Buku, Buku, Buku, oleh Dion Yulianto
Tahun 2016
adalah tahun yang menyenangkan buat para pembaca dan penimbun (baca kolektor)
buku, tapi mungkin jadi tahun yang agar miris bagi penerbit buku. Selama
setahun kemarin, kita dimanjakan dengan begitu banyaknya obralan buku, bukan
sekadar pameran buku. Ini adalah kesempatan untuk membeli buku dalam jumlah
banyak dengan harga murah. Pecinta buku mana juga yang tidak tergiur? Senang di
satu sisi, tapi miris di sisi lain. Fenomena banyaknya buku bagus yang diobral
seperti menunjukkan bahwa pihak penerbit sampai harus mengobral buku-buku bagus
karena sepinya penjualan di toko buku konvensional. Tentang apakah fenomena ini
positif atau negatif bagi dunia perbukuan di tanah air, kita tunggu saja
bahasan para pakar yang lebih piawai.
Dalam tulisan ini, saya hendak
memaparkan 10 buku yang harusnya berumur panjang dan seharusnya dibaca lebih
banyak orang. Buku-buku berikut ini saya pilih bukan karena larisnya atau
sedang tiba-tiba hits gara-gara ada versi filmnya. Sepuluh buku berikut
saya pilih karena telah membawakan pengalaman membaca yang baru kepada saya.
Beberapa buku di dalamnya turut mengubah saya menjadi lebih positif, lebih
berpikiran terbuka, juga lebih bisa memandang segala hal tidak dari sudut
pandang kita saja. Buku-buku mengubah dunia lewat perubahan yang mereka buat
pada pembacanya.
100 Tahun Kesunyian (Gabriel Garcia Marques)
Novel ini saya akui memang luar
biasa. Bukan karena tebalnya yang lebih dari 500 halaman dengan font
padat dan rapat serta paragraf yang bisa satu halaman panjangnya. Bukan pula
karena pohon keluarga Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran yang begitu
panjang dengan penggunaan nama-nama yang berulang. Ada sesuatu yang sangat
spesial dari novel ini, memusingkan dan ruwet, tapi membacanya seperti
menemukan pesona luar biasa dari kepiawaian sang penulis dalam meramu cerita.
Inilah buku absurd pertama yang saya baca. Ada keindahan aneh dalam buku ini
yang mungkin baru bisa benar-benar dirasakan ketika kita sudah selesai
membacanya. Membaca novel ini ibarat mencicip makanan eksotis yang baru akan
terasa lezatnya setelah kita berani mencecapnya.
Berkelana dalam Rimba (Mochtar Lubis)
Jauh sebelum saya mengenal Lima
Sekawan dan Trio Detektif atau petualangan ala Indiana Jones, bahkan Harry
Potter; buku klasik karangan sastrawan kenamaan negeri ini sudah membuat saya jatuh
hati. Pertama kali dibaca saat SD atau SMP, saya lupa. Berkelana dalam Rimba
memadukan antara unsur petualangan, pelajaran moral, tanggung jawab, dan
isu-isu lingkungan. Kisah anak-anak remaja bersama seorang dewasa (Paman
Raokhtam) yang melakukan perjalanan menembus Rimba Gunung Hitam di Bukit
Barisan, yang menjulang rapat di tengah pulau Sumatra ini begitu memukau.
Sungguh merupakan impian para petualang untuk bisa menembus hutan primer
Sumatra yang masih asli dan bertabir misteri seraya belajar tentang flora dan
fauna endemic yang melimpah di dalamnya. Dan, buku ini menjadi buku yang sangat
tepat untuk mulai memunculkan kegemaran berpetualang di alam bebas dan juga
untuk mengenalkan anak pada isu-isu kelestarian lingkungan.
Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang
Lain (Dale Carnegie)
Dale Carnegie telah
menyelamatkan kehidupan sosial saya. Lewat buku berjudul cukup panjang ini,
beliau membedah dan menyodorkan fakta-fakta terkait hubungan personal. Salah
satunya yang masih saya ingat adalah “setiap orang ingin disapa duluan.”
Egoisme dalam diri kitalah yang membuat kita enggan menyapa orang lain. Kita
inginnya orang lain yang menyapa kita karena ini menjadi tanda bahwa orang
lainlah yang butuh bicara dengan kita, bukan sebaliknya. Dan, hal ini ternyata
keliru menurut Carnegie. Bagi Carnegie,
orang-orang yang mau mengambil inisiatif dan berbesar hati untuk menyapa orang
lain terlebih dahulu adalah orang-orang yang berjiwa besar.
