Aku, Sastra, dan Gerundelannya, oleh Fatih Abdulbari
Aku sangat terkesima ketika membaca buku The Old Man
and The Sea karya Ernest Hemingway.
Buku ini
merupakan buku sastra pertama yang kubaca. Sejujurnya, kisah yang pertama kali terbit pada tahun 1952 ini
membuatku terharu, bahkan sedikit terisak. Sang lelaki
tua tidak hanya tangguh namun juga punya cinta yang kuat akan segala hal. Bahkan, yang dilawannya.
Cintanya lelaki tua pada lautan, pada si ikan yang dilawannya, pada kapalnya,
juga pada anak muda yang membantunya sungguh sederhana tapi dalam. Ketika
membacanya duniaku hilang, berganti dengan dunia si lelaki tua. Akulah yang
berlayar selama 84 hari tanpa mendapat seekor pun ikan.
Aku yang
melawan ikan besar itu selama tiga hari.
Aku yang
melawan hiu-hiu dan aku yang tidur di atas dipan, bermimpi tentang singa di pantai-pantai Afrika. Aku jatuh
cinta.
Buku itu kubaca berkali-kali
hingga sekarang, tanpa pernah merasa sedikit pun bosan. Berbeda yang kurasakan dengan seri novel
dan fiksi ilmiah yang dulu kubeli hingga menunggu-nunggu tanggal terbitnya.
Sekali baca, bosan, menunggu filmnya, menonton, bosan lagi. Dasar
kapitalis!
Mungkin aku adalah salah satu
orang yang beruntung karena bisa membaca sastra sejak muda. Aku masih ingat
ketika teman-teman beberapa kali menegurku di sekolah karena terus berhadapan
dengan buku, bahkan ketika ada guru. Pertanyaan seperti “Baca apa, sih?” atau pernyataan “Wah, bacaanmu banyak, ya!” sudah seringkali kudengar. Aku malah jadi
kepikiran: bukannya pertanyaan dan pernyataan itu menunjukkan bahwa mereka
tidak pernah membaca? Sekarang, aku merasa hal ini sangat ironis. Para terpelajar yang tidak membaca.
Sastra dalam dunia pendidikan
kita memang tidak dibahas mendalam, dangkal sekali. Yang kuingat, pembahasan
mengenai sastra di sekolah dulu hanya sebatas puisi. Pun puisinya yang itu lagi, selama 12 tahun! Yang
aku masih ingat puisi dalam buku-buku pelajaran itu adalah karya Chairil Anwar
dan Toto Sudarto Bachtiar.
Aku merasa pembacaan kita terhadap karya sastra saat ini sangat sedikit,
juga di universitas berfakultas
sastra atau ilmu budaya. Sastrawan sekarang tidak lagi lahir dari golongan
terpelajar. Mereka kebanyakan lahir
dari jalanan, karena mereka melihat langsung kehidupan di depan mata. Sedangkan
terpelajar? Terkurung di dalam tembok universitas tanpa tahu kejadian di luar
sana. Mahasiswa menggunakan karya sastra seperti puisi sebatas untuk merayu wanita.
Karya
sastra lain? Peduli amat.
Padahal, sastra bisa membuka
wawasan terhadap banyak hal, juga membuat kepala-kepala batu itu terbuka lebar.
Oleh karena itu, orang yang dekat dengan
sastra hatinya lembut, pikirannya terbuka dan wawasannya luas. Yah, jangan
ditanya lagi, mengapa terpelajar sekarang pikirannya sempit,
suka menyalahkan, tidak berpikir panjang, oportunis dan terkesan cari
perhatian. Mereka kurang baca.
Kalau membacai sejarah, aku
merasa kita sangat mundur meskipun zaman semakin maju. Dahulu, setiap terpelajar pribumi minimal membaca Max
Havelaar karangan Multatuli dan tulisan-tulisan Kartini. Dengan membaca itu
mereka minimal tersadar bahwa bangsanya butuh pertolongan. Kebanyakan pemimpin
pergerakan adalah orang yang banyak membaca dan banyak menulis. Sebut saja RM
Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan pers berbahasa Melayu pertama sekaligus
membantu pendirian Sarikat Dagang Islamijah di Solo. Atau sebutlah Mohammad
Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama kita yang juga seorang esais.
