Buku Jatuh Tempo, oleh Muhajjah Saratini



Memilih selalu membuat kita otomatis memilah. Dan memilah, tak jarang menimbulkan masalah. Saya bermasalah ketika melihat tantangan Pawon untuk menuliskan 10 buku yang seharusnya berumur panjang. Betapa banyaknya, pikir saya. Kemudian, ketika menuliskan judul-judul buku itu, pikiran saya malah berpikir, betapa sedikitnya.
   Banyak atau sedikit dipengaruhi oleh waktu baca, saya rasa. Ketika melihat jauh ke belakang, maka bisa jadi akan ada banyak sekali yang ingin kita masukkan ke dalam bacaan berumur panjang. Ketika menilik ingatan di balik lipatan gumpal abu-abu di kepala, ternyata sulit juga.
   Kesulitan muncul karena sebagian besar buku yang saya anggap seharusnya berumur panjang memang berumur panjang. Karya Pramoedya Ananta Toer, Danarto, Hamsad Rangkuti, dan Ahmad Tohari, misal, sudah  sering dicetak ulang. Jadi tentu saya perlu melihat lebih luas untuk membuat daftar sepuluh buku ini, dan bukan berdasar pengalaman baca ketika saya kuliah saja.
   Jadi, saya menelisik rak buku—termasuk yang ada di sana dan yang sedang berkelana entah di tangan kawan yang mana, mengecek tumpukan buku dalam kardus di rumah—biasanya sudah sangat lawas dan tidak akan dibaca dalam waktu beberapa dekade ke depan sementara rak sudah sesak, dan membuka daftar “Sudah Baca di Goodreads”.
   Setelah menimbang, dan memilah, saya putuskan membuat daftar buku yang sangat variatif dari segi tema dan ketebalan. Berikut 10 buku yang menurut saya tidak akan jatuh tempo.

Rahuvana Tattwa (Agus Sunyoto)
Kalau bukan karena suami yang suka dengan wayang, saya mungkin tidak akan berkenalan dengan buku ini. Bertahun setelah membaca buku ini, saya mengetahui bahwa rupanya tidak sedikit yang mencoba menyampaikan kisah Ramayana dari sudut pandang Rahwana. Namun, buku ini patut menjadi pertimbangan karena menampilkan dunia yang komplet. Maksudnya, benar-benar kehidupan wayang bermula dari sisi keluarga Rahwana. Seperti apa mereka sebenarnya.
Benarkah anggapan masyarakat selama ini kepada keluarga Rahwana? Apa citra itu muncul hanya pengaruh kekalahan belaka?
Setuju atau tidak, buku ini tetap berhasil menyuguhkan dunia wayang yang menarik, mengajak kita melihat dari sisi berbeda. Seperti menonton pagelaran wayang, ada yang lebih suka melihat dari belakang layar hingga hanya melihat siluet wayang—sebagaimana dulu wayang dipertunjukkan, ada pula yang lebih suka melihat dari belakang dalang, sehingga bukan hanya siluet hitam melainkan warna-warna dalam wayang tersebut yang terlihat. Pembaca juga bisa memilih setelah merasakan menonton dari kedua sisi. Selama ini, kita selalu disuguhi dari sisi Rama, bukankah menarik mencoba melihat pemaparan dari sisi Rahwana?
Detektif Cilik Hawkeye Collins & Amy Adams (M Masters)
Kisah detektif selalu menarik bagi saya, sejak belia hingga saat ini sudah memiliki seorang putra. Dari sekian banyak serbuan buku detektif anak terjemahan di Indonesia, saya menyarankan buku ini. Kisah-kisahnya sederhana, karena tokoh utamanya, Amy yang jeli meneliti dan Hawkeye yang pandai menggambar, pun masih anak-anak.
Ukuran font besar, ada gambar, dan godaan petualangan memecahkan kasus akan membuat anak-anak betah membaca. Bukankah kita memerlukan bacaan yang mengerti kebutuhan anak-anak? Jika mentok tidak menemukan jawaban, ada kunci jawaban di halaman-halaman akhir, yang tidak serta-merta ditampilkan begitu saja. Kunci jawaban itu dibuat terbalik, sehingga bisa dibaca dengan bantuan cermin. Biasanya saya dulu membalik halaman jawaban dan menghadapkannya ke cahaya, jadi tidak perlu cermin, atau membacanya begitu saja untuk melatih membaca tulisan terbalik. Ah, anak-anak!

