Sepuluh Buku, Menjenguk Biografi Kanak oleh Setyaningsih



Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja
aku kekasih atau pacar malangmu.
Selamat panjang umur, cetak ulang selalu.

(Joko Pinurbo, Selamat Ulang Tahun, Buku, 2016)

Buku-buku bacaan anak menempati biografi berimajinasi. Ada buku-buku yang masih tersimpan rapi, mengingatkan pada gejolak masa kanak berkata dan berbahasa meski angka usia makin bertambah. Sebagian, buku hanya ada dalam pembayangan raga karena buku-buku di masa itu masih jadi sebentuk kemewahan kecil di dunia. Buku hanya bisa seolah dimiliki dalam identitas diri sebagai peminjam, penyewa, bahkan sekadar pelirik. Tidak ingin menyerah sebagai pengecut di hadapan huruf-huruf, cerita-cerita dijaga dalam ceruk batin yang mengabadi sembari hari-hari berlalu meninggalkan masa belia nan berbahagia.
Tatkala berkunjung ke salah satu rumah seorang penulis sekaligus pegiat sastra di Solo, obrolan-obrolan mengalir sampai pada buku-buku legendaris masa kanak. Sang nyonya rumah mengeluarkan satu paket amat manis buku detektif bocah Lima Sekawan garapan Enid Blyton edisi cetak ulang dalam wadah kotak. Saya membayangkan sepaket buku bertengger di lemari sebagai pembawa imajinasi membaca di masa kecil. Ada buku-buku dipunyai kembali dalam usia yang tidak lagi kanak, sungguh ada cerita dan penulis monumental yang tidak mungkin dihilangkan selama hidup.
Obrolan malam itu juga sempat menyinggung Madita, Lisbet, dan Pippi-nya Astrid Lindgren. Si nyonya rumah mengaku sudah menyumbangkan buku-buku Lindgren. Saya hanya bisa terpaku, menghening tidak sempat gelisah. Sungguh, saya sedang mencari-cari buku garapan Lindgren dan sangat terlambat membaca Lindren, tapi masa kanak sempat bertemu Enid Blyton di persewaan di dekat sekolah SMP. Andai tidak bersekolah di Kota Solo, keterlambatan pasti berlaku lebih parah. Buku-buku anak yang bukan pengadaan pemerintah jelas ada di kota. Buku-buku bacaan anak Inpres menumpuk di sekolah SD. Tidak ada guru yang sanggup mengajarkan etos membaca. Saya jadi teringat Pippi Si Kaus Kaki Panjang (2014) oleh ilustrasi Lauren Child dalam cetakan baru terbitan Bhuna Sastra, ukuran sudah berbeda dari cetakan oleh Gramedia.
Dari segala tragedi keterlambatan ini, saya mengusulkan dua buku anak yang harus dicetak ulang adalah Madita (1984) dan Madita & Lisbet (1985) milik Astrid Lindgren tetap dalam ukuran buku asli terbitan Gramedia. Tanpa perubahan yang terlalu mencolok sejak dalam bentuk buku, ada kesan kelawasan yang masih bisa dirasai, terutama bagi tangan pembaca dewasa atau orang tua yang kembali meziarahi biografi membaca. Ukuran buku juga akrab bagi pembaca kanak. Meski sejak awal 1945, Lindgren mengenalkan tokoh anak-anak lincah dan ‘ada-ada saja’ kepada dunia, bukan alasan kepopuleran penyetakan kembali.
Alam Swedia terasa dekat dengan biografi agraris bumi Indonesia. Cerita tentang binatang, makanan, piknik, pasar malam, pohon, kampung, ataupun rumah adalah tamasya kultural yang menegangkan sekaligus mengasyikan. Cara pikir dan tindakan Madita dan Lisbet yang sering mengacaukan kemapanan dan membingungkan konsensus hidup bermasyarakat di tengah orang-orang dewasa, bisa jadi pengalaman merasai kebebasan. Apalagi, bagi anak-anak Indonesia yang makin sulit merasa bebas sejak memasuki bangku sekolah. Berimajinasi sekalipun jadi terasa sulit. Madita dan Lisbet membagi kegembiraan di tengah kejahilan dan kekonyolan, sekaligus pengajaran tentang makna berempati, berteman, dan berbagi kasih sayang tanpa ada stempel pendidikan karakter atau budi pekerti.      
Barangkali, Madita dan Lisbet memang tidak berniat melakukan penyindiran tentang cara beragama meski ada cerita lucu di buku Madita & Lisbet (1985) dialihbahasa oleh Listiana. Saat Madita mengingatkan berdoa malam sebelum tidur, Lisbet menjawab, “Siapa bilang. Aku sudah berdoa waktu hari Minggu. Tujuh kali! Pas untuk seminggu.” Seperti tagihan atau tabungan, doa pun bisa dicicil. Nalar kecil Lisbet tidak ingin meluputkan doa meski dalam tindak menabung di awal. Pengertian doa terasa ringan bagi anak-anak. Doa dihitung seolah juga menyindir cara beragama mutakhir yang bisa didefinisikan dengan angka-angka. Bahkan pahala dihitung tanpa malu-malu dalam bentuk rupiah. Madita dan Lisbet tidak hanya bercerita untuk anak-anak, tapi juga orang-orang.
