Sketsa Sepuluh Buku, oleh M Fauzi Sukri
Sangat gampang sekali memilih dan mencatat sepuluh
buku bahkan lebih, jika tanpa maksud apa pun. Yang bermasalah bukanlah membuat
penilaian terhadap buku, apa pun kriterianya, tapi saat pikiran digerakkan
untuk membuat vonis pemeringkan secara hierarkis: satu karya lebih berbobot,
lebih baik, lebih pantas mendapatkan penghargaan, dan berbagai lebih-lebih yang
lain.
Sepuluh buku bisa saja membutuhkan 100 alasan bahkan lebih sebagai
pembenaran. Dan sering tidak cukup jika kita mengajukan satu buku dengan satu
alasan: entah ketokohan penulisnya, sisi dokumentatif satu karya, pembawa
semangat zaman meski jelek dan tak berbobot, pembentuk arus baru perbukuan, karya
yang seharusnya abadi dan dibaca tiap generasi, dan seterusnya. Sekian
pembenaran itu barangkali bisa berpengaruh pada nasib buku, tapi sungguh tak
ada manfaatnya sedikit pun bagi manusia yang tak membaca buku itu sendiri. Buku
itu tiada, meski dimiliki seseorang tersebut.
Satu huruf seperti A apalagi jika sampai Z, bisa digunakan untuk menulis
berbagai buku yang bisa sangat berbeda, tapi A dan Z tidak pernah mempunyai
nilai hierakis. Di sinilah, seperti diriku saat ini, bisa dengan sedikit enteng
menyebut bahwa sepuluh buku ini pantas diberi umur panjang dan menemui generasi
mutakhir dan masa depan.
***
Apakah RA Kartini (1879-1904) termasuk penulis pertama cerita anak
modern di Jawa? Dalam buku lusuh berwarna hijau dengan judul Buku Pengabdian
Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibu Kartini (1969), panitia tidak cuma
memasukkan kutipan dari surat-surat Kartini yang dianggap penting. Panitia
justru menampilkan karya berjudul Kongso Tjerita Wajang Purwo Buah Karja Ibu
Kartini (1902).
Aku menyebutnya sebagai cerita anak yang aneh: sangat politis yang
bernuasa ‘nasionalitik’. Coba perhatikan paragraf pertama ini: “Basudewo
seorang Radja dari Madura, mempunjai 3 orang istri; isteri jang tertua
melahirkan 3 orang anak, dua orang putera, R Kokrosono seorang bule (albino)
dan R Norojono berkulit hitam, seorang puteri bernama Dewi Brotodjojo, meski
berkulit sawo mateng (bruin) tetapi mempunjai ketjantikan jang luar biasa. Dua
orang isteri lainnja sampai saat itu tidak mempunjai anak.” Di bagian akhir,
terdapat kalimat ini: “Radja sangat bergembira ketika mengetahui bahwa
putra2nja sendirilah jang menolong keradjaannja. Basudewo memanggil 3 orang
putranja bersama Bimo dan Pamadi.”
Aku membayangkan, seandainya Kongso ini bisa dicetak ulang dengan
ilustrasi yang menarik, kepustakaan Kartini tidak hanya terlalu serius tapi
bisa juga bercorak kebocahan.
***
Pada 1951, Suwarsih Djojopuspito selesai menulis buku berjudul Riwayat
Hidup Nabi Muhammad SAW. Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1956, entah
oleh penerbit apa, lalu untuk cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya pada 1976.
Pada kata pendahuluan yang hanya dua paragraf pendek, Suwarsih menuliskan
maksudnya: “Di dalam bahasa Indonesia masih sedikit sekali buku-buku yang
menceritakan riwayat Nabi Muhammad saw dengan kata-kata dan cara, yang sesuai
dengan alam pikiran pemuda dan pemudi jaman sekarang.”
