Ke Mana Pembeli Buku Sastra Kita?, oleh Yudhi Herwibowo
Waktu masih menulis buku komedi, seorang kawan penulis
buku serius yang baru saya curhati tentang buku komedi saya yang kembali
dicetak ulang, bertanya dengan setengah menerawang: apa beda pembaca sastra dan
pembaca alay? Sebelum saya menjawab, ia sudah menjawab dengan suara yang pahit:
pembaca alay membeli buku!
Walau terkesan bercanda, tapi
bila dipikir dalam-dalam, jawaban pertanyaan itu merupakan sindiran yang sangat
telak. Walau saya sedikit tak bersepakat tentang sebutannya tentang pembaca
alay, namun saya tahu maksudnya lebih cenderung pada pembaca buku-buku ringan
yang biasa dipilih anak-anak baru gede. Bagaimana pun, pembaca ini, yang sering
dicemooh sebagai alay, lebih ringan hati untuk membeli buku kesukaan mereka.
Sekadar mengingat beberapa
waktu yang lalu buku Raditya Dika sudah laku 17.000 eks selama PO. Pengalaman
pribadi saya saat masih menulis buku komedi juga menandai hal seperti itu.
Novel-novel seperti itu mudah sekali diserap, tak heran bila buku seperti itu
mudah sekali dicetak ulang. Tak hanya membeli buku, para pembaca abg itu juga
cenderung lebih royal pada penulisnya. Saya banyak menerima hadiah: dari
celengan, boneka kecil, dodol sampai surat cinta.
Padahal peluang penulis sastra
ada di mana-mana. Koran mem-back-up selama bertahun-tahun. Acara-acara
sastra selalu dibuat pleh komunitas-komunitas. Review pun seperti tak henti
dilakukan. Bahkan belakangan ini, situs-situs di internet juga mulai membuat
postingan-postingan untuk memilih buku-buku yang ter... blablabla...
Walau sebagian masih bersifat memilih buku-buku kawan sendiri, tapi setidaknya
ini merupakan upaya promo yang cukup gencar.
Satu lagi, setahun lalu dalam
daftar penulis yang akan diterjemahkan bukunya dalam Franfurt Book Fair,
banyak nama penulis sastra yang terlihat. Asal tahu, mereka menepikan beberapa
penulis yang sebenarnya jelas lebih memiliki pembaca. Panitia tetap memihak
sastra yang dinilai lebih tinggi derajatnya dari buku lain. Tapi rupanya, walau
dengan segala upaya itu, tetap saja tak membuat buku-buku sastra terjual dengan
baik.
Satu yang lebih mengenaskan
lagi adalah: sekarang penerbit seperti tak malu-malu lagi mengoibral buku-buku
sastra dalam waktu yang relatif singkat. Buku kumcer pilihan salah satu majalah
terkemuka di negeri bahkan sudah diobral dalam 1,5 tahun setelah dirilis,
dengan harga 20.000 rupiah. Lalu beberapa buku milik penulis ternama juga
diobral 10.000-an.
Rasanya di satu sisi kita
tercengang melihat buku-buku tertentu dicetak ulang sedemikian mudah. Di satu
sisi lain, kita menahan napas melihat buku yang dicetak sekali pun tak jua
habis. Memang ada beberapa buku sastra yang dicetak ulang, tapi jumlahnya
tidaklah banyak. Itu pun cenderung pada beberapa penulis yang telah memiliki
nama besar, bukan penulis kebanyakan.
Dalam ranah yang lebih kecil,
penerbitan indie, yang biasa diterbitkan oleh penulisnya sendiri juga
mengalami hal yang tak jauh berbeda. Dengan menerbitkan 100-300 eksemplar saja,
angka itu terasa cukup berat. Padahal berapa banyak kawan yang kita miliki?
Berapa kawan di sosial media kita? Saya beberapa kali membantu mencetak
beberapa buku milik kawan-kawan saya, sekaligus membantu promosinya. Saat kawan
saya itu memposting buku barunya, ia mendapat puluhan ucapan selamat dan
pujian. Tapi sungguh, itu sekadar ucapan selamat dan pujian saja. Tak ada satu
pun yang bergerak membelinya. Sedih sekali melihat keadaan seperti ini.
Orang-orang masih saja berpikir bila kawan mereka membuat buku itu sekadar
bentuk aktualisasi diri. Padahal saya tahu sekali, banyak di antara kawan-kawan
penulis yang memang sudah memosisikan berjualan buku untuk mendapatkan sedikit
keuntungan.
Di saat seperti ini, dalam
diskusi-diskusi masih banyak juga kawan-kawan sastra yang memprotes toko buku
yang katanya tak banyak menyediakan buku-buku bermutu. Bila saya ada di situ,
biasanya akan saya balik statement kawan saya itu dengan bertanya pada
mereka; berapa banyak dia membeli buku bermutu selama seminggu? Atau selama
sebulan? Atau, ia ternyata hanya menunggu buku-buku yang diobral 5000-an saja?
