10 Bacaan Wajib Setelah Maghrib, oleh Muhammad Qoyyum



Dia tengadahkan mukanya ke atas. Ke mana lagi kalau bukan ke atas? Atas adalah arah dari segala derita. Tetapi juga, arah dari segala harap dan doa
(Iwan Simatupang, Merahnya Merah)

Dulu, ketika saya baru saja lulus dan beberapa bulan bekerja, ratusan buku saya beli tanpa ada rasa eman. Kepada setiap orang yang bertanya, mau diapakan buku sebanyak itu, saya selalu bilang: Membaca adalah kenikmatan tertinggi nomor dua yang bisa dicapai seseorang. Nomor satu berma’rifat pada Tuhan. Tentu saja saya sedang sok belaka. He.. he... Dalam hati saya membatin: “Saya membaca karena membaca itu sangat menyenangkan.
Membaca itu serupa beribadah. Mengapa? Karena,  bila beribadah adalah bermakrifat. Membaca adalah bermakrifat. Anda yang agak religius pasti akan memahami sebuah ritual sehabis maghrib, yang bagi sebagian orang bila ditinggalkan terasa seperti diputus pacar. Mengaji Al Qur’an adalah salah satu ciri orang beriman. Dalam dunia literasi, membaca apa pun adalah baik, tentunya bila dibandingkan dengan orang yang tidak membaca. Pawon belum lama ini menyebarkan edaran terkait sayembara tentang buku bagus apa yang musti dicetak ulang. Buku yang apabila dibaca menimbulkan daya magis. Buku yang sayang dilewatkan begitu saja.
Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat perkembangan penerbitan buku yang cukup bagus. Generasi penulis baru mewarnai dunia perbukuan di Indonesia. Mereka yang sadar bahwa menulis adalah panggilan hidup. Saya susun sepuluh buku yang seharusnya ada di rak setiap pembaca khusyuk, yang salah satunya mesti dibaca setelah maghrib.

Simulakra Sepakbola (Zen RS)
Di antara segelintir buku bergenre sepakbola yang telah diterbitkan di Indonesia, barangkali Simulakra Sepakbola adalah salah satu yang terbaik. Penulisnya, Zen RS, adalah seorang esais produktif yang tulisannya tersebar di berbagai media. Dan, ia adalah pionir penulisan buku sepakbola di Indonesia setelah Sindhunata. Sindhunata dianggap sebagai Johan Cruyff untuk football writing di Indonesia. Sementara, Zen dianggap mewakili sosok Guardiola sebagai penyempurna. Zen dengan gegap gempita mengompori anak-anak muda untuk menulis buku, terutama sepakbola. Ia (bersama Andre Marbun) mendirikan panditfootbal.com untuk memberi wadah penulisan sepakbola di Indonesia yang tengah mati suri. Buku ini ibarat wahyu yang diturunkan dari pertapaannya, setelah sekian lama ia hanya menulis di media media.

Merahnya Merah (Iwan Simatupang)
Mencari buku ini sulit. Jangan harap anda masuk ke Gramedia dan Toga Mas lalu menemukan buku ini di rak terdepan bertulisan best seller. Bahkan, ketika anda pergi ke Gladak atau Kwitang sekalipun. Ini adalah buku terpenting Iwan Simatupang, selain Ziarah. Dialog-dialog yang dibangun dalam novel ini sangat memukau. Merahnya Merah dianggap novel absurd yang kental dengan aliran filsafat dan sulit dipahami pada zamannya. Namun, novel ini menjadi menarik karena Iwan menggarap setiap peristiwa dengan detail dan gamblang. Novel Merahnya Merah meraih penghargaan hadiah sastra nasional pada tahun 1970.

Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer)
Tidak afdol rasanya bila tak ada nama Pram dalam daftar ini. Tak melulu tetralogi Bumi Manusia yang selalu diperbincangkan dan dicetak ulang. Novel ini seharusnya juga berada di rak yang sama. Apalagi dibarengi dengan gembar- gembor pemerintah yang hendak menjadikan Indonesia sebagai penguasa lautan seperti zaman Majapahit dan Singosari dulu. Jujur saja, saya merinding saat membaca buku ini, membayangkan tekad baja Pangeran Unus yang berusaha menaklukkan Malaka lewat jalur laut dengan peralatan yang seadanya, membayangkan perasaan Galeng yang saat pulang dari perang disodori seorang bayi berhidung Arab, yang harus diakuinya sebagai anak. Pram bercerita dengan sangat fasih seperti kebiasaannya. Novel ini habis dalam sehari baca karena memang sangat recommended.

Inilah Esai (Muhidin M Dahlan)
Selain seorang penulis produktif, Muhidin adalah seorang juru kliping profesional. Entah itu diakui sebagai profesi atau tidak. Muhidin adalah pengikut setia Pram dalam segala hal, termasuk mengkliping. Tulisannya buas dan penuh kontroversi. Anda tentu tahu buku-buku seperti Adam Hawa,Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur atau Kabar Buruk dari Langit. Inilah Esai adalah buku yang ditunggu oleh para penulis karena bobot isinya yang bagus mengingat penulisnya adalah juru kliping yang memiliki banyak bahan tulisan terkait esai.

Catatan Pinggir (Goenawan Mohamad)
Saat itu Berlin sedang musim dingin. Orang-orang memilih untuk tetap berdiam di rumah daripada harus menahan dingin yang menyayat kulit. Goenawan Mohamad (GM) menghadapi dilema. Hotel tempatnya menginap di Jerman itu tidak dilengkapi fasilitas internet. Padahal, catatan pinggir harus segera disetor untuk diterbitkan.
Jika nekat ingin mengirim caping (catatan pinggir) lewat email, saya harus menempuh jarak 3 km dan melawan dingin. Akhirnya, saya tulis caping dengan SMS. Capek sekali saya.
Penyair kita ini sudah menulis catatan pinggir sejak tahun 1976. Sampai sekarang, 2017, masih tetap menulis. Empat puluh tahun ia menulis catatan pinggir, tetap saja gaya menulis GM yang cerdas dan berbobot tak pernah hilang.

Islam Sebagai Dasar Negara (Mohamad Natsir)
Agama menurut Natsir harus dijadikan fondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama bukan semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Islam adalah kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.  Yang dituju Islam adalah agar agama meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah, dan perundang-undangan.
Anak muda ini berani sekali ! Berani-beraninya ia bermimpi menjadikan Islam sebagai dasar negara. Seperti halnya komunisme atau demokrasi sekalipun, pemikiran tetaplah pemikiran yang harus diberi tempat. Natsir telah membuktikan kapasitasnya sebagai pejuang di jalan yang ia kehendaki, seperti halnya Tan Malaka.

Sejarah Indonesia Modern:1200-2008 (MC Ricklefs)
Awalnya, saya ingin memasukkan buku Soekarno yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dalam daftar ini, namun saya perlu memasukkan setidaknya satu buku sejarah bermutu yang tentunya ditulis oleh orang luar. Saat ini belum ada sejarawan yang cukup mumpuni yang menulis tentang sejarah Indonesia hingga berjilid-jilid. Saya kira itu soal kemauan yang kurang, kurang memiliki semangat dalam menggali fakta sejarah. Sejarawan Indonesia perlu menulis sejarah bangsanya sendiri agar orang Indonesia tidak  keterusan bodoh. Agar tidak selalu mewarisi sifat inlander yang menuhankan ketakutan. Setidaknya bila tak bisa menaklukannya jangan biarkan ketakutan meneror kita.

Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono)
Puisi Sapardi Djoko Damono memiliki ciri sederhana, namun indah. Saya teringat perkataan salah satu pemain sepakbola terbaik sepanjang masa Johan Cruyff terkait kesederhanaan, “Bahwa sepakbola adalah permainan sederhana,tetapi memainkan permainan sepakbola dengan cara sederhana adalah sangat sulit.” Saya kira demikian juga dengan puisi. Menulis puisi dengan bahasa yang sederhana namun memukau adalah perkara sulit. Perkara yang mungkin oleh Joko Pinurbo atau Triyanto Tiwikromo hanya dibalas dengan kedipan dan senyuman kecut.

Saleh Ritual, Saleh Sosial (A Mustofa Bisri)
Ada nama Gus Mus?  Jangan heran. Saya memasukkan nama ini sebagai penyeimbang. Kalau dalam sepakbola posisi Gus Mus adalah sebagai gelandang bertahan yang bermain di antara bek dan gelandang. Seperti dalam kehidupan nyatanya, ia adalah seorang yang selalu berusaha menjadi penengah. Lewat buku ini disampaikan bahwa manusia tidak hanya harus bisa saleh ritual tetapi juga harus bisa menjadi orang yang saleh sosial. Menghargai sesama manusia, menghargai perbedaan, bersikap adil dan yang paling penting memanusiakan manusia.

Madilog (Tan Malaka)
Pemikiran brilian Tan Malaka dimuntabkan dalam buku ini. Ia adalah seorang laki-laki yang pikirannya melampaui zaman. Visioner! Buku setebal 410 halaman ini ditulis oleh Tan Malaka selama 8 bulan dan selesai pada tanggal 30 Maret 1943. Buku ini memuat berbagai hal yang dikupas lewat segi madilog (material–dialektika–logika). Cara berfikir Tan Malaka yang tajam dan kritis memperlihatkan karakternya sebagai salah satu bapak bangsa. Buku ini wajib dibaca oleh mahasiswa yang tujuan kuliahnya hanya mencari nilai

Cukup adil? Saya rasa ini adalah komposisi yang paling pas meski masih banyak buku yang seharusnya ada dalam daftar. Banyak buku berkualitas yang mesti terus dicetak atau diproduksi agar generasi yang tumbuh sekarang mendapatkan asupan bacaan yang berkualitas. Minimal tidak kebangetan bodohnya kalau tak mau mencapai level amat pintar. ||

Share:

0 komentar