Memulai pembicaraan bukanlah
tanda kerendahan, melainkan tanda kemuliaan karakter seseorang. Kita tahu
setiap orang ingin disapa duluan. Kita tahu rahasia ini. Maka, orang yang
menyapa duluan-lah sebenarnya yang lebih tinggi nilainya. Masih banyak lagi hal
yang saya dapatkan dalam buku ini, tentang debat yang lebih sering mendatangkan
rasa puas diri alih-alih kebenaran, tentang cara-cara untuk bisa “dianggap
hangat” di berbagai lingkungan, tentang dorongan untuk selalu menjalin
persahabatan dengan orang-orang baru. Belajar mendengarkan, itu juga pelajaran
paling utama dalam buku ini. Masih banyak lagi hal-hal terkait relasi
antar-insan yang terjabarkan dengan begitu ramahnya dalam buku ini.
Seri Kariage Kun (Masashi Ueda)
Apa yang membuat Kariage Kun
begitu berkesan dibanding Doraemon atau Dragon Ball yang sudah
saya baca duluan? Jawabannya adalah realitas dan simplisitasnya. Ketiga komik
manga itu sama-sama memberikan sarana pengalihan dari dunia nyata, sarana untuk
“pergi” sejenak dari hidup yang penuh tugas dan penelitian, Bedanya, jika
Doraemon dan Dragon Ball memberikan alam pengalihan di fiktif adanya, maka
Kariage Kun memberikan alam pengalihan
yang real. Seri komik karya Masashi Ueda (tokoh yang sama dengan komikus
pembuat Kobo Chan) menggambarkan berbagai kelucuan yang dialami oleh
seorang pegawai kantoran bernama Kariage. Si Kariage ini tipikal pemuda urban
namun ia menjalani kehidupan dengan apa-adanya, santai, tidak ngoyo,
lengkap dengan segala keisengannya. Membacanya, kita akan menemukan cerminan
kehidupan sehari-hari, juga berbagai canda dan tawa yang sering kali tidak kita
sadari.
Tuhan Tidak Makan Ikan (Gunawan Tri Atmodjo)
Tidak selamanya sastra muncul
dalam bentuknya yang melulu berat, dipenuhi deretan kata-kata tinggi namun awam
asing mendengarnya. Sastra juga tidak lagi wajib mendayu-dayu dengan bahasa
berbunga-bunga ala karya angkatan Balai Pustaka. Pun, sastra bukanlah buku
agama yang semata berisi petuah-petuah kebajikan. Tiga mitos sastra dari Seno
Gumira Ajidarma di atas kiranya tepat disematkan untuk buku kumpulan cerpen karya
Gunawan Tri Atmodjo ini. Sebagaimana dijelaskan Seno, sastra ditulis oleh
manusia dan ditujukan oleh manusia, kepada awamlah sastra dituliskan, sehingga
sastra sendiri seharusnya tidak boleh menjauh dari kemanusiaan itu sendiri.
Manusia, seperti aneka cerita
di kumcer ini, kadang serius, kadang berani, sering suram, tidak jarang penuh
sukacita. Gunawan dengan caranya yang khas telah menghadirkan sastra yang
manusiawi di buku ini. Salah satunya, kisah-kisah yang membuat kita tertawa
sebagai manusia dan menertawakan diri kita sebagai manusia. Buku ini dengan
segala kenyentrikkannya menawarkan cara baru untuk menikmati sastra. Jika ingin
baca buku sastra yang beda, kumpulan cerpen karya Gunawan ini bisa dicoba baca.
Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC (ES Ito)
Penerus Pram, demikian Fadjroel
Rachman menggelari ES Ito sebagai pengarang buku ini. Dalam hal menyindir dan
menyentil hati pembaca Indonesia, gaya penulis memang agak mirip dengan gaya
Pram, hanya saja dalam konteks yang lebih kekinian. Membaca novel ini, tidak
bisa tidak, pembaca akan teringat dengan Dan Brown saat mengarang Da Vinci
Code, meskipun novel ini jauh lebih detail dan kaya akan informasi sejarah.
Salut sekali saya dengan kepiawaian penulis dalam meramu unsur-unsur sejarah,
kemudian menyajikannya dalam sebuah prosa yang tidak hanya sastrawi, namun juga
informatif dan sangat seru. Aneka kejadian, konspirasi, dan narasi bergerak
cepat, saling susul-menyusul sehingga pembaca seolah diajak adu balap dalam
ceritanya. Belum lagi aneka informasi sejarah tentang masa lampau Hindia
Belanda, VOC, hingga akhirnya ke masa-masa perjuangan kemerdekaan RI. Semuanya
dirangkum dan dituliskan dalam lajur-lajur tulisan yang padat tetapi tetap enak
dinikmati. Kita butuh lebih banyak novel trhiller yang mengangkat setting
dan sejarah lokal seperti di novel ini.