Yang menarik, sebelum diterbitkan, Suwarsih meminta intelektual kondang
H Abdul Malik Amrullah (Hamka) untuk “meminta
pemeriksaan dan bandingan” sebagai pakar sejarah Islam. Namun, “mulanya
belumlah saya acuhkan benar,” kata Hamka. Alasannya agak kurang ajar,
menurutku: “Karena [Suwarsih] sebagai seorang yang berpendidikan Barat, saya
pikir, tentu buku-buku yang dibacanya tentang Riwayat Hidup Muhammad s.a.w.
hanyalah dari sumber Barat. Padahal saya sudah agak lama mendengar nama
pengarang, sebagai seorang wanita yang amat besar minatnya kepada kesusastraan.
Malahan sampai mendapatkan penghargaan yang baik karena suatu karangan dalam
bahasa asing.” Justru, yang aku tahu, maraknya penulisan biografi Muhammad
karena pengaruh ilmu sejarah Barat.
Alasanku memilih buku ini malah karena penulisnya adalah seorang feminis
wanita. Suwarsih kita tahu, seperti diketahui
Hamka, telah menulis novel Buiten het Gareel (Manusia Bebas) yang
ditulisnya waktu berumur 25 tahun dan mendapatkan sambutan menarik dari
kalangan peminat sastra. Yang perlu dicatat, setahuku, hanya dialah sastrawan
perempuan Indonesia yang menulis biografi Muhammad. Namun, sepertinya Pustaka
Jaya tidak bakal tertarik menerbitkannya, tidak bakal seantusias menerbitkan
karya-karya sastra dunia.
***
Salah satu buku sosiologi Jawa klasik terbaik yang pernah aku baca dalam
bahasa Jawa berhuruf Latin adalah Serat Jayengbaya, karya pemuda
Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1988), ahli bahasa dan sosiolog yang hidup
sezaman dengan Karl Marx. Imajinasi profesi terliar manusia abad XIX ada dalam
buku ini: mulai angan-angan menjadi penjual kuda sampai kehendak menjadi Tuhan.
Tapi, semua profesi kerja yang diangankan pemuda Ranggawarsita tidak ada satu
pun yang cocok dengan hatinya. Aku membayangkan, jika pemuda Ranggawarsita
hidup di abad XXI, salah satu profesi keinginannya yang tetap tak bakal
dikehendakinya adalah menjadi Tuhan. Betapa repotnya Tuhan di media sosial
jagat maya!
Yang jelas, aku tidak mau menyebut Serat Jayengbaya sebagai “sastra nostalgia”, seperti yang
disematkan pada buku-buku sastra lawas Balai Pustaka. Aku wajib menyebut buku
pemuda Ranggawarsita sebagai buku sosiologi klasik yang cuma salah gaya bahasa:
terlalu lucu dan kocak, bergerak antara realitas dan utopia, sebagaimana Karl
Mannheim membahas di abad XX.
***
Sejujurnya, buku tipis ini pantas terus beredar hanya dengan satu
alasan: romantisme religius seorang suami untuk sang istri. Bilik-bilik
Muhammad, Novelet
Rumahtangga Rasullah SAW, karya AR Baswedan
(pertama kali terbit tahun 1940), sangat memenuhi persyaratan romantis ini.
Buku biografi Muhammad sudah cukup banyak beredar, tapi tidak ada satu pun yang
diawali dengan puisi bernada ala Pujangga Baru. Kita kutip stanza terakhir
puisi dari tokoh Partai Arab Indonesia ini: Nilah, wahai Istri yang mulia!/
Sepantun ratna mutu manikam/ Tanda bersyukur PEMBALAS JASA.../Jadi kenangan
masa nan silam.../penghibur hati...!
Aku membayangkan AR Baswedan membacakan novelet ini pada sang isteri di
kamar mereka. Ah, mesra...
