Para Saksi di Lorong Waktu, oleh Busyra
Salah satu tanda buku yang baik adalah tak usang
dimakan waktu. Buku-buku yang baik akan terus dicetak dan dibaca dari satu
generasi ke generasi lain, tanpa kesan ketinggalan zaman. Hal ini karena memang
sesungguhnya konflik dan masalah manusia pada dasarnya selalu sama. Apa yang
kita hadapi hari ini pernah terjadi di masa silam, hanya wujudnya saja yang
berbeda. Dulu manusia hendak menjelajah dunia dengan kapal laut, kini manusia
menjelajah dunia dengan pesawat terbang. Dulu, manusia menyebarkan berita kematian dan kelahiran melalui koran, kini
teknologi memudahkan manusia menyebarkan informasi tersebut melalui media
sosial. Medianya berbeda, tetapi pada dasarnya kebutuhan manusia masih sama.
Dengan banyaknya buku-buku yang terbit hari ini, apakah kita masih
membutuhkan buku-buku lawas? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai
jawaban sesuai dengan kepentingan dan tujuan membaca. Namun, secara umum, kita
memiliki buku klasik yang terus dicetak untuk mengenal asal-usul segala hal
yang ada di masa kini. Buku-buku apa saja yang layak dicetak ulang tentunya
sangat beragam terkait dengan karakteristik dan selera pembaca. Oleh karenanya,
perlu kejelian menilai kepentingan pembaca, sekaligus idealisme untuk
mengenalkan karya lama yang patut dibaca generasi pembaca berikutnya.
Di Indonesia, karya klasik memiliki cukup tempat, meski tak sebanyak
karya-karya populer kontemporer. Karya klasik yang dicetak ulang akan menemukan
pembaca baru, terlebih bila penerbitannya kembali dikemas dengan lebih menarik,
entah dari segi sampul, promosi, rekomendasi, dan sebagainya. Jadi, masih ada
harapan bahwa buku-buku baik yang pernah saya baca akan bisa dibaca kembali
oleh generasi pembaca hari ini maupun generasi berikutnya. Di sini saya akan
memberikan rekomendasi sepuluh buku (atau serial) yang sekiranya akan berumur
panjang, jika diberi kesempatan untuk dicetak kembali.
Awal abad ke-20 lalu, ada seorang penerbang asal Prancis yang juga
penulis buku, bernama Antoine de Saint-Exupéry. Pada masa itu teknologi pesawat
terbang dan navigasi masih terbatas, sehingga pesawat terjebak di awan tebal,
jatuh di gurun, bahkan tersesat di pegunungan adalah risiko umum yang harus
dihadapi. Profesinya sebagai pilot pesawat pos dan pesawat perang
memungkinkannya melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda. Di
angkasa, saat dia terbang sendiri, terkadang dia merenung tentang betapa
kecilnya dunia dilihat dari atas, betapa ragam geografi ternyata memiliki
makna, termasuk kesadaran bahwa dirinya bisa sewaktu-waktu berpisah dari keluarganya
untuk selamanya akibat profesinya itu. Pengalaman uniknya tersebut, ditambah
bakat menulisnya, menghasilkan karya-karya indah yang, dalam era pesawat ruang
angkasa hari ini, masih tetap relevan untuk dibaca. Sulit menyebutkan satu
karyanya yang berkesan, karena masing-masing memiliki kisah dan kesannya
sendiri. Namun, karena The Little Prince sudah cukup terkenal dan sudah
sering dicetak ulang, maka saya akan menyebutkan Terre des Hommes, atau Bumi
Manusia yang pernah diterbitkan di Indonesia pada tahun 2012. Buku yang
dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Wind, Sand, and Stars ini
adalah sejenis autobiografi, yang ditulis Exupéry berdasarkan pengalaman dan
perenungannya saat menjadi penerbang. Diajaknya pembaca merasakan sensasi
terbang dengan segala keindahan sekaligus bahayanya, yang mungkin bisa mengubah
cara pandang kita saat menumpang pesawat terbang saat ini.