Sweet Sins (Rangga Wirianto Putra)
Tema LGBT sempat marak lagi setelah tahun 2003 lalu. Dari sekian banyak buku, saya rasa buku lama sekali baru jatuh tempo. Menariknya, buku ini berkisah dengan apik mengenai perasaan cinta yang dirasakan seseorang yang mengetahui dirinya menyukai sesama jenis, dan seseorang yang terbawa oleh perasaan cinta tersebut. Memang ada kelemahan pada cara menyelesaikan cerita—dengan bantuan Tuhan—istilah kami dulu. Namun tetap saja buku ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi yang sedang menekuri jalan LGBT. Baik secara terang-terangan, ataupun dari balik bayangan.

Bu Kek Siansu (Asmaraman Kho Ping Hoo)
Zaman dahulu kala, ada buku kisah persilatan yang peredarannya membahana. Sebenarnya, saya tidak mengalami masa-masa itu, cuma pernah mengintip isinya pada sebuah pameran. Namun, suami saya yang antusias itu kemudian berkisah mengenai buku-buku tipis yang pernah menemani masa kecilnya dulu. Jadi, saya mencari tahu mengenai buku ini, dan ternyata setelah puluhan tahun berlalu, buku-buku Kho Ping Hoo masih banyak dicari.
Utamanya, para penggemar suka dengan cara Kho Ping Hoo membuat pembaca terbawa pada adegan-adegan yang dialami tokoh-tokoh dunia persilatan di dalamnya. Ketegangan, ketakutan, dan tentu saja asmara. Saya membayangkan, mungkin serupa ketika saya terbawa menonton Misteri Gunung Merapi dan Angling Darma.

Ensiklopedia Wayang (Tim Senawangi)
Pertemuan saya dengan buku ini adalah di perpustakaan Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Perpustakaan  kecil yang memuat banyak buku untuk jurusan yang dinaunginya itu biasanya selalu berjubel, memang. Isinya menarik, yang jaga asyik, dan kita boleh menulis rikues buku yang akan dibeli bulan berikutnya, saat anggaran pembelian buku sudah cair.
   Karena suami—dulu pacar—sangat menginginkan buku tersebut, dia memfoto-kopi semua serinya. Menariknya, bertahun setelah itu, dia sudah lulus, Mas Perpus berusaha mencari jejak kami. Ternyata, salah satu seri ensiklopedi tersebut hilang dari perpustakaan. Demi mendapatkan ganti, Mas Perpus kembali memfoto-kopi buku yang dulu kami kopi. 
Pencurian di perpustakaan kampus memang menyebalkan. Bukan hanya bagi Mas Perpus, tentu. Tapi juga bagi saya ketika dulu masih menjadi mahasiswa. Kenyataannya, label “maha” tidak membuat beberapa siswa beranjak dewasa.

Saya disodori temuan ini oleh seorang kawan sebelum kemudian akhirnya punya sendiri. Awalnya, saya pandang sebelah mata. Oke, gambarnya mungkin bagus. Tapi kebanyakan komik yang dibukukan memang bagus. Ternyata, kisahnya seakan memukul gong di kepala kita. Hal yang ingin disampaikan secara tidak langsung oleh para komikus membuat kita tercenung sejenak—seperti umumnya reaksi setelah membaca buku bagus.
Masing-masing kita pernah berusaha lari. Dan, dalam komik ini adalah bentuk pelarian dari dunia dalam era digital. Apakah kita sadar sedang melakukan perjalanan dalam hidup ini? Apa yang kita cari? Jangan-jangan, selama ini yang kita cari sesederhana sekaligus serumit: diri sendiri.

Suami Sempurna (Nurul F Huda)
Setelah dulu keseringan disuguhi Annida, saya merasa sudah cukup kenyang dengan kisah bertema agama. Namun, buku ini membuat saya berpikir ulang. Penulisnya tidak berkisah dengan gegap gempita, tidak pula rajin menyimpan twist yang menarik. Kisahnya mengalir saja. Namun justru itu yang berhasil menggiris perasaan. Dunia itu kelewat dekat dengan kita. Kadang, kita membaca buku untuk melarikan diri dari dunia nyata di sekitar, bukan? Cerpen-cerpen di buku ini justru memaparkannya, dengan lebih jelas, lebih terasa. Sebagian klise, seperti mendengar cerita rumpian dari tetangga, namun saya rasa kita memang masih perlu buku-buku seperti ini.

Pengantin Al Quran (M Quraish Shihab)
Buku ini menjawab banyak sekali pertanyaan saya dulu mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Sebaiknya, buku ini justru dibaca sebelum menjadi pengantin karena di dalamnya kalian akan mendapat pandangan bagaimana sebaiknya memilih pasangan.
Buku ini bisa dibilang memang bisa jadi kado pernikahan yang manis. Mulai dari masalah bibit, bobot, dan bebet, mahar, hingga mengapa kita harus mengalah dibahas di sini. Namun, tidak salah juga jika dijadikan kado untuk sahabat remaja. Karena, buku ini juga membahas aneka warna perasaan labil ketika seseorang jatuh cinta. Dan yang terpenting, menjawab pertanyaan: “Mengapa kita perlu menikah?”

Holy Mother (Akiyoshi Rikako)
Saya suka kisah pembunuhan. Tertarik pada trik yang terpikirkan oleh tokoh agar tidak ketahuan, dan terutama pada alasan pembunuhan tersebut. Sebelum bertemu penulis ini, saya setia pada Agatha Christie. Namun saya rasa buku Agatha akan tetap selalu dicetak ulang beberapa masa ke depan. Saya masukkan buku terbaru Akiyoshi karena selain penulisnya masih muda, cara berceritanya yang segar dengan tokoh-tokoh anak SMA adalah suguhan baru. Ini adalah buku ketiganya, dan dia terlihat semakin matang daripada dua buku pertamanya.

Ensiklopedi Bahasa (David Crystal)
Buku ini cuma sempat saya intip-intip tiap kali ke Gramedia. Harganya yang bersaing dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi pertimbangan untuk memasukkannya ke dalam daftar belanjaan. Dari beberapa kali intipan, isinya memang bagus, terutama untuk mahasiswa di jurusan seputar bahasa. Mulai dari fonetik hingga kaitan bahasa dengan bidang lain muncul dalam buku ini. Jika saya masih kuliah, bisa jadi saya akan mengompori beberapa kawan untuk patungan. Suatu hari, saya tetap akan mengoleksi buku ini.

Beberapa buku memang akan jatuh tempo dalam waktu singkat. Banyak sekali faktor penyebabnya, di antaranya: tema musiman, tema umum, cara bercerita, tidak ada kebaruan, muncul pada saat yang tidak tepat.
Tahun ini, kesepuluh buku tersebut yang saya sodorkan. Bisa saja, sebelum tahun ini berakhir, saya sudah menemukan buku lain lagi yang menurut saya akan berumur panjang.
Seperti selera buku bacaan, pilihan ini pun sangat subjektif. Seperti aneka dunia yang bisa dijamah melalui tulisan, tidak ada salahnya mencoba membaca beberapa buku dari daftar ini meskipun tidak sesuai selera. Seperti mencari jodoh, tak kenal maka tak sayang. Coba baca dulu, mana tahu cocok.  ||


Tags:

Share:

0 komentar