Mahakarya dan Sebuah Nilai, oleh Nurina Susanti



Suatu masa yang ditunggu-tunggu para pasukan baca buku adalah ketika ada bazaar buku murah, atau supersale gila-gilaan. Berbekal dengan uang saku yang memadai untuk membawa pulang buku-buku idaman, hari itu senyum merekah akan tampak pada wajah-wajah mereka. Di hari yang begitu menggembirakan itu pula, saya mencoba untuk berkunjung ke supersale salah satu toko buku terkemuka. Berbagai genre buku dijual obral dengan harga murah dari harga lima ribu hingga diskon 30-50%. Saya mulai menikmati momen itu dengan berusaha memutar-mutar ke segala penjuru untuk mendapat buku yang saya inginkan.
Akhirnya, saya terkejut ketika mendapati beberapa judul buku yang menurut saya masih harus terjual mahal, rupanya juga termasuk ke dalam obral supersale tersebut. Sangat tidak mengira karya sastra yang begitu mahal masuk ke dalam obral besar-besaran. Saya pun yakin saya bukan satu-satunya manusia penyimpan kekecewaan saat mengetahui kenyataan itu. Bukan pertama kali pula ungkapan semacam ini muncul dalam dunia sastra.
Tak dapat mengelak, saya merasa senang mampu membeli buku berkualitas dengan harga terjangkau, tapi ada rasa miris membayangkan bila saya adalah penulis buku tersebut, sedih karena kerja keras kita ternyata masih diobral murah. Saya sadar diri bahwa saya bukan termasuk dalam kategori sastrawan atau kritikus yang paham betul, tetapi sebagai penikmat, tentu wajar bila saya kecewa dan tak terima dengan mahakarya yang dinilai murah. Mungkin sebagai maksud untuk cetak ulang dengan cover baru, atau sale akhir tahun, atau memang alasan-alasan mendasar lain contohnya seperti disebut ‘cuci gudang’yang belum saya ketahui lebih dalam. Namun, sebutan cuci gudang tersebut terasa cukup menyakitkan bagi saya. Mungkin terdengar berlebihan atau sensitif, tapi cuci gudang ibarat “karya saya harus tercuci dari gudang lama”, sehingga harus segera habis terjual. Dasar manusia, memang hobinya suka nggerundel.
 Saya juga bukan termasuk dalam golongan pengarang produktif, sehingga mungkin ungkapan kekecewaan ini masih belum pantas mengingat pengetahuan saya yang masih sangat dangkal. Terlihat tak tahu diri karena terkesan sarkastik dengan momen supersale tersebut. Ditambah belum adanya pemahaman diri tentang maksud dari diadakannya obral buku murah. Bukankah semangat membaca masyarakat Indonesia akan semakin membara dengan adanya buku-buku murah? Tak memungkiri sebagai bagian dari golongan munafik, yang ikut mencibir namun masih tetap  ikut membeli buku-buku dengan harga yang menggiurkan. Ya, saya akui saya ikut senang. Saya ingin membaca lebih banyak sekaligus memiliki, tentunya tak hanya sekedar meminjam buku milik orang. Ketika banyak orang mengatakan “cinta tak harus memiliki”, tapi bagi saya, bila masih ada kemungkinan untuk mendapatkannya, tentu saya harus berjuang.
Memang, bila dirasakan dari sudut pandang seorang penikmat, pemerhati dan pembaca buku yang suka gratisan, tentu saya tak merasa kecewa sedikitpun, tetapi saya juga berpikir bila saya berada di posisi penulis maupun pengarang buku yang karyanya masuk ke obral murah, apakah saya masih akan rela? Atau justru akan berbangga masyarakat luas akan semakin mudah untuk membaca buku karya saya karena harganya sudah miring?
Lalu, apa yang disebut dengan nilai suatu karya? Apakah harga sebuah mahakarya lebih bernilai ketika masyarakat luas lebih memaknai dengan sungguh-sungguh tanpa memandang karya tersebut dibeli dari obral atau harga asli? Tentu, pemaknaan dari karya tersebut lebih tak ternilai harganya. ||

Tags:

Share:

0 komentar