Masih dari awal abad ke-20, dari belahan Eropa lain, seorang penulis
Inggris bernama Beatrix Potter melahirkan buku-buku anak bergambar. Dengan
fabel sederhana menggunakan berbagai karakter hewan, Potter menunjukkan bahwa
anak juga butuh kisah yang menyenangkan. Beatrix Potter dengan Peter Rabbit-nya
yang fenomenal semestinya menjadi bacaan wajib anak-anak di mana pun. Meski
banyak buku serupa telah ditulis dan diterbitkan, kesederhanaan sekaligus
kekayaan tema yang ditulisnya masih sulit ditiru. Buku ini menyimpan nilai
kejujuran, tenggang rasa, keberanian, kepedulian, dan lain sebagainya dalam
bahasa dan kejadian sehari-hari yang mudah diterima anak sejak pra sekolah.
Ilustrasi bukan hanya untuk menemani narasi, sama seperti lukisan tak
selalu harus memiliki kisah. Keberadaan ilustrasi dalam suatu buku bukan
menunjukkan usia pembacanya, bukan pula sekadar menjelaskan kalimat yang rumit
melalui gambar. Seringkali, gambar bisa bercerita sendiri, seperti Wonderstruck
karya penulis dan ilustrator Brian Selznick, yang memadukan narasi tanpa
gambar dengan gambar tanpa narasi dalam sebuah buku. Berbeda dengan kebanyakan
buku, anak maupun dewasa, ilustrasi biasanya menggambarkan apa yang ada di
narasi. Berbeda juga dengan komik yang membutuhkan dialog untuk menjadi satu
kesatuan kisah. Setiap halaman gambarnya adalah satu bingkai yang menunjukkan
peristiwa kehidupan dalam dunia yang, meski berisik, tak selalu mengatakan
apa-apa dalam kata. Karya-karya Selznick kerap berkisah tentang kecintaan
seseorang akan sesuatu, dan bagaimana dia berjuang menggapainya di tengah
rintangan yang akan selalu ada. Dengan nilai keluarga yang cukup kental,
bukunya bisa dinikmati oleh anak-anak ataupun orang dewasa.
Sebelumnya, saya mengatakan bahwa gambar bisa bercerita sendiri, seperti
sebuah galeri lukisan. Ternyata, ada penulis sekaligus ilustrator yang membuat
galeri lukisannya dalam bentuk buku, Shaun Tan. Seniman asal Australia ini
memang beberapa kali membuat buku anak bergambar, tetapi ada satu karyanya yang
berjudul The Arrival, yang menampilkan sebuah cerita utuh melalui gambar
saja, tanpa sepatah kata pun narasi. Ilustrasi apiknya ini tak hanya
membebaskan imajinasi pembaca melalui ketiadaan penjelasan, tetapi juga karena
situasi gambar yang bisa ditafsirkan beragam. Mungkin pembaca hari ini dengan
teknologi yang ada sekarang akan menangkap hal yang berbeda dengan pembaca
beberapa dekade esok, saat teknologi semakin berkembang dan apa yang tadinya
hanya impian sudah menjadi hal yang lumrah.
Berbicara tentang ilustrasi buku seperti tak ada habisnya. Ada buku
berilustrasi yang mendobrak format umum, yang mengotakkan gambar dan narasi
sebagai bagian yang terpisah. Jonathan Safran Foer, misalnya, dalam bukunya Extremely
Loud and Incredibly Close, bukan buku berilustrasi biasa. Buku ini adalah
novel, bercerita melalui narasi, tetapi dia memberikan visualisasi apa yang dibawa
oleh karakternya. Ambil contoh halaman buku kliping, surat menyurat, bahkan
saat menyalin buku harian seorang karakter yang sudah kehabisan kertas, tulisan
dalam bukunya ikut dicetak semakin kecil dan semakin rapat. Bukan hanya itu,
dari segi kisah pun, buku ini mengangkat tema keluarga yang sangat menyentuh.