Sekarang ini yang dinamakan
terpelajar adalah orang yang bersekolah dengan benar, dapat nilai bagus, masuk
universitas dan dapat pekerjaan. Buktinya adalah lembaran ijazah yang
didapatkan di setiap jenjangnya. Ijazah, kertas tak bermakna itu, dijadikan orang
untuk menilai keseluruhan dirimu? Kesannya seperti… Hanya itu yang dilakukan sepanjang hidup. Kalau makna
terpelajar sesempit itu, aku mau jadi orang bodoh saja lah.
Paling tidak ada empat zaman dalam periodisasi sejarah Indonesia. Yang
pertama zaman Hindu-Buddha yang dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara. Yang
kedua adalah zaman Islam, dimulai dengan menyebarnya Islam ke wilayah-wilayah
Nusantara dan sebagai penandanya adalah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di
Sumatera. Zaman yang ketiga adalah kolonialisme, zamannya orang Eropa
berkeliling dunia dan mulai menguasai daerah-daerah untuk menjadi koloninya.
Yang keempat adalah zaman modern yang dimulai sejak pribumi mulai menyadari
ketertinggalan dan keterjajahan mereka ditandai dengan pergerakan melalui
organisasi. Masing-masing zaman punya riwayat sastranya dan masih berhubungan
satu sama lain.
Sastra zaman Hindu-Buddha sampai kerajaan-kerajaan Islam–utamanya di
Jawa–sangat dekat dengan penguasa. Zaman ini sastra kebanyakan memang digunakan
sebagai alat kontrol politik, sastrawan menulis kebesaran raja dan dibacakan
kepada rakyatnya. Maka itu sastra di Jawa penuh dengan hal mistik dan sangat
filosofis. Hal ini juga termasuk dalam agenda kontrol politik penguasa, rakyat
takut mendengar kesaktian raja dan para punggawanya, kemudian rakyat diberi makna
filosofi supaya menurut. Makanya filsafat Jawa seringkali kusebut dengan
filsafat manut. Sastra yang agak berbeda baru kutemukan dalam arsip
Mangkunegara, Serat Babadipun KGPAA Mangkunagoro II karangan Citro
Sentono menceritakan kehidupan Mangkunagoro II tanpa embel-embel
mistik atau filosofis. Karya ini hanya murni
bercerita meskipun sudut pandangnya masih sangat rajasentris dan masih dibumbui
propaganda raja.
Sastra pribumi mulai mengambil sudut pandang rakyat mulai zaman modern.
Yang memicu sudut pandang ini adalah buku Max Havelaar karangan
Multatuli, seorang Eropa dan surat-surat Kartini. Mungkin yang pertama kali
menyebarkan sastra model ini adalah Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dalam surat
kabar Medan Prijaji terbitannya. Dua dari beberapa karyanya adalah Cerita Nyai Ratna dan kisah fiksi yang
berkadar autobiografi, Busono. Kemudian ada Mas Marco Kartodikromo yang
menulis kisah Student Hidjo. Karya ini bercerita tentang Hidjo yang
bersekolah di Belanda dan melihat kenyataan disana. Hidjo menikmati sedikit
hiburan ketika ia memerintah orang-orang berkulit putih yang tidak mungkin
dilakukannya di Jawa.
Setelah kemerdekaan, kita disuguhi sastra
yang menurutku beraliran lebih realis dan jika dibandingkan dengan zaman
sebelumnya, agak melankolis. Tapi bukan berarti aku mengatakan sastra yang
seperti ini jelek, sama sekali tidak. Hanya pandangan dan cara berpikirnya
sudah berbeda sehingga menghasilkan karya-karya yang sungguh berbeda. Setelah
dimulainya abad ke-21, kita dibanjiri oleh tulisan-tulisan gaya populer yang,
aku yakin, kebanyakan hadir untuk meraup keuntungan saja. Ini juga bukan
berarti aku berkata karya yang dihasilkan jelek, sama sekali tidak, aku hanya
menyayangkan tujuannya.
Ironisnya, dengan sejarah sastra yang begitu panjang, saat ini bangsa
kita malah kurang menghargai sastra. Mungkin karena sastra tidak lagi dianggap
penting atau tidak lagi dipandang memiliki esensi yang dalam seperti dahulu.
Atau, jangan-jangan karena kepentingan politik? Pemerintah
sekarang perlu rakyat yang jago sains, jangan-jangan itulah alasan mengapa
fakultas MIPA dan teknik kebanjiran peminat tiap tahunnya. Lantas pemerintah
beraliran demokrasi ini tidak lagi butuh sastra? Entahlah.
Sastra, oh, sastra. ||
Tags:
esai
0 komentar