Catatan Pembacaan Berkini Tiara Hati, oleh Aji Ramadhan
Selamat
kepada delapan penyair mahasiswa perempuan dari 1) Thailand bagian Selatan:
Suhaenee (S), Nusreeyah (N), dan Farihah (F); 2) Indonesia: Erma Royani (ER),
Klara Sukma Pujiati (KSP), Sri Sumarah (SS), Rani Setiawaty (RS), dan Putri
Haryanti (PH). Semoga diterbitkan buku antologi puisi pertama mereka, Berkini Tiara Hati (BTH), membuat mereka khusyuk mendalami penulisan bidang puisi.
Semoga proses kreatif kolektif dari mereka tetap terjaga dan membuahkan karya
berikutnya di waktu mendatang.
Agus Budi Wahyudi, penghimpun BTH memberi pengantar: Kumpulan puisi ini sebagai wujud karya
kelompok mahasiswa progam studi pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta – yang telah bertekun
diri menekuni bidang puisi (BTH,
2017, hal: 3). Hal penting yang didapat pembaca dari pengantar Agus Budi
Wahyudi, bahwa dapat mengetahui proses kreatif kolektif dari delapan penyair
mahasiswa perempuan ini menghasilkan buku puisi yang ditulis di bangku kuliah.
Pembaca jarang mendapat buku hasil
proses kreatif kolektif yang ditulis mahasiswa di bangku kuliah. Pembaca jadi
teringat buku The Little Prince karya
Antoine de Saint-Exupery yang diterjemahkan bersama oleh mahasiswanya Wing
Kardjo dan diterbitkan Pustaka Jaya. Patut disyukuri dan dirayakan untuk delapan
penyair mahasiswa perempuan ini, bahwa teori di bangku kuliah dipraktekkan
dalam bidang puisi dan dihasilkan sebagai buku antologi puisi. Semoga Agus Budi
Wahyudi terus menghimpun karya mahasiswa berikutnya.
Kemelayuan Thailand Bagian Selatan
Tak
ada rindu kampung halaman dalam puisi penyair mahasiswa perempuan Thailand
bagian Selatan. Beberapa judul dalam puisi mereka yang sekilas menyiratkan
kampung halaman, justru seolah berada di Indonesia. Atau pembaca keliru, sebab jangan-jangan
alam Thailand bagian Selatan ternyata serupa dengan alam Indonesia. Sehingga
rindu kampung halaman tersamarkan atau tak pernah ada, karena mereka menganggap
Indonesia sama dengan kampung halaman sendiri.
Asumsi
pembaca hanya subjektif belaka, meski dalam puisi penyair mahasiswa perempuan
Thailand bagian Selatan ditemukan kemelayuan (bukan kethailand-an). Seorang
sahabat memberi gambaran jawab kepada pembaca, bahwa sebagian besar di Thailand
bagian Selatan dihuni oleh bangsa melayu. Jawaban seorang sahabat masuk akal
membuyarkan asumsi pembaca. Tapi pembaca sedikit ragu, karena belum pernah ke
sana. Pembaca hanya bisa menduga rasa cinta kemelayuan mereka lewat himpunan
puisi BTH.
Pembaca
hanya bisa menduga, misal penggalan puisi berpantun: Pohon kayu berwarna hijau/ pokok
bunga berwarna merah/ perpisahan
jangan kita risau/ karena hati kita
tak akan jauh// (“Pantun” karya S, hal: 28), puisi hubungan Melayu dengan
Indonesia: Indonesia bersejarah melayu/
Sejarah pahlawan sangat hebat, jagalah
negeri ini// (“Indonesia” karya N, hal: 46), dan puisi tentang tanah air: Tetapi di manakah engkau sekarang/ Engkau dirampas tanpa perikemanusiaan/ Engkau dihisap, engkau dihina, engkau
dizalimi/ (“Tanah Air Tercinta” karya F, hal: 58).
Dugaan
pembaca mendapat hasil setelah memahami rasa cinta kemelayuan penyair mahasiswa
perempuan Thailand bagian Selatan. Mereka terombang-ambing identitas yang
berbeda di Thailand, tapi merasa sama identitas kemelayuan di Indonesia. Beruntung
pembaca menemukan penggalan puisi yang menyiratkan falsafah hidup mereka: Agama yang kupegangi/ Melayu yang kumiliki/ Bangsa yang kucintai/ Tanah air yang kubela// (“Cintailah
Tanah Air” karya S, hal: 23). Sayang, tanah air mereka dalam BTH begitu universal dimaknai pembaca.
Penyair Menulis Bangku Kuliah
Banyak ragam tema puisi dihadirkan penyair
mahasiswa perempuan Indonesia. Tapi pembaca tertarik membaca kehidupan di bangku
kuliah dalam puisi mereka. Alasan pembaca sederhana, karena BTH sebagai hasil proses kolektif di
bangku kuliah. Pembaca merangkum beberapa judul, yaitu: “Gedung Kampusku” karya
ER, “Pengabdian Kami” karya KSP, “Tanpa Tanda Jasa” karya SS, ”Hanya Nol Koma”
karya RS, dan “Coretanku” karya PH. Kehidupan di bangku kuliah dalam puisi mereka
dibagi pembaca menjadi dua: rasa positif dan rasa negatif.
Rasa
positif hadir dalam tiga puisi: “Gedung Kampusku” karya ER, “Pengabdian Kami”
karya KSP, dan “Tanpa Tanda Jasa” karya SS. Rasa positif yang dirasakan
pembaca: Kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan; hubungan mahasiswa dengan dosen begitu kuat dan manis; tahu
kewajiban setelah lulus berprofesi sebagai guru yang mengajari para tunas
bangsa. Pembaca mengutip tiga puisi rasa positif dari ER, KSP, dan SS, yaitu:
Siap mencatat mata kuliah
Selalu menyenangkan di
dalam gedung itu
Berjalan, beristirahat
menikmati indahnya taman
Bergurau bersama kawan
(“Gedung Kampusku” karya ER, hal: 64)
Kami
hadir menyambut cita-cita
Menemani
malaikat kecil mengenal dunia
Kepakan
sayap berbulu ilmu
Mengarungi
cakrawala menembus batas
Iya
Ini
pengabdian kami
Kami
hadir menyambut mimpi
(“Pengabdian Kami” karya KSP, hal: 82)
Kau
bungaku
Tetaplah
seperti ini
Menebarkan
aroma wangi untuk kami
Sang
suri tauladan
Orang
sebut dalam falsafah jawa digugu lan ditiru
(“Tanpa Tanda Jasa” karya SS, hal: 86)
Sedang
rasa negatif hadir dalam dua puisi: “Hanya Nol Koma” karya RS dan “Coretanku”
karya PH. Rasa negatif yang dirasakan pembaca: Kritik identitas yang ditunjukkan
diri sebagai mahasiswa; kengerian dan kesedihan sebagai mehasiswa penuh tugas;
tak ada hubungan antara mahasiswa dengan dosen, seolah tersekat dalam batas
kedudukan; ambigu pada cita-cita kelak keluar dari bangku kuliah. Pembaca
mengutip tiga puisi rasa negatif dari RS dan PH, yaitu:
Semua
dapat kurasakan
SKS
rutin kubayarkan
Walau
sering gelagapan
Tiap
menjelang kelulusan
Tak
juga mendapat penghargaan
(”Hanya Nol Koma” karya RS, hal: 107)
Tuntutan
dari raksasa mahasiswa
Hingga
membuatku tak bisa berbuat apa-apa
Di
bawah tekanan kubertahan
Helai
demi helai daku coba hayati
(“Coretanku” karya PH, hal: 112)
***
Selesai
sudah catatan pembaca membaca puisi dari delapan penyair mahasiswa perempuan
ini. Tak gampang mengumpulkan mahasiswa yang sama-sama bertekun menulis bidang
puisi, apalagi berbeda negara. Sekali lagi, selamat. –
Surakarta, 2017
Aji
Ramadhan, penyair kelahiran Gresik, 22 Februari
1994.
Tinggal di Surakarta. Belajar di
ISI Surakarta. Puisinya terhimpun
di pelbagai media.
foto profil oleh Mbak Yani aka Cat Miaw
foto profil oleh Mbak Yani aka Cat Miaw
Tags:
Acara
0 komentar