Dengan karakter utama seorang anak yang memiliki trauma pasca kematian ayahnya
pada peristiwa 9/11 di New York, Amerika Serikat, Foer mengajak kita mengikuti
permainan detektif sang anak untuk mencari jejak rahasia ayahnya, atau, yang
tampak seperti itu.
Apa yang tampaknya penting,
ternyata menyimpan rahasia yang jauh lebih penting, tentang hidup dan mati,
tentang rasa bersalah dan memaafkan. Lebih jauh lagi, buku ini menyentuh sisi
kemanusiaan dari tragedi politis yang masih kontroversial dengan segala teori
yang melatarbelakanginya. Buku-buku semacam inilah yang kelak akan menceritakan
kepada generasi berikutnya bahwa ada air mata sungguhan di balik peristiwa di
buku sejarah.
Membaca sejarah melalui fiksi rasanya memang lebih menyenangkan. Kita
tidak hanya diberi data dan kronologi, tetapi juga bisa melihat hubungan antar
manusia, latar belakang kejadian menjadi lebih masuk akal karena kita dibawa
pada pemikiran dan perasaan para karakternya. Salah satu fiksi sejarah yang
rasanya perlu dibaca lebih banyak orang adalah Oeroeg karya Hella S.
Haasse. Buku ini berlatarkan Indonesia pada masa pendudukan Belanda. Meski
ditulis seorang Belanda, buku ini memiliki sudut pandang yang cukup adil tentang
kolonisasi dan penjajahan. Berkisah tentang persahabatan dua anak keturunan
Sunda dan Belanda, buku ini menyoroti rasisme yang masih sangat relevan hingga
hari ini. Buku yang cukup tipis ini memiliki kekuatan narasi yang meninggalkan
kesan mendalam, bahkan setelah selesai membacanya.
Ada satu penulis yang menurut saya memiliki kemampuan menulis sangat
luas dan dalam. Dialah Neil Gaiman, penulis asal Inggris yang menetap di
Amerika Serikat ini. Karya-karyanya bervariasi, mulai dari komik, novel dewasa,
novel anak, sampai buku anak bergambar. Tidak hanya itu, tema yang diangkatnya
seringkali fantastis—sebab pada dasarnya dia adalah penulis fantasi—tetapi
kedalaman dan lapisan makna yang ada sangat terasa sastrawi. Karena itulah saya
yakin bahwa karya-karyanya masih akan dibaca hingga bergenerasi-generasi
berikutnya. Semua karyanya memiliki kekuatan dan sasarannya masing-masing,
tetapi jika harus memilih satu buku, American Gods saya anggap sebagai
mahakarya yang menunjukkan kehebatannya dalam merangkum berbagai aspek
kehidupan ke dalam satu buku. Tema besarnya adalah mengenai pertentangan antara
dewa tradisional dengan dewa modern. Terinspirasi ragam budaya di Amerika yang
dibawa oleh para penjelajah serta imigran Eropa, Asia, dan Afrika, kini bisa
dikatakan budaya lama mereka lebur dalam sebuah peradaban modern. Namun, budaya
lama belum mati, dan di tengah usahanya untuk kembali hidup ini, Gaiman
meramunya dengan gambaran geografis Amerika Serikat, dengan cerita-cerita
rakyat, dengan sentuhan keajaiban, dan tak lupa, kesadaran akan asal mula kita: keluarga.
Tema yang kaya dan mendalam juga dimiliki oleh penulis Inggris JK
Rowling. Hampir semua orang dari berbagai generasi hari ini mengenal Harry
Potter, kisah fantasi yang jika dikupas memiliki elemen-elemen kehidupan
yang sangat kaya. Namun, tak ada keraguan bahwa serial Harry Potter akan terus
dicetak ulang. Ada satu karya Rowling yang menurut saya kurang mendapat
penilaian yang adil, The Casual Vacancy, sebuah mahakarya yang belum
ditemukan oleh sebagian besar pembacanya. Berbeda dari karya sebelumnya, di
sini Rowling menunjukkan kemampuannya menaklukkan tema sosial, politik dan
keluarga yang tak kalah dengan penulis klasik yang buku-bukunya menjadi acuan
pelajaran sastra. Karya ini layak dicetak berulang kali untuk dikupas satu per
satu elemennya. Tak heran, Rowling bisa dikatakan seorang aktivis sosial.
Hidupnya yang pernah berada di sangat bawah sekali, hingga menjadi penulis
terkaya di dunia, memberinya sebuah sudut pandang yang tak semua orang bisa memilikinya.
Dia mengekstraksi apa yang dilihatnya dari dunia ke dalam sebuah buku yang tak
lebih dari 500 halaman tebalnya; tentang kehidupan orang-orang di daerah kumuh,
tentang orang-orang kaya pemegang keputusan, tentang keluarga yang retak,
remaja yang belum menemukan jati diri, orang dewasa yang kehilangan idealisme,
dan mengumpulkannya dalam sebuah kota yang dibangunnya.
Kembali ke sastra klasik, buku berbentuk naskah drama tampaknya masih
kurang umum di Indonesia. Padahal seni pertunjukan sendiri sudah bukan
merupakan barang baru, jadi semestinya tidak ada hambatan untuk sebuah drama
memasuki ruang baca kita. Ada satu drama menarik yang relatif menyenangkan
untuk dibaca karya Oscar Wilde, An Ideal Husband. Wilde dengan gaya
penulisannya yang kocak tidak menghilangkan unsur ketegangan dan konflik yang
cukup berat dalam karyanya yang satu ini. Konflik pasangan, persahabatan,
intrik politik, lebur dalam drama penuh ironi dan sarkasme. Dengan karakter
yang kuat dan kalimat-kalimat berkesan, rasanya kita diajak berpikir sedikit
melenceng dari norma sosial untuk kemudian melepaskan kita pada keputusan untuk
menjalani hidup dengan cara apa, dengan konsekuensinya masing-masing. Dan,
sekali lagi, pada masa kini pun konflik tersebut masih terasa lekat dengan
keseharian kita.
Keluar dari dunia sastra dan fiksi, ada buku penting mengenai sebuah
struktur penting dari kehidupan yang berdetak di dada semua orang, berjudul The
Heart Speaks karya Mimi Guarneri. Organ jantung adalah salah satu organ
vital yang kerusakannya bisa mengancam nyawa manusia. Sialnya, tubuh manusia
tak sesederhana mesin, yang hanya ditentukan oleh cara dan lama penggunaan.
Manusia memiliki perasaan, emosi, yang ternyata bisa mempengaruhi mesin-mesin
alami yang ada di tubuhnya, termasuk jantung. Namun, dokter ahli jantung ini
menemukan bahwa emosi dan perasaan yang menyebabkan gangguan jantung ini dapat
di balik menjadi obat saat
dia berubah menjadi positif. Dalam buku ini, Guarneri mengisahkan pengalamannya
memberikan terapi secara medis sekaligus spiritual, yang memberikan hasil lebih
baik. Tulisannya yang mudah dimengerti orang awam ini penting, karena secara
tidak langsung buku ini memberikan kiat bagi kita untuk menjaga organ
terpenting kita, menjaga kehidupan, dengan sebuah cara yang akan ikut mengubah
hidup menjadi positif.
Buku dikatakan sebagai jendela dunia, kalau boleh saya tambahkan, buku
juga merupakan lorong waktu. Kita tentunya ingin menjaga lorong waktu yang
dimiliki dunia, yang menyaksikan secara langsung dunia pada masa lalu, yang
memprediksikan dengan akurat dunia di masa mendatang. Tidak ada hal baru di
dunia ini, sejarah berulang, dan buku-buku yang baik itulah yang akan menjadi
saksinya. ||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar