Puisi a.k.a Kita, oleh Bunga Hening Maulidina
Bahasa
adalah soal bagaimana kamu tidur, bagaimana kamu makan, bagaimana kamu memegang
buku, bagaimana kamu bergosip, bagaimana kamu berjalan, bagaimana kamu
sembahyang, bagaimana kamu berdoa, bagaimana kamu... Bahasa adalah soal
bagaimana kamu.
Kalimat semacam itu sering terujar
saat aku masuk kelas ketika latihan mengajar beberapa waktu lalu. Kalimat untuk
menyindir jika ada murid yang bertingkah aneh di kelas. Semata untuk
menunjukkan hubungan mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan tingkah laku.
Setidaknya itulah yang aku dapatkan selama belajar di prodi Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia bukan soal lagi tata baku dan titik koma, atau gue dan saya. Bahasa
apapun adalah soal menempatkan diri. Atau dalam bahasa Jawa disebut empan papan—begitu kata guru.
Antologi puisi Berkini Tiara Hati antara mahasiswa
Thailand-Indonesia ini mengingatkan pada sifat bahasa yang katanya manasuka.
Orang boleh menyebut simbol <3 apa="" cinta="" dan="" dengan="" ekor="" ikan="" itu="" jantung="" konvensi.="" lalu="" love="" maka="" makna.="" makna="" menyatukan="" orang="" perbedaan="" sah-sah="" saja.="" sama-sama="" sebagai="" sebagainya.="" selama="" semua="" sepakat="" span="" tanpa="" tertentu="" waru="" yang="">3>
Membaca kumpulan
puisi antologi mahasiswa Thailand dan Indonesia, ini tadinya yang terbayang
adalah batas Thailand dan Indonesia. Tetapi kesan itu luruh begitu mulai
membaca. Alih-alih menemukan ke-Thailand-an atau ke-Indonesia-an, justru yang
muncul adalah kemanusiaan. Bagiku puisi juga merupakan soal bagaimananya
kamu—kita.
Misalnya ketika
puisi Miss Nusreeyah Deemuleh menyebut .../Bulan
mendekati ku akan terlantas dalam sebuah/kebahagiaan/Hasil dari tuhan, manusia
menunggu keadilan/situkah ada cahaya dalam doaku/para syaiton bertipu-tipu
dalam hati hitam kejahatan/... dalam puisi “Mashur Bulan Taubat”.
Sejujurnya aku kadang bingung dengan bahasa yang kemelayu-melayuan. Namun
akhirnya, betapapun banyak ragam kemanasukaan jenis bahasa dalam puisi, tetap
saja disatukan oleh satu konvensi. Konvensi puisi itu adalah rasa kemanusiawian
yang sama. Atau katakanlah rasa universal. Atau mungkin juga Bahasa Dunia—kata
Paulo Coelho di Sang Alkemis-nya.
Kalau tidak
melalui keuniversalan itu, barangkali kita tidak akan menerima karya-karya
sastra bahasa asing. Betapapun beda bahasanya, ternyata sesudah diterjemahkan
isinya sama-sama dimengerti. Sama-sama disatukan dalam bahasa kemanusiawian.
Maka itu pula yang aku dapat dari puisi Miss Suhainee Sa-Ah. Berperasaan. Itu
adalah kesan yang didapat dari serangkaian puisi Miss Suhainee Sa-Ah. Berbagai
perasaan dalam warna bangsa, persahabatan, dan tentu saja perasaan cinta, yang
diungkap Miss Suhainee Sa-Ah, juga dialami oleh kita. Meminjam petikan puisi
Gie, katanya, kita begitu berbeda dalam
semua/kecuali dalam cinta. Perasaan cinta yang sama.
Namun begitu, di
antara puisi Miss Suhainee Sa-Ah, ada satu puisi yang menurutku berbeda. Cinta
yang dibingkai keutuhan sebagai pribadi yang unik. Judulnya “Masa Lalu”. Ku lihat hujan menetes di jendela/hatiku
selalu mengingat masa lalu/waktu itu aku dan adik sedang bermain teka-teki
dalam/rumah/waktu itu ibu sedang memasak untuk anaknya, dan/waktu itu juga ayah
sedang memanggil anak untuk/bersamanya/indah ya masa lalu, lebih indah kalau
sekarang aku bisa/bersamanya. Entah bagaimana, puisi ini menghadirkan
ilustrasi yang nyata dalam benak. Tentang rumah yang hangat dan sebuah keluarga
di musim hujan. Namun, ‘rumah’ yang berbeda dengan rumah-rumah biasa. ‘Rumah’
yang sudah dijinakkan—meminjam istilah Saint Exupery dalam tokoh Rubah di Pangeran Kecil—oleh Miss Suhainee Sa-Ah.
Kata Rara Sekar (eks grup band Banda Neira), Life is Relationship. Barangkali relationship itulah yang membuat ‘rumah’ Miss Suhainee Sa-Ah
berbeda dengan rumahku, rumahmu, dan rumah tetangga kita.
Meski rasa
kemanusiawiannya “sama”, tetap saja jalinan relationship
yang berbedalah yang membuat kita tetap punya keunikan masing-masing. Unikitas,
kata guruku. Keunikan itu membentuk karakter yang berbeda-beda. Dan itulah yang
kutangkap dari puisi Erma Royani. Puisi Erma Royani membuatku ingat pada puisi
kawan-kawan mahasiswa Bastind (sebutan untuk Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UNS)
dalam antologi Malaikat Gorong-Gorong.
Puisi-puisi yang kusebut sebagai puisi ala/khas ‘anak Bahasa Indonesia’
(bagaimana definisi kekhasan itu pun juga sulit kujelaskan).
Jika Malaikat Gorong-Gorong rata-rata
memiliki diksi-diksi seperti, sadis, api, robek, rebutan, remuk, terhunus,
terbuang, atau darah kritis—atau katakanlah puisi kritis. Maka Erma Royani menyajikan
puisi yang lebih sejuk dan familier. Misalnya, puisi “Gedung Kampusku”. Awal
puisi itu Magnet mata menajdi
saksi/Awalku tahu gedung kampusku/Ruang menyejukkan/Kursi nyaman
kududuki/Melihat dan mendengarkan dosen. Sedangkan akhirnya .../Perjalanan bertahap di gedung
kampusku/Terlalu manis diulang/gedung kampusku menjadi ceritaku.../Cerita di
masa depanku.
Bagiku puisi
tersebut masih khas ‘anak Bahasa Indonesia’. Mengingatkan pada puisi Pak I Dewa
Putu Wijana (staf pengajar FIB UGM), “Beringin Kecil” yang didedikasikan untuk
kampusnya. Sebatang beringin kecil/Yang kutanam
di sudut tanah lapang/Doaku kepadanya tulus mendamba/Tajuknya kelak akan dalam
mengakar/Daun-daunnya yang rimbun/Senantiasa meluruh seresah ke tanah/Teduh
memayungi rumput-rumput/Pokoknya yang kokoh menjulang/Siap menghadang badai,
angin, dan hujan/Yang deras menerjang.
Lagi-lagi puisi
Rani Setiawaty bagiku juga khas ‘anak Bahasa Indonesia’, tetapi dalam bentuk
yang berbeda. Lebih berani unik. Rani misalnya memainkan diksi “mbak” dalam
sapaan, dengan “rambak” dalam makanan. Atau antara “bank” dengan “bang”.
Tetapi, yang membuatnya lebih terasa ‘anak Bahasa Indonesia’ adalah puisi
“Pengemis Kecil” yang disajikan sebelum puisi “Aku Ini”. Saat membaca “Pengemis
Kecil”, aku langsung ingat Chairil Anwar, tanpa tahu bahwa sesudah puisi itu
disajikan puisi “Aku Ini” yang ternyata ditujukan buat Chairil Anwar.
Memang
pelabelanku pada puisi agak aneh. Tapi, bagaimanapun, aku bukan ahli sastra
yang bisa mengkritisi puisi. Aku sekadar menerjemahkan apa yang kubaca menurut
pembacaanku yang sentimentil. Maka, kesan yang kudapat dari puisi Sri Sumarsih
dan Putri Haryanti juga sama-sama kesan perasaan. Jika Sri Sumarsih menggunakan
diksi yang optimistis, seperti juara, hebat, pedoman, suri tauladan, elok,
mentari, cantik, membara, gelora, api, raja, dan sebagainya. Maka Putri
Haryanti lekat dengan puisi yang lebih reflektif. Sri Sumarsih menggambarkan
harapan-optimisme. Sedangkan Putri Haryanti lebih menggambarkan
perenungan-perenungan atas peristiwa. Atau dalam ungkapan terkenal disebut
“lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”. Ini lagi-lagi
membawaku pada ingatan bahwa puisi adalah soal bagaimananya kamu—kita.
Ngomong-ngomong,
belakangan aku sedang menyukai rilisan fakta golongan darah yang menggambarkan
karakteristik orang berdasar golongan darahnya. Malah jadinya aku menduga-duga
golongan darah Sri Sumarsih dan Putri Haryanti (hehehe). Hal yang sama juga
kuduga dari puisi Fahirah Mumo. Puisinya mudah dipahami dan familiar. Puisi
yang simpel. Fleksibel. Lalu aku juga bertanya-tanya, puisi ini bergolongan
darah apa ya? J Lagi-lagi bagiku, puisi juga merupakan soal
bagaimananya kamu—kita.
Penulis terakhir
adalah Klara Sukma. Puisi-puisinya adalah puisi yang kronologis. Puisi yang
bercerita secara runtut. Kalau dalam analisis wacana, ia memenuhi keutuhan awal-inti-akhir
secara teratur—tentu saja keteraturan ala puisi. Misalnya, ambillah “Seteguk
Kopi Pagi Ini”. Seteguk kopi pagi
ini/Menjeratku akan nikmatnya/Seteguk kopi pagi ini/Tercium harum aroma
menggoda/Bergetar bibir menelan ludah/Terasa pahit hingga kerongkongan/Saat
tegukan terakhir aku jamu/Memberi kesan rasa kehidupan. Puisi-puisi Klara
Sukma tidak membuatku bertanya-tanya apa golongan darahnya. Hanya saja aku
berprasangka Klara Sukma pandai mengarang cerpen juga.
Oh iya, selain
fakta golongan darah, belakangan aku juga suka pada grup NDX a.k.a Familia.
Lagu-lagu mereka bagiku juga puitis—dengan caranya sendiri. Sebagai wujud rasa
sukaku itu, tulisan ini mengambil judul Puisi a.k.a. Kita. Jika belum
mengetahui NDX a.k.a Familia, boleh coba dicari lagunya. Salam.
Bunga Hening Maulidina, aktif menulis, baik prosa maupun puisi. Tulisannnya ada di beberapa media, seperti Suara Merdeka, Jawa Pos, dll.
Tags:
Acara
0 komentar