Dari sini kita kemudian sadar
dan mulai bertanya-tanya sebenarnya ke mana pembaca sastra kita?
Saya kemudian memcoba memetakan
pembaca sastra. Walau secara analisa pembaca sastra adalah yang tercair di
antara semua genre, tapi nyatanya keadaan yang terlalu cair juga sesuatu yang
tak baik-baik saja.
Buku arsitek akan diserap
mahasiswa arsitek dan para arsitek. Buku ekonomi akan diserap mahasiswa ekonomi
dan para ekonom. Buku hukum juga begitu. Buku kedokteran sami mawon.
Buku sastra seharusnya bisa lebih luas. Arsitek, ahli hukum ekonom, dan dokter
banyak yang menyukai sastra di samping bidang mereka sendiri. Seharusnya ini
menjadi nilai plus bagi pembaca sastra. Sayangnya dari mendengar cerita
kawan-kawan lain, di mana perpustakaan-perpustakaan di jurusan sastra jauh dari
kata update buku sastra terbaru, saya kemudian seperti bisa menyimpulkan
keadaan ini: selama ini pembaca sastra memang seperti telah kehilangan
mahasiswa sastra dan pengajar-pengajar ataupun dosen dari sastra sebagai
lumbung besar pembaca sastra. Tempat mereka telah menjadi lubang besar yang
nyaris kosong. Jadi kita tak bisa lagi berharap pembaca di sini.
Dari pemetaan pembaca lainnya,
kita mendapatkan kemungkinan terbesar pembaca lainnya: penulis sastra,
orang-orang yang terlibat di dunia sastra (semacam editor, proof reader,
dll), dan penyuka sastra.
Penulis sastra tentu menjadi
lingkaran yang perlu diperhitungkan. Karena penulis adalah pembaca. Lihat saya
betapa ramainya koran-koran minggu dengan rubrik sastra. Setiap redaktur selalu
bercerita mereka menerima puluhan email setiap harinya, bayangkan bila itu
dikalikan dengan jumlah surat kabar dari Sabang sampai Merauke.
Tapi rupanya itu pun tak bisa
terlau diharapkan. Penulis ternyata tak selalu menjadi pembaca yang baik. Sebagian
bahkan sudah merasa cukup dengan membaca online saja.
Padahal sering kali saya
mengatakan kalau kondisi seperti itu adalah cara membunuh diri secara
pelan-pelan. Kealpaan membeli buku akan berefek pada diri penulis. Sebagai
gambaran: sebagian penerbit kita adalah follower. Toko buku juga bisa
dikatakan begitu. Pernah satu kali, saat sebuah penerbit secara tiba-tiba
menerbitkan dua buku puisi dari penyair yang cukup ternama dan
mendistribusikannya secara besar-besaran di seluruh gerai Gramedia. Kala itu
saya pernah berujar: bila buku puisi ini habis di toko ini saja, dan 2-3 titik
lainnya, sehingga bisa menimbulkan repeat order, saya yakin dalam 6
bulan ke depan buku-buku puisi akan membanjir semua gerai Gramedia. Asal tahu,
semua penerbit besar di negeri ini memiliki checker sendiri di setiap
toko. Buku yang laku sedikit saja, akan dengan mudah terlacak dan diikuti. Tapi
ternyatanya, buku-buku itu tak laku. Penerbit yang sedang mencoba-coba itu
ternyata tak lagi menerbitkan puisi. Malangnya.
Untuk lingaran: orang-orang
yang terlibat di dunia sastra (semacam editor, proof reader, dll), tak
bisa dibahas terlalu banyak. Walau saya mengenal banyak kawan yang terjun di
bidang ini karena menyintai sastra, namun tak kalah banyak yang hanya sekadar
bekerja saja. Sehingga mereka merasa tak perlu membeli buku.
Harapan terakhir rupanya ada
pada pecinta sastra. Untuk lingkaran ini Jumlahnya tak bisa cukup teraba.
Mereka bisanya tak hanya menyukai sastra, tapi memiliki genre kesukaan lainnya:
seperti sejarah, fantasi, dan lain-lain. Walau tak selalu mengedepankan sastra,
namun saya rasa dari merekalah kita bisa sedikit bernapas lega.
Era saat ini memang terasa
lebih berat. Keadaan lebih mengenaskan di mana buku-buku sastra semakin
terbanting lagi dengan buku-buku Wattpad. Saya sudah mencoba mengunduh aplikasi
ini dan melihat beberapa di antaranya. Percayalah, beberapa masih kagok dalam
EYD, tapi nyatanya, buku-buku yang ditandai dengan: ‘Telah dibaca sekian
juta pembaca Wattpad...’, ternyata telah berhasil membuat gelombang tren
sendiri.
Apakah ini merupakan gambaran
suram? Tentu di dunia perbukuan gejolak ini belum tentu menjadi gambaran yang
suram. Tapi di sastra, tampaknya ini masih jadi tabir kelam di masa-masa
mendatang. ||
Tags:
esai
0 komentar