Dari Kota Tua (Jakarta),
pembaca akan diajak berjalan-jalan ke pedalaman Nias dan Sumatra, berpesiar
naik perahu pinisi ke Makassar, menikmati aroma rempah di Maluku, melompat ke
dinginnya Brussel dan Belanda, lalu kembali lagi ke kepadatan Jakarta.
Mengobrak-abrik Menteng, menyelusup ke Istana Merdeka, menerobos jauh ke dasar
Monumen Nasional, berputar-putar di Pulau Onrust, lalu masuk ke dalam sebuah
kelas nan bersahaja di pelosok Sumatra. Semuanya digambarkan dengan begitu
detail dan narasi yang tajam, tidak berboros kata tetapi benar-benar sangat
menusuk rasa ke-Indonesiaan kita. Gelontoran fakta sejarah juga tak
habis-habisnya diobral si penulis. Kita diajak berkenalan dengan JP Coen yang
ternyata dulunya adalah seorang akuntan, dengan tokoh-tokoh besar seperti
Muhammad Hatta dan M Gandhi, ikut masuk dan mempelajari kantor wartawan, dan
merasakan bagaimana kerja seorang intelijen negara. Luar biasa! Penulis pasti
melakukan riset yang tidak main-main saat mengarap buku ini.
Aurora di Langit Alengka (Agus Andoko)
Jika ada sebuah cara yang
begitu menyenangkan untuk kita bisa belajar tentang dunia wayang, maka membaca
buku ini adalah salah satunya. Dari segi
cerita, Aurora di Langit Alengka memadukan antara kisah fantasi dengan
dunia perwayangan. Penggabungan yang sangat berani antara cerita fantasi dan
dunia Ramayana yang begitu apik, dengan beragam pengetahuan lokal tentang
makanan, obat-obatan, tradisi, serta kekayaan alam Nusantara. Aurora di
Langit Alengka adalah sebuah buku tebal yang sarat akan isi. Pembaca akan
mendapatkan tiga hal sekaligus dengan membaca buku ini: penghiburan lewat
kisahnya yang seru, pengetahuan tentang dunia wayang dan Ramayana, serta
khazanah kekayaan lokal, terutama bangsa Jawa. Sebuah buku yang patut
diapresiasi, tidak heran jika bahkan Dalang Ki Manteb Soedharsono pun ikut
memberikan dukungan bagi penulisan novel ini.
Saya belajar banyak sekali
tentang tokoh-tokoh Ramayana dari buku ini walaupun belum membaca versi yang
asli. Siapa orang tua Sinta, tentang gugurnya Kumbakarna, tentang berbagai
senjata milik pada tokoh pewayangan, tentang Jatayu, Hanoman, dan Sugriwa,
mengapa Rama dan Sinta dibuang ke Dandaka, asal-usul Rahwana, juga tentang
garis besar dari pertempuran dalam Ramayana yang sangat epik itu. Sebagai
tambahan, penulis juga menyisipkan berbagai pengetahuan lokal yang begitu
berlimpah dalam buku ini. Tentang beragam jenis makanan dan obat-obatan,
tentang kebiasaan dan kehidupan orang-orang zaman dulu, tentang adat-istiadat
di negeri-negeri jauh, juga tentang sikap-sikap luhur yang dulu pernah begitu dijunjung tinggi oleh para
leluhur. Ini benar-benar sebuah buku fantasi karya anak negeri yang digarap
dengan sangat kreatif dan berbobot.
Old Shatterhand, the Wild West Journey (Karl May)
Kalau ada seorang pengarang
fiksi petualangan yang karyanya begitu digemari dan memiliki kesan mendalam di
benak para tokoh besar dunia, maka Karl May tidak diragukan lagi adalah salah
satunya. Tidak kurang dari tokoh-tokoh besar sekaliber Einstein, Herman Hesse,
bahkan Hitler begitu terpesona dengan kisah petualangan ala padang prairi
karyanya. Tulisan Karl May begitu khas. Sosok protagonisnya sedikit banyak
menggambarkan sosok si penulis. Ini belum ditambah dengan jalinan cerita yang
memikat, yang “sangat petualang”, dan detailnya memesona. Keistimewaan ini
semakin sempurna karena fakta bahwa Karl May belum pernah mengunjungi Wild West
atau kawasan liar di barat dataran Amerika Serikat ketika ia menulis seri
Winnetou, Kepala Suku Apache ini. Belum lagi karakter-karakternya yang sangat
“Wild West”. Semua tokoh dalam seri ini begitu khas, dengan ciri uniknya
masing-masing, sangat tak terlupakan. Juga cara bicara mereka, gaya
kesehariannya; pembaca pasti tidak akan kesulitan untuk membedakannya. Lebih
sulit lagi yang dulu pernah membacanya untuk tidak terkenang dengan salah satu
buku petualangan paling legendaris di dunia ini.
What I Talk About When I Talk About Running (Haruki Murakami)
Tantangan terbesar seorang
penulis sebenarnya bukan pada bagaimana menulis buku yang bagus, namun untuk
menyelesaikan menulis sebuah buku itu sendiri. Murakami dengan kerennya mampu
memadukan dua hal yang tampak berbeda jauh
ini: menulis dan berlari. Seperti dalam perlombaan marathon, mereka yang
sampai ke garis finish adalah para juara. Jadi yang pertama atau terakhir
sampai tidaklah terlalu masalah, karena berhasil menyelesaikan lari sejauh 42
km lebih sedikit itu sudah menjadi pencapaian yang mengagumkan. Begitu pula
penulis, hari ketika dia selesai menuliskan kata terakhir pada naskahnya adalah
hari yang sangat melegakan, seperti melepaskan satu beban berat yang
menggantung di punggung selama berbulan-bulan. Menulis adalah sebuah proses
yang panjang, butuh ketahanan khusus, sebagaimana lari marathon juga demikian.
Hanya ada dua pilihan dalam kedua bidang ini: menang melawan keterbatasan dalam
diri atau kalah.
Dari buku memoar yang ditulis
dengan sedemikian mengalir ini, kita bisa sedikit tahu tentang apa yang
menjadikan Haruki Murakami menjadi Haruki Murakami yang sekarang. Jelas bahwa
salah satunya adalah olah raga berlari. Sebuah memoar singkat namun padat ini
tidak hanya mengajarkan kita untuk tetap bertahan berlari demi mengejar mimpi,
namun juga tentang beragam hal remeh namun penting lainnya dalam kehidupan.
Dengan gayanya yang khas--mengelitik, jujur, agak satiris--Murakami
menghidangkan kepada kita sebuah cerita nyatanya yang tetap enak dinikmati
sebagaimana novel-novelnya. Sangat direkomendasikan untuk calon penulis,
penulis pemula, atau siapa saja yang butuh sedikit dorongan untuk tetap berlari
mengejar mimpinya. Satu hal lagi yang diajarkan Murakami lewat buku ini: Tidak
selalu perlu menjadi yang pertama, kadang melakukan sampai selesai dan menerima
kekurangan kita adalah syarat menjadi bahagia.
Bilang Begini Maksudnya Begitu (Sapardi Djoko Damono)
Masih sangat sedikit di negeri
ini buku-buku tentang apresiasi sastra. Lebih sedikit lagi buku apresiasi
sastra yang mengulas tentang puisi. Kalaupun ada beberapa, kebanyakan ditulis
untuk tujuan akademis dengan pembahasan yang cenderung kaku, formal, dan
beraroma diktat kuliah. Kita membutuhkan lebih banyak buku-buku sastra yang
terbaca oleh masyarakat awam agar semakin banyak yang melek sastra. Bukankah
sastra menjadi salah satu pertanda kemajuan peradaban bersama
pencapaian-pencapaian sains dan kemanusiaan? Kembali pada buku-buku puisi—yang
sudah jumlahnya sedikit, kalah pula dari segi popularitas bila dibanding dua
saudara kandungnya: cerpen dan novel—kita membutuhkan lebih banyak buku-buku
puisi dan apresiasi puisi seperti buku Bilang
Begini Maksudnya Begitu yang merakyat ini.
Seorang penulis berpengalaman tercermin pada karya-karyanya. Membaca
buku ini, kita akan membuktikan sendiri kepiawaian Sapardi dalam mendedahkan
beragam hal terkait ilmu puisi dan cara mengapresiasinya. Pembahasannya simple,
dapat dipahami bahkan oleh pembaca yang jarang membaca puisi seperti saya.
Kemudian, menyeret kami untuk lebih mencintai dan mau menikmati lebih banyak
puisi. ||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar