesenian Jakarta. Senangnya, saya menjadi salah satu pemenang unggulan karena buku ini.

Rahasia Medee (ES Ito)
Peluncuran buku ini ramai dilakukan dalam diskusi-diskusi yang menghadirkan selebritas dan eksekutif dan pemikir muda. Saya berpikir buku ini akan berusia panjang. Minimal di kalangan anak muda. Karena, gaya petualangan Indiana Jones buku ini. Cara menulis yang bagi saya memerlukan imaginasi dan logika dan plot yang tak berhenti memberi kejutan, yang mungkin hanya sedikit pengarang memilikinya. 

Ritual Gunung Kemukus (F Rahardi)
Seorang antropolog, sahabat saya, mengatakan bahwa penulis yang baik sebaiknya seorang antropolog. Menurutnya, antropolog adalah ibu dari ilmu sosial yang mengajarkan anak didiknya untuk memiliki kebiasaan mencatat perilaku manusia dan keadaan sekitar. Sebagaimana adanya, tidak melebih-lebihkan atau mengarang. Cara demikian akan memberi kebeningan dalam makna, kejujuran serta keterbukaan, bukan isapan jempol belaka demi kemasyuran. Dan, pengarang buku ini, menurut saya, telah memenuhi kriteria antropologi ala sahabat saya itu.
Buku yang bergaya catatan antropologis ini berhasil menohok saya, membuat saya syok dan merasa tertinggal, bahwa praktik ritual di Gunung Kemukus ini masih dihayati oleh para penghayatnya, sampai sekarang. Isu yang diangkat pengarang hanyalah satu dari sekian banyak fakta masyarakat kita yang terdiri dari beragam agama lokal dan keyakinan, tradisi dan kebiasaan.
Tema yang diangkat Ritual Gunung Kemukus ini otentik, milik kita. Artinya, tema-tema ini, meski membuat kita merasa inferior membacanya, harus menjadi semacam pembelajaran bagi kita agar kita bergerak dewasa dan tidak lagi berkutat pada ritual semata namun pada makna dan kesadaran.

Acek Botak (Idris Pasaribu)
Di bukunya yang menarik History of Sumatra (Sejarah Sumatra), William Marsden, kelahiran Irlandia, mencatat secara akurat tentang kekayaan alam, letak geografis, hukum adat dan tradisi, ciri-ciri dan karakter penduduk Sumatra. Ia berada di Sumatra sekitar tahun 1771-1779 menerbitkan bukunya tahun 1783, mencatat kemenyan, kopra, kapur barus dan lada sebagai hasil utama tanah. Buku ini menjadi pedoman penting untuk perjalanan dan niaga.
Tahun 1641 kapal Belanda pertama mendarat di Deli untuk mencari budak. Tahun 1863, atas undangan Sultan Deli, Jacob Nienhuys datang ke Deli sambil membawa orang dari perkebunan tembakau Jawa Timur. Sultan Deli memberi tanah 4000 bau (1 bau=7,096m2) untuk membuka perkebunan tembakau dan konsesi 20 tahun. Kuli-kuli dari dari Cina, Jawa (Semarang dan Surabaya), India (Singapura dan India Selatan). Perkebunan maju pesat dan tembakau Deli dikenal berkualitas sangat tinggi di dunia dan sangat menguntungkan di Eropa. Tanah Sumatra disebut tanah emas. Namun, kondisi kuli-kuli sangat memprihatinkan. Upah rendah dan fasilitas kesehatan buruk, membuat para kuli tergantung terus menerus pada kontrak.
Referensi di atas menjadi relevan ketika membaca novel yang berlatar antara 1937-1970 ini. Berkisah satu keluarga Tionghoa yang mendarat di Labuhan Deli, Sumatra Utara. Bersama ratusan keluarga lain, mereka melarikan diri dari daratan Tiongkok dan mengadu nasib di tanah harapan ini.
Dengan bahasa lugas dan pengetahuan dari riset yang tak main-main tentang perkebunan dan kondisi kuli-kuli dan catatan historis Sumatra, novel sejarah ini seharusnya ada di setiap perpustakaan sekolah, untuk turut dinikmati anak-anak muda, sebagai media pembelajaran dan memancing mereka berimajinasi.

Demikianlah, 10 buku ini saya tawarkan, yang tidak lagi banyak dibicarakan di dunia sastra. Kecuali, informasi bahwa buku puisi Perempuan yang Dihapus Namanya akan diterbitkan ulang oleh Gramedia dan novel Lelaki Harimau telah dialihbahasakan, sehingga dunia di luar kita pun, dapat membacanya.  ||

Share:

0 komentar