Bertemu Rona Buku, oleh Na’imatur Rofiqoh



Saat perpustakaan tutup pada pukul enam petang, buku-buku saling bicara tanpa sepengetahuan manusia. Satu buku mengeluh encok karena dibaca oleh anak-anak sambil tiduran. Buku yang lain angkuh tak akan kena encok sebab tubuhnya bersampul karton tebal. Terdengar pula keluhan sebuah buku sebab tubuhnya berminyak. “Gara-gara si Dardo, makan sambil mengunyah pisang goreng....” Di suatu sudut, sebuah buku berceloteh, “Itu belum apa-apa. Si Kunyil baca sambil makan bakso dan kuahnya menyiram tubuhku... Tak tahan aku bau bawang putih.”
Perpustakaan ramai oleh percakapan buku. Buku-buku berkeluh kesah agar anak-anak diberi pelajaran tata tertib membaca. Dengarlah gerutu mereka pada para pembaca cilik itu: “Membaca harus sopan. Duduk di kursi menghadap meja. Badan tegak. Jarak antara buku dan mata jangan terlalu dekat atau terlalu jauh. Tidak boleh membaca sambil makan, atau sambil tidur. Jadi mata tak cepat rusak.” Gertakan pamungkas, “Dan hormatlah sedikit kepada para buku yang berjasa membuat mereka pintar...” Belum usai keriuhan itu, sebuah buku tua menyahut, “Jangan mengeluh, nasibmu lebih baik daripada buku yang tak pernah dibaca, hanya pengisi rak buku.”
Kisah percakapan buku-buku itu kutemukan pada suatu sore di majalah Bimba, lembaran anak sisipan majalah Femina nomor 105, tahun 1977. Kisah diberi judul Suka Duka Buku. Di dalam cerita, aku hanya mendapati buku-buku yang berduka. Buku-buku terluka saat dibaca lebih beruntung daripada buku-buku berdebu yang mampus di rak-rak buku. Sore itu aku turut berduka bersama buku-buku mengingat peristiwa silam berhari-hari lalu.

Dilema (Calon) Pembaca
Buku itu penggoda paling merangsang di antara ratusan benda sejenis yang bersolek di hadapan mata. Tubuhnya molek berisi: ketebalan yang sering meruntuhkan gairah calon pembaca menjamahi lembar demi lembar. Sampul berwarna putih bergambar beberapa tangkai bunga berwarna kesumba. Pilihan huruf pada judul memberi suasana keteguhan di atas kembang yang sendu. Buku itu: Moemie, Gadis Berusia Seratus Tahun (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016).
Di sampul belakang, godaan buku makin menggebu. Dia merayu, “Sejarah kolonialisme, kita tahu, bisa dibaca dari dua sudut, yaitu kaum penjajah dan kaum terjajah. Tetapi ada sudut yang lebih abu-abu, yaitu kaum peranakan. ... Lewat novel ini, setidaknya, kita membaca sejarah kita sendiri dari sudut yang lain.” Rayuan membawa ingatan menuju rak buku di kos, tempat garapan Hilde Janssen, Tanah Air Baru, Indonesia (Gramedia, 2016) telah berdiam. Aku tak bisa menahan nafsu. Penghabisan November itu, buku berpindah dari toko ke rak buku.
Hari demi hari, rupanya aku tega membuat buku baru mulai berduka. Tubuh molek dan visualitas yang pernah menerbitkan gairah itu seperti tidak lagi memiliki daya. Pikirnya, barangkali, “Ternyatalah aku hanya dibeli untuk dipindahkan dan dipajang dari satu jenis etalase ke jenis etalase buku yang lain.” Aku seperti diserbu kalimat-kalimat kedukaan serupa dari ratusan buku di sekelilingnya yang belum kubaca.  Moemie barangkali tersenyum saat tanganku akhirnya merobek plastik yang mengungkung keindahannya pada suatu malam, lalu mulai tenggelam dalam pelukan huruf dan kata-kata, lembar demi lembar. Dia tak tahu pembacaan itu berdalih pertemuan dengan pencipta dirinya, Marion Bloem, di Balai Soedjatmoko, Solo.
15 Desember 2016, hari terjanjikan itu datanglah. Orang-orang telah memberi mata pada Marion Bloem. Ia duduk di pusat perhatian didampingi sang penerjemah, Ngadiyo, pemilik toko buku Diomedia. Rambut merah panjang terurai, kaki yang amat panjang memakai sandal berhak, gincu merah, dan pakaian kasual yang akan terpandang aneh menempel pada tubuh seorang nenek berusia 60-an jika dia tinggal di kampung Jawa. Puluhan orang datang malam itu, termasuk sastrawan kondang Solo, Yudhi Herwibowo, Sanie B Kuncoro, Indah Darmastuti, dan Han Gagas.
Setelah ocehan pembuka berakhir, sampailah acara pada detik-detik menegangkan—seperti selalu yang terjadi pada acara sastra di Balai Soedjatmoko. Saat Ngadiyo menawarkan pada pemirsa acara sastra untuk turut ngobrol, siapakah yang bakal menerima dengan antusias? Pada beberapa kali kehadiranku di obrolan sastra Balai Soedjatmoko, belum pernah sekali pun aku merasa terpukau oleh keseruan pembaca (atau calon pembaca) mengobrolkan buku sastra dengan heboh. Orang-orang yang hadir di ruangan itu seolah selalu terlihat seperti patung-patung batu yang menatap buku, penulis, dan atau pengulas buku tanpa daya. Ketakberdayaan sebab belum membaca buku yang sedang diobrolkan, atau sebab tatanan ruang yang meskipun lesehan selalu membikin segan.
Berbilang detik, bencana itu pun terjadilah. Ada jeda yang tidak nyaman dan agak memalukan untuk menghadirkan satu orang saja yang berhasil selesai membaca 621 halaman Moemie. Keheningan yang riskan itu pecah oleh panggilan Ngadiyo pada satu nama pemirsa. Sastrawan Yudhi Herwibowo menggeleng ketika diminta. Aku melirik Moemie yang dibawanya. Terlihat sebuah pembatas buku mencuat tak sampai pada setengah buku.
Panggilan berikutnya pada esais asal Boyolali, Setyaningsih. Dia memukau para pemirsa dengan kejelian pada peristiwa-peristiwa sepele tetapi penting dalam buku. Usai kata-kata Setyaningsih yang agak panjang, detik-detik menegangkan berulang. Hening. Setyaningsih menunjuk padaku, memberi tanda pada Ngadiyo aku telah usai pula membaca Moemie.
Kakiku melangkah dengan keangkuhan yang begitu rupa. Bukan sebab akan ngoceh untuk pertama kali di Balai Soedjatmoko, tetapi semata-mata sebab aku telah merampungkan buku Moemie dan dapat gagah melangkah menuju Marion Bloem. Aku tak peduli meski mengalami kerancuan kata-kata ditambah penerjemahan yang agak mengecewakan saat “ngobrol” dengan Bloem. Dari puluhan tubuh-tubuh (mengaku) sastra malam itu, rupanya hanya dua orang yang datang ke acara dengan bekal telah selesai membaca buku. Oh, aku tidak perlu kecewa. Peristiwa ini tentu hal biasa yang wajar-wajar saja bagi publik sastra Solo.
Ocehan-ocehan berikutnya adalah paduan dari kecemasan “siapa lagi yang akan dipanggil untuk ngoceh berikutnya” dan was-was “bagaimana agar acara sastra ini tetap berlanjut dengan seru agar kita tidak malu-maluin di hadapan penulis asing.” Entah sebuah keberuntungan (bagi muka Balai Soedjatmoko) atau kesombongan yang keterlaluan (si calon pembaca) ketika ada dua atau tiga orang berikutnya mau menyumbang kata-kata (di antaranya dalam bahasa Inggris yang seadanya) meski belum membaca satu kalimat pun dalam Moemie.
Acara sastra yang tidak menggairahkan itu rampung sekitar 21.30, agak terlalu sore dari biasanya. Anehnya, begitu acara secara resmi ditutup, para sastrawan kenamaan Solo dan segerombolan orang serta merta mengelilingi Bloem yang belum beranjak dari tempatnya. Yudhi Herwibowo tampak bercakap seru dengan Bloem. Wajah mereka semringah. Apakah percakapan yang terjadi mengenai buku Moemie, mereka bertukar pengalaman berbuku, atau obrolan tentang si penulis belaka? Pujian berdasarkan bab-bab awal pembacaan?
Tak lama, kumpulan orang di muka ruangan itu terlibat sebuah “diskusi” seru dalam tempo tak singkat. Seperti acara sastra malam itu baru saja benar-benar dimulai. Wajah-wajah tersenyum takjub atau turut tertawa jika yang lain tertawa. Sekumpulan orang (atau calon pembaca yang bagai besi digerakkan oleh daya magnetis yang sama. Beberapa jepretan kamera, lalu tangan Bloem yang menuliskan sesuatu pada sampul dalam buku Moemie yang disodorkan padanya... Aku berbagi obrolan dengan para esais di belakang sambil menikmat penganan yang tadi luput disajikan.
Obrolan sastra itu amat berbeda dengan obrolan-obrolan yang  kusaksikan seperti dalam film Before Sunset (2004), PK (2014)  atau True Story (2015). Dalam film-film itu, obrolan buku, pertemuan pembaca (selalu pembaca, bukan calon pembaca) dengan penulis terjadi di toko buku. Tak ada dekorasi flamboyan selain kursi-kursi untuk hadirin dan poster petunjuk buku. Penulis dan pembaca bermartabat dan tak perlu menanggung malu di hadapan buku. Peristiwa itu magis: obrolan disaksikan oleh ratusan atau ribuan buku-buku di toko.
Buku-buku yang berjajar di rak itu barangkali semringah menyaksikan orang-orang begitu bergairah hanya untuk mengobrolkan satu saja dari dirinya. Barangkali rona-rona merah menghinggapi pipi buku, bersambung harapan merdu haru biru, “Jika satu buku baru mendapat sambutan yang begitu meriah oleh para membaca, jika satu buku baru dapat memperoleh begitu banyak kata dari si pembaca, oh, betapa bahagia diriku, satu buku ini!” Oh, jika saja!
Kapankah publik sastra Indonesia sanggup menyambut sebuah buku dengan gegap gempita seperti bocah-bocah di Eropa yang begitu heboh mengenakan berbagai pernak-pernik dunia sihir ciptaan JK Rowling saat menyambut buku-buku Harry Potter teranyar dan bersama penulis tenggelam dalam kata-kata saat buku dibacakan oleh penulis sendiri?

Di Hadapan Buku
Urusan publik sastra Indonesia selalu saja lebih tertaut pada penulis, bukan pada buku. Orang merasa jumawa saat bisa menyebut nama-nama besar pada obrolan dibanding mengobrolkan tulisan-tulisan mereka sampai detail terkecil dan sanggup menciptakan humor darinya. Pada obrolan-obrolan bertajuk sastra, terlebih yang menghadirkan sastrawan moncer Indonesia, seperti Sapardi Djoko Damono yang sempat hadir pula di Balai Soedjatmoko, berapakah orang yang mau lebih terhormat di hadapan buku Sapardi, Suti (2015), ketimbang di hadapan si penulis?
Balai Soedjatmoko sesak penuh orang malam itu. Tetapi, orang-orang tak begitu acuh pada si buku. Seorang yang hadir bahkan dengan nekat memastikan tafsir atas puisi-puisi pada Sapardi demi tesisnya. Buku-buku Sapardi baru hadir dan mulia saat Bandung Mawardi ngoceh panjang sambil berdiri. Usai acara, orang-orang berbondong memanfaatkan buku demi sebuah potret bersama. Mereka tega merepotkan kakek bungkuk yang kulitnya sudah keriput itu agar menandatangani buku-buku yang di bawa. Tanda tangan dan foto hampir bisa dipastikan akan berlanjut pada pameran di media sosial. Sastra habis dalam kata “bagus banget”, “recommended”, dan “akhirnya dapat tanda tangan penulisnya”. Peristiwa cengkrama bersama buku tak sempat lagi terjadi dan dibagikan pada si penulis saat bertemu. Apakah sastra Indonesia bakal lebih banyak memiliki bukti tanda tangan dan foto?
Pada obrolan-obrolan sastra yang aku hadiri di Balai Soedjatmoko, Solo, aku seperti selalu menyaksikan penyiksaan yang begitu kejam dan tidak manusiawi dialami oleh buku-buku. Puluhan pasang mata, puluhan mulut dan telinga, memberikan derita pada lembar-lembar berhuruf dan kata itu dengan luka tiada terperi: mereka angkuh hadir dalam obrolan sastra tanpa ada kehendak membekali diri dengan sekadar sudah membaca buku itu. “Wahai, rupanya dirimu datang hanya demi bertemu manusia yang menciptaku dan bukan demi diriku, hasil ciptaannya, si buku...? Dari manakah kalian benar-benar dapat mengerti penciptaku tanpa sanggup mengerti keindahan cipataannya?” Mata buku menganak sungai air mata.
Jika saja buku dapat berucap dan diberi hak bicara pada hadirin obrolan sastra di Balai Soedjatmoko, mungkin saja dia bakal bilang—dengan pesona huruf dan kata-kata pada sebuah buku yang amat apik macam Rumah Kertas, “Brengsek.” ||

Tags:

Share:

0 komentar