***
Buku ini sangat penting untuk memperingati 100 tahun HB Jassin pada 31
Juli 2017 nanti. Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi HB Jassin
karya Darsjaf Rahman, yang diterbitkan Gunung Agung pada tahun 1986. Darsjaf
Rahman, berdasarkan pengantar Mochtar Lubis dalam buku ini, adalah seorang
wartawan dan pengarang, yang kenal dekat dengan HB Jassin dan pernah bekerja mengasuh majalah sastra
budaya bersama.
Satu kalimat penting untuk
dikutip: “Hans serba rupa yang merupakan untaian akar-akar halus panjang yang
bergantungan dari dahan-dahan ke tanah. Urat-urat itu memperlengkap wajah
beringin. Hans memang beringin!” Aku membayangkan sastra Indonesia berada di
bawah teduh pohon beringin pusat dokumentasi HB Jassin. Bagi Anda mau
memperingati 100 tahun HB Jassin, segera cari, beli atau fotokopi buku ini!
***
Alasan kali ini sungguh bersifat pribadi: aku belum mempunyai buku ini,
meski sebagian isinya sudah aku baca dan aku kutip: Sumber Terpilih Sejarah
Sastra Indonesia Abad XX, susunan E. Ulrich Kratz (2000). Apakah kamu juga
belum punya atau malah tidak pernah tahu ada buku itu dan tentu tidak mau
punya? Yakinlah, bahwasanya sastra Indonesia abad XX (bukan cuma “sejarah”)
tidak hanya berisi puisi, prosa, dan drama, tapi berseliweran esai sastra yang
bagus dan cerdas!
Buku hampir setebal 1000 halaman ini sungguh keterlaluan pantas untuk
dibaca (calon) pembaca sastra Indonesia modern! Jika kamu mau membaca sastra
Indonesia tapi tidak mau mempunyai dan membaca buku ini, terkutuklah pembacaan
dan bacaan sastramu, hari ini dan kelak! Yakinlah! Aku saja mau bertobat dengan
berdoa harap agar KPG mencetak ulang buku ini! Amin...
***
Dan, kali ini aku sangat merekomendasikan buku pedoman hidup yang sangat
penting di dekade kedua abad XXI: Kesepian– Sumber Ilham yang Kreatif karya WE Hulme. Aku
tidak tahu kenapa zaman edisi mutakhir selalu menggunakan satu kata “jomblo”.
Kata ini tidak puitis, tidak filosofis, dan tentu saja tak terdengar membawa
aura kreatif bagi banyak orang, kecuali Raditya Dika: dari seorang kesepian yang
menulis cara menguburkan anak ayam yang mati terbunuh di tangan mungilnya,
dalam buku Kambing Jantan, yang membuatnya termasyhur sebagai penulis
tragi-komedi, menjadi pembual lucu nan masyhur di jagat kelas menengah muda
Indonesia, sampai menaikkannya menjadi seorang sutradara kondang.
Pasti buku favorit Raditya Dika adalah Kesepian–Sumber Ilham yang Kreatif, yang diterbitkan Cipta
Loka Caraka sejak 1984 dan terus menemani kesepian warga Indonesia sampai 1993.
Kamu jomblo yang perlu kreatif? Bacalah buku agung penting ini! Yakin manjur!
***
Sejak dahulu, di zaman modernku sejak bocah sampai sekarang, aku tidak
pernah belajar ilmu kejahatan dari sang maha pakarnya sendiri. Lalu, pada suatu
hari, aku mendapatkan buku berjudul pas: Iblis karya filosof Dr Mustafa
Mahmoud. Aku merasa, kehidupan kita keterlaluan belajar hal-hal yang baik-baik
saja. Kita justru sangat lupa belajar keiblisan. Tuhan saja menulis tentang
Iblis, masak manusia tidak belajar keiblisan sebagai ilmu sangat penting.
Buku Iblis punyaku hilang satu halaman, di bagian data buku, jadi
aku tidak tahu buku ini terbit tahu berapa. Yang jelas diterbitkan penerbit
Pustaka Mantiq. Perhatikan lima subjudul dalam daftaf isinya ini: “Hakikat
Cinta”, “Iblis”, “Beban Resah”, “Bebas Memilih dan Bukan Ditentukan”, dan
terkahir “Kata-kata yang Tercecer”. Iblis itu apa atau siapa?
Apakah aku termasuk Iblis? Ah, aku ingat kalimat dalam puisi Sapardi Djoko
Damono: dalam dirimu...
***
Dulu, aku agak sedikit kaget waktu mendapat buku berjudul Biografi
Bergambar KH Ahmad Dahlan karya Zaini Ibrohim. Ingatanku langsung pada
“larangan” seni rupa “gambar hidup” dalam persepsi umat Islam. Dulu dalam
“kitab” yang aku baca, ada beberapa gambar makhluk hidup yang garis lehernya
tidak disambung. Aneh! Alasannya: manusia dilarang menggambar makhluk hidup,
bisa dituntut memberikan nyawa. Sekarang, bagiku, si pengucap itu sungguh
keterlaluan tak punya pikiran iman: manusia justru disuruh menjadi Tuhan,
sebagai dzat yang mampu menciptakan nyawa!
Perhatikan maksud buku komik Ahmad Dahlan ini: “Akhir-akhir ini, banyak
kalangan pendidik yang memprihatinkan gejala membanjirnya bacaan bergambar dari
mancanegara. Meski ada yang cukup bermanfaat, namun yang bersifat merusak jauh
lebih banyak jumlahnya.” Maka, buku ini masih pantas untuk dibaca umat Islam,
tentu bukan hanya umat Muhammadiyah.
***
Dan terakhir, buku ini semoga saja menjadi perbincangan publik: Kosmos
karya Carl Sagan yang (telat!) diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, pada
Desember 2016. Buku ini termasuk buku sains populer yang sangat menarik untuk
dibaca, tidak hanya pada generasi sekarang, tapi juga generasi mendatang.
Satu kutipan penting: “Kosmos baru saja ditemukan kemarin. Selama jutaan
tahun semua orang menganggap jelas tidak ada tempat lain selain Bumi. Kemudian
pada sepersepuluh persen akhir umur spesies kita, di antara masa Aristarkhos
dan kita sendiri, dengan berat hati kita menginsafi bahwa kita bukanlah pusat
dan tujuan Alam Semesta, melainkan tinggal di satu planet kecil dan rapuh yang
tersesat dalam keluasan dan keabadian...”
Maka, kata Sagan, “Fanatisme etnis atau chauvinisme keagamaan atau
kebangsaan menjadi agak sulit dipertahankan bila kita melihat planet kita
sebagai sabit biru rapuh yang meredup menjadi setitik cahaya yang tidak menarik
perhatian di antara kepungan bintang-bintang. Bepergian memperluas pandangan
kita.”
***
Sepuluh buku sudah aku pilih dan tulis sketsanya, dengan sebisa mungkin
sepuluh alasan. Tak semuanya bisa punya kemungkinan untuk tetap akan hadir di
sekian ribu rumah warga Indonesia, lalu mendapati pembacanya yang budiman. Ada
buku yang sudah terkubur di suatu tempat sekarang, tapi barangkali masih bakal
menemukan pembaca ampuhnya di masa depan.
Tiap kali sebuah buku mendapatkan pembaca yang bagus, ia seperti
menemukan seorang sahabat nan kekasih yang bisa diajak ngobrol sepanjang siang
malam, hanya mengenai dirinya. Betapa terhormatnya buku itu. Aku berharap
sepuluh buku yang aku sebutkan menemukan pembacanya yang budiman terhormat di
masa sekarang dan di masa depan. Semoga!
||
Tags:
esai
Kisah Buku
0 komentar