Buku-buku bacaan anak terjemahan tidak dipungkiri membeli pukau lebih. Kebanyakan buku tidak berniat memolitisasi anak, terutama seperti buku-buku Inpres oleh pemerintah Orde Baru. Namun, buku kumpulan puisi anak-anak Puisi Rumah Kami (1984) garapan K Usman adalah satu dari sekian buku anak masa Orde Baru dengan program bombastisnya berlabel “Milik Negara Tidak Diperdagangkan” yang saya rasakan harus dicetak ulang. Tiada peduli seberapa besar keburukan Soeharto, ia tetap tidak terkalahkan dalam masalah pengadaan bacaan anak. Pun, bukan karena Puisi Rumah Kami pernah terpilih sebagai buku terbaik bidang puisi, kelompok bacaan anak-anak terbitan tahun 1984 atau mengalami cetak ulang ketiga pada 1992, menjadi alasan buku dihidupkan kembali. Ada tema-tema bersahaja yang sangat bisa dijadikan pengenalan atas nasib beragama, berkeluarga, kemodernan, kampung, satwa, tetumbuhan. Puisi Rumah Kami memang tidak digarap oleh anak-anak, tapi K Usman bisa bersuara lewat ketokohan anak bernama Mega.
Ia berpuisi tentang jendela, piring, pagar, lampu, kucing, pepaya, lemari, kamar, tikar, dan benda-benda lain di rumah. Samar-samar kita mendapati keluguan, termasuk cara Mega meresepsikan kehadiran negara di keseharian tanpa suara marah-marah. Kita cerap puisi “Lampu-lampu”, Di rumahku engkau bernama lampu gantung/ Di rumah tetangga kami yang baik hati/ Engkau disebut listrik/ Jalan di desa bagai siang bila engkau menyala/ Ketika listrik masuk desa/ Ayah dan Ibu ingin sekali mengundangmu/ Tetapi uang Ayah dan Ibu tak seberapa/ Dan engkau tertunda masuk ke rumahku/ Lampu-lampu/ Engkau adalah sahabatku.
Berpuisi dari benda-benda bersajaha jadi manifestasi paling dekat untuk mengujicoba bahasa meski benda-benda sering diabaikan. Puisi benda-benda rumah mengembalikan emosionalitas meruang saat rumah-rumah sekadar jadi simbol memiliki bukan lagi memaknai dan menciptakan cerita. Rumah sendiri justru tidak dikenali, padahal begitu banyak benda dan perabotan menyerbu rumah. Kejelian pada hal sepele yang memantik cara berpikir, kepekaan rasa, naluri berbahasa, dan imajinasi berkelana.
Bacaan Agraris
Usai menghayati buku baru Cerita & Lagu Anak Nusantara (BIP, 2016) garapan Musik Hana Midori atas restu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya merasa bahwa buku-buku yang patut diterbitkan ulang adalah buku-buku bacaan lawas era 40-50-an: Sinar (R Soekardi, 1949), Titian (1950, RM Djamain), Batjaan Bahasaku jilid 1B (S Sastrawinata dan BM Nur, 1957). Buku-buku memang didaulat sebagai bacaan sekolah, tapi sangat bisa jadi asupan keluarga agar keseharian tidak selalu berkesan mutakhir serta teknologis.
Dalam Cerita & Lagu Anak Nusantara mengawali cerita dengan agak keterlaluan, mengimpor alias mendatangkan anak-anak super dari Planet Musikal untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia dari keburukan. Sebenarnya, buku ini memberi harapan besar bagi Indonesia untuk menjadi bangsa pencipta perangkat teknologi, tidak selalu mengimpor teknologi. Ada satu cerita berjudul “Tamasya Keluar Kota”. Dalam perjalanan melewati pemandangan yang amat indah, “Ayah menoleh ke arah samping. Ternyata ibu sibuk dengan ponselnya. Lalu, Ayah melirik ke kaca spion dan melihat Gilang serta Ella kakaknya sibuk dengan gawai masing-masing. Sepertinya Gilang asyik main game, sementara Ella sibuk berfoto selfie.”
Gila! Anak super bernama M6 ditugasi memperbaiki situasi ini. Dengan alat komunikasi ciptaannya, ia membuat seluruh layar gawai keluarga menampilkan pemandangan indah. Ayah pun mengingatkan bahwa di luar mobil mereka ada pemandangan alam yang tidak imitasi. Bayangkan, hanya untuk mengembalikan kesadaran ekologis dan mata yang waras pada sekitar, Indonesia harus mendatangkan anak super dengan kecanggihan super. Meski beresiko besar mengubah ejaan, buku-buku lawas era 1950-an bisa jadi penyelamatan kembali ke penghayatan atas alam dan sadar kepemilikan sejarah agraris. Negara bisa boros hanya untuk mengundang duta anak dari planet lain agar anak Indonesia tidak keranjingan gawai.
Menyambung harapan memiliki memori beralam Indonesia, bocah jenaka Si Samin garapan Mohammad Kasim elok dihidupkan kembali. Sejak cetak pertama pada 1924, Si Samin sudah mengalami cetak kali kesebelas pada 2007. Waktu buku yang cukup panjang memungkinkan buku bacaan berumur lebih panjang lagi. Buku tidak boleh lekas mati. Kejenakaan, kenakalan, keusilan, dan keriangan Samin sebagai bocah di awal abad ke-20 menjadi bekal menjalin pertemanan imajinatif dengan anak-anak di abad ke-21. Latar hidup telah berbeda, anak-anak kekinian masih mungkin mendapat cerita tentang ayam, puasa, durian, sekolah, adik, hantu, kuda, matematika, atau orang tua di masa lampau.
Si Samin termasuk bacaan anak yang legendaris. Christantiowati dalam Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe (1996) menuliskan jejak Si Samin sebagai pemenang sayembara mengarang anak pada tahun 1920 oleh Balai Poestaka demi menanggapi krisis bacaan tentang kehidupan anak-anak Hindia. Pada mulanya, Si Samin memilih judul Pemandangan dalam Doenia Kanak-kanak. Meski terbit di masa kolonial, Si Samin berkeras menjauh dari kesan anak-anak yang memasuki modernitas ala Barat. Latar kehidupan sekitar kampung dan rumah menampakkan Samin sebagai anak Hindia. Lantas, buku Hantjurnya Ketjurangan (Soedharma KD, 1972) terbitan Pustakan Jaya bisa jadi terusan berimajinasi pada kegigihan anak-anak sebagai penjaga biografi agraris. Tentu, bukan karena judulnya terasa membawa pesan moral yang membuat buku bisa terbit lagi. Anak-anak kekinian tidak harus pergi ke tempat wisata pertanian untuk merasai sawah dan ladang, tokoh anak-anak dalam buku bisa membagi cerita panen ubi sebagai agenda bertani di sekolah.  
Menyelamatkan biografi agraris berarti juga menyelamatkan nasib tamsil kebinatangan kita. Dua buku melengkapi delapan buku yang telah tersebutkan;  Dongeng-Dongeng Perumpamaan (Balai Pustaka, 1959) dari pengarang legendaris Jean De La Fontaine yang disadur oleh Trisno Sumardjo serta dilengkapi ilustrasi gambar oleh O Effendi dan Dongeng-Dongeng Rimba Raya garapan Djavid yang bertahan sampai cetak keempat (1977) sejak 1969 oleh Balai Pustaka. Dua buku pasti menjadi duet maut nan bertuah bagi pembaca semua usia. Saya memohon maaf terlebih dahulu karena Dongeng-Dongeng Rimba Raya sempat mendapat label Khusus SD Inpres 73/74 dan SPG Negeri. Hal ini mengartikan bahwa dua buku Inpres yang pantas dicetak ulang. Saya yakin meski label Inpres dan “Tidak Diperdagangkan” dibuang, hal ini tidak akan mengurangi tuah si buku.
Sebelum sampai ke pesan moral, Dongeng-Dongeng Perumpamaan membawa diri pada pesona bahasa. Seolah, kita kembali ke alam kesastraan lisan penuh metafora. Gaya bercerita ala pantun samar-samar mencipta irama. Dongeng-Dongeng Rimba Raya menawarkan petualangan ke hutan rimba dengan ragam binatang yang bercerita tentang kebijaksanaan sekaligus kecerobohan hidup. Membaca buku ini, perasaan jauh lebih gagah dari sekadar berkunjung ke kebun binatang.
Sepuluh buku masing-masing pernah ada dalam pembentukan diri, selera humor, cita berkeluarga, imajinasi berkebangsaan, cara berteman, dan laku beragama. Tokoh-tokoh imajinatif menemani raga bertumbuh dan bahkan diwariskan sampai ke anak-cucu dalam keragaman geografis dan kultural. Usulan-usulan sepuluh buku memang tidak memiliki dasar riset yang kuat, cukup berbekal keterpukauan seorang pembelajar yang tengah sok menghayati bacaan anak. Jika pembaca dewasa dan tua saja mengalami kegembiraan mendapati buku-buku bacaan anak lawas tercetak dan terbaca lagi, anak-anak tentu lebih memiliki kepekaan pikir dan emosi menyusun cerita-cerita yang dibiarkan masuk dan akhirnya tinggal dalam jiwanya. Buku-buku dicetak lagi demi menjenguk sekaligus membentuk diri, tidak mudah dilupakan.  ||

Share